Memahami psikologi dunia penerbangan
A
A
A
Kalau memang kejadian di pesawat Sriwijaya Air itu persis seperti yang pramugari ceritakan, dia memang pantas menerima simpati.
Apa pun peristiwa yang mendahului kejadian buruk itu, sulit menemukan pembenaran atas dugaan pemukulan yang dilakukan oleh penumpang terhadap pramugari tersebut. “Sulit”, bukan “tidak ada”. Berpatokan pada keyakinan psikologi bahwa peristiwa atau perilaku disebabkan oleh faktor majemuk, maka aksi amuk di penerbangan (airrage, skyrage) yang ditampilkan si pelaku bisa dipahami sebagai produk dari sekian banyak unsur—bukan satu unsur—yang saling memengaruhi.
Setidaknya ada empat unsur yang perlu diamati lebih cermat agar situasi tergambar utuh, yakni penumpang, kru pesawat (pramugari), situasi penerbangan dan situasi pesawat, serta aturan tentang penerbangan. Hingga kini belum banyak kajian tentang fenomena amuk di penerbangan. Begitu pula tidak ada data yang benar-benar valid tentang frekuensi dan ragamnya.
Data-data yang terbatas tersebut menunjukkan tren seragam, yaitu pengonsumsian alkohol dan gangguan mental merupakan penyebab dominan penumpang melakukan amuk di penerbangan, dengan kru pesawat sebagai korbannya. Untuk itu, idealnya penumpang amuk di Sriwijaya Air juga dikenakan pemeriksaan medis dan psikologis. Eksaminasi medis ditujukan untuk mengecek kemungkinan adanya zat-zat tertentu, termasuk yang terlarang semacam alkohol, di dalam tubuh pelaku. Pemeriksaan psikologis juga diterapkan untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi khas yang barangkali berhubungan dengan perilaku temperamental pelaku saat di pesawat.
Karena kekerasan dilakukan sebagai perilaku susulan penumpang setelah berinteraksi dengan kru pesawat, evaluasi sepatutnya pula dikenakan kepada para pramugari. Tutur kata maupun gerak tubuh, termasuk ekspresi wajah, pramugari bisa saja mengundang penafsiran penumpang yang berbeda dengan itikad pramugari itu sendiri. Perbedaan itu lantas memicu kesalahpahaman. Lebih luas, tindak-tanduk pramugari ketika berinteraksi dengan penumpang juga dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya dalam ranah kerja.
Ambil misal, pramugari yang telah berhari-hari bertugas atau sudah bekerja sejak pagi dan tidak memiliki cukup waktu pemulihan, tentu akan mengalami penurunan stamina yang pada gilirannya berimbas pada mutu perilaku pelayanannya selama penerbangan. Tugas-tugas selama penerbangan berlangsung juga berpotensi memengaruhi persepsi penumpang terhadap kru pesawat serta persepsi kru pesawat terhadap diri mereka sendiri.
Kru semacam pramugari sebenarnya memiliki tugas sangat penting, yakni memastikan seluruh penumpang tahu sekaligus mempraktikkan perilaku aman saat di dalam pesawat. Peran pramugari sedemikian rupa, sekali lagi, sama sekali tidak bisa disepelekan. Tetapi saat yang sama, pramugari juga diembani tugas ekstra, dari menjajakan barang-barang dagangan hingga mengumpulkan sampah penumpang. Aktivitas-aktivitas semacam itu, walaupun tidak salah, namun—harus diakui— tidak sebanding dengan peran pramugari terkait keamanan penerbangan tadi.
Peran-peran ambivalen tersebut membuka peluang bagi terjadinya penyepelean terhadap martabat profesi pramugari. Pramugari pun sulit merespons secara tepat bentuk-bentuk perilaku tak patut penumpang, karena kadung diidentikkan sebagai warga kelas dua di bawah penumpang: perempuan berwajah cantik, berpostur yahud, berpakaian atraktif, dan harus selalu ramah laksana pelayan penerbangan. Posisinya yang rapuh tersebut “kian rendah” manakala si pramugari berhadap-hadapan dengan penumpang yang arogan, egois, dan resistan terhadap otoritas lain.
Publik lupa bahwa kru pesawat tetap manusia yang, meski bekerja dengan setulus hati, pada akhirnya bisa mengalami compassion fatigue. Apabi la tidak terkelola secara memadai, keletihan itu bisa seketika termanifestasikan ke dalam bentuk perilaku tak terkontrol, tak terkecuali saat kru tersebut masih bertugas di dalam pesawat. Situasi penerbangan dan pesawat, disadari maupun tidak, juga dapat menciptakan prakondisi bagi amuk di dalam penerbangan.
Jadwal keberangkatan yang molor, antrean panjang, suara hiruk-pikuk saat penumpang mempersiapkan diri duduk di kursi kabin, serta udara gerah karena AC pesawat belum dinyalakan, menjadi sederet faktor situasional yang bisa menyulut semua orang untuk berpanas hati sembari mencari pemuasan atas nama hak mereka masing-masing. Unsur keempat adalah aturan tentang keselamatan penerbangan yang harus dipatuhi semua pihak.
Kendati Undang- Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sudah sangat eksplisit mencantumkan larangan pengoperasian alat elektronik semacam telepon genggam di dalam pesawat serta jenis sanksi bagi pelanggar ketentuan tersebut, namun bisa dipastikan hingga kini tidak ada satu pun penumpang pesawat yang dipidana karena tidak mematuhi UU tersebut.
Tidak adanya sikap tidak kompromistis maskapai terhadap penumpang yang bandel dan keblinger, tampaknya disebabkan oleh kekhawatiran akan menurunnya jumlah penumpang. Bahkan, jangankan proses hukum pidana, kuat dugaan bahwa kru penerbangan tidak (lagi) mencatat penggunaan telepon genggam di dalam pesawat sebagai insiden yang seharusnya dikenai zero tolerance.
Bertitik tolak dari itu semua, kejadian amuk di pesawat beberapa hari lalu seyogianya tidak diangkat semata-mata sebagai persoalan hukum berupa penganiayaan satu individu terhadap individu lain. Apalagi seandainya masalah ini “diselesaikan” secara kekeluargaan, niscaya langkah tersebut akan menghasilkan efek buruk bagi martabat profesi pramugari. Lebih fundamental, harus ada preseden penegakan UU No 1 Tahun 2009. Konkretnya, maskapai Sriwijaya Air mesti memerkarakan penumpang yang disebut masih menyalakan telepon genggamnya saat berada dalam pesawatnya itu.
Andai langkah hukum itu tidak diambil, justru maskapai-maskapai Indonesia yang nantinya harus siap bernasib sama dengan sebuah maskapai Eropa yang menghadapi tuntutan hukum publik. Tuntutan yang berujung pada kewajiban maskapai membayar USD32.000, karena tidak memaksa penumpang mematikan telepon genggam mereka demi keselamatan penerbangan.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Pakar Psikologi Forensik, Alumnus The University of Melbourne
Apa pun peristiwa yang mendahului kejadian buruk itu, sulit menemukan pembenaran atas dugaan pemukulan yang dilakukan oleh penumpang terhadap pramugari tersebut. “Sulit”, bukan “tidak ada”. Berpatokan pada keyakinan psikologi bahwa peristiwa atau perilaku disebabkan oleh faktor majemuk, maka aksi amuk di penerbangan (airrage, skyrage) yang ditampilkan si pelaku bisa dipahami sebagai produk dari sekian banyak unsur—bukan satu unsur—yang saling memengaruhi.
Setidaknya ada empat unsur yang perlu diamati lebih cermat agar situasi tergambar utuh, yakni penumpang, kru pesawat (pramugari), situasi penerbangan dan situasi pesawat, serta aturan tentang penerbangan. Hingga kini belum banyak kajian tentang fenomena amuk di penerbangan. Begitu pula tidak ada data yang benar-benar valid tentang frekuensi dan ragamnya.
Data-data yang terbatas tersebut menunjukkan tren seragam, yaitu pengonsumsian alkohol dan gangguan mental merupakan penyebab dominan penumpang melakukan amuk di penerbangan, dengan kru pesawat sebagai korbannya. Untuk itu, idealnya penumpang amuk di Sriwijaya Air juga dikenakan pemeriksaan medis dan psikologis. Eksaminasi medis ditujukan untuk mengecek kemungkinan adanya zat-zat tertentu, termasuk yang terlarang semacam alkohol, di dalam tubuh pelaku. Pemeriksaan psikologis juga diterapkan untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi khas yang barangkali berhubungan dengan perilaku temperamental pelaku saat di pesawat.
Karena kekerasan dilakukan sebagai perilaku susulan penumpang setelah berinteraksi dengan kru pesawat, evaluasi sepatutnya pula dikenakan kepada para pramugari. Tutur kata maupun gerak tubuh, termasuk ekspresi wajah, pramugari bisa saja mengundang penafsiran penumpang yang berbeda dengan itikad pramugari itu sendiri. Perbedaan itu lantas memicu kesalahpahaman. Lebih luas, tindak-tanduk pramugari ketika berinteraksi dengan penumpang juga dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya dalam ranah kerja.
Ambil misal, pramugari yang telah berhari-hari bertugas atau sudah bekerja sejak pagi dan tidak memiliki cukup waktu pemulihan, tentu akan mengalami penurunan stamina yang pada gilirannya berimbas pada mutu perilaku pelayanannya selama penerbangan. Tugas-tugas selama penerbangan berlangsung juga berpotensi memengaruhi persepsi penumpang terhadap kru pesawat serta persepsi kru pesawat terhadap diri mereka sendiri.
Kru semacam pramugari sebenarnya memiliki tugas sangat penting, yakni memastikan seluruh penumpang tahu sekaligus mempraktikkan perilaku aman saat di dalam pesawat. Peran pramugari sedemikian rupa, sekali lagi, sama sekali tidak bisa disepelekan. Tetapi saat yang sama, pramugari juga diembani tugas ekstra, dari menjajakan barang-barang dagangan hingga mengumpulkan sampah penumpang. Aktivitas-aktivitas semacam itu, walaupun tidak salah, namun—harus diakui— tidak sebanding dengan peran pramugari terkait keamanan penerbangan tadi.
Peran-peran ambivalen tersebut membuka peluang bagi terjadinya penyepelean terhadap martabat profesi pramugari. Pramugari pun sulit merespons secara tepat bentuk-bentuk perilaku tak patut penumpang, karena kadung diidentikkan sebagai warga kelas dua di bawah penumpang: perempuan berwajah cantik, berpostur yahud, berpakaian atraktif, dan harus selalu ramah laksana pelayan penerbangan. Posisinya yang rapuh tersebut “kian rendah” manakala si pramugari berhadap-hadapan dengan penumpang yang arogan, egois, dan resistan terhadap otoritas lain.
Publik lupa bahwa kru pesawat tetap manusia yang, meski bekerja dengan setulus hati, pada akhirnya bisa mengalami compassion fatigue. Apabi la tidak terkelola secara memadai, keletihan itu bisa seketika termanifestasikan ke dalam bentuk perilaku tak terkontrol, tak terkecuali saat kru tersebut masih bertugas di dalam pesawat. Situasi penerbangan dan pesawat, disadari maupun tidak, juga dapat menciptakan prakondisi bagi amuk di dalam penerbangan.
Jadwal keberangkatan yang molor, antrean panjang, suara hiruk-pikuk saat penumpang mempersiapkan diri duduk di kursi kabin, serta udara gerah karena AC pesawat belum dinyalakan, menjadi sederet faktor situasional yang bisa menyulut semua orang untuk berpanas hati sembari mencari pemuasan atas nama hak mereka masing-masing. Unsur keempat adalah aturan tentang keselamatan penerbangan yang harus dipatuhi semua pihak.
Kendati Undang- Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan sudah sangat eksplisit mencantumkan larangan pengoperasian alat elektronik semacam telepon genggam di dalam pesawat serta jenis sanksi bagi pelanggar ketentuan tersebut, namun bisa dipastikan hingga kini tidak ada satu pun penumpang pesawat yang dipidana karena tidak mematuhi UU tersebut.
Tidak adanya sikap tidak kompromistis maskapai terhadap penumpang yang bandel dan keblinger, tampaknya disebabkan oleh kekhawatiran akan menurunnya jumlah penumpang. Bahkan, jangankan proses hukum pidana, kuat dugaan bahwa kru penerbangan tidak (lagi) mencatat penggunaan telepon genggam di dalam pesawat sebagai insiden yang seharusnya dikenai zero tolerance.
Bertitik tolak dari itu semua, kejadian amuk di pesawat beberapa hari lalu seyogianya tidak diangkat semata-mata sebagai persoalan hukum berupa penganiayaan satu individu terhadap individu lain. Apalagi seandainya masalah ini “diselesaikan” secara kekeluargaan, niscaya langkah tersebut akan menghasilkan efek buruk bagi martabat profesi pramugari. Lebih fundamental, harus ada preseden penegakan UU No 1 Tahun 2009. Konkretnya, maskapai Sriwijaya Air mesti memerkarakan penumpang yang disebut masih menyalakan telepon genggamnya saat berada dalam pesawatnya itu.
Andai langkah hukum itu tidak diambil, justru maskapai-maskapai Indonesia yang nantinya harus siap bernasib sama dengan sebuah maskapai Eropa yang menghadapi tuntutan hukum publik. Tuntutan yang berujung pada kewajiban maskapai membayar USD32.000, karena tidak memaksa penumpang mematikan telepon genggam mereka demi keselamatan penerbangan.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Pakar Psikologi Forensik, Alumnus The University of Melbourne
(hyk)