Neo teologi banjir
A
A
A
Indonesia adalah negeri yang sangat berpeluang untuk terjadinya banjir, sebab kondisi alam dan geografisnya memungkinkan. Bahkan menurut perkiraan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta mengalami banjir pada Januari–Maret 2013 karena tingginya curah hujan.
Begitu juga di daerah dan wilayah lain, juga akan terjadi banjir.Banjir yang pernah terjadi Wasior, Papua serta Karawang, Jawa Barat adalah bukti bahwa banjir dapat terjadi di mana saja di bumi Indonesia.
Jadi, banjir tidak hanya dinikmati oleh saudara-saudara kita yang tinggal di daerah Bukit Duri, Kampung Melayu, Ciledug, Kampung Pulo saja, yang selama ini sudah menjadi daerah langganan banjir. Bahkan menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), 83 persen wilayah di Indonesia berpeluang terjadinya banjir itu.
Memaknai banjir
Secara ekologis, banjir merupakan peristiwa alam berupa peningkatan debit air secara cepat sehingga meluap dari palungnya dan menggenangi daerah sekitarnya secara kontemporer (Fuad Amsari, 1992).
Sebagai contoh, tahun 1992 banjir di Jakarta menggenangi 61 lokasi,kemudian pada 2002 meningkat menggenangi 159 lokasi dengan luas genangan mencapai 16.778 hektare.
Bahkan menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 97 dari 180 kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa berpotensi banjir pada Januari ini. Secara umum, ada lima penyebab terjadinya banjir.
Pertama, klimatologis, di mana biasanya terjadi peningkatan level musim hujan yang terjadi di akhir dan awal tahun. Kedua, menurunnya daya serap tanah, seperti di Jakarta yang 90,33 persen wilayahnya merupakan kawasan yang terbangun.
Ketiga, kondisi alam seperti perubahan iklim yang begitu cepat akibat pemanasan global (global warming). Keempat, penggundulan hutan, baik untuk permukiman perumahan maupun industri. Kelima, penurunan daya tampung sungai akibat penyempitan untuk permukiman, baik di hulu maupun di hilir.
Banjir selalu mewarnai kehidupan manusia. Bahkan dalam kitab Alquran, peristiwa banjir dilukiskan dengan sangat jelas, sehingga menimbulkan pemahaman bahwa banjir merupakan suatu bentuk kemurkaan dari Allah SWT kepada umat manusia akibat tidak beriman kepadaNya.
Hal ini mengacu pada peristiwa banjir legendaris yang terdapat dalam Alquran yang dialami oleh umat Nabi Nuh (QS 11:32-49), banjir yang dialami umat Nabi Hud (QS7:65-72) danbanjirmelanda kaum Saba (QS 34:15-16).
Jika hanya ini yang dipahami, tentu menjadi kurang relevan mengingat masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius, dan Islam adalah menjadi agama yang penganutnya mayoritas.
Bahkan, Pasal 29 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 memberikan landasan konstitusi tentang kebebasan bagi warga negara untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya itu.
Agar tidak terjadi pemahaman yang keliru seputar masalah banjir, perlu dicarikan pemahaman keagamaan yang komprehensif melalui redefinisi dan reformulasi yang benar. Karena itu, para ulama dan cendekiawan harus melakukan ijtihad, membuat langkah, dan terobosan baru.
Bahkan, jika diperlukan, harus ada fatwa ulama tentang penanggulangan banjir beserta dengan dalil dan argumentasi yang mendukungnya. Maka dengan pemahaman keagamaan yang benar tersebut, upaya penanggulangan banjir, terutama dari segi pencegahan, dapat dilakukan secara maksimal melalui pendekatan keagamaan. Untuk menjawab fenomena terjadinya banjir sekarang ini dalam perspektif Islam, diperlukan neo teologi banjir.
Dalam buku Agama Ramah Lingkungan Perspektif Alquran,yang merupakan disertasi doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Mujiono Abdillah (2001) menjelaskan neo teologi banjir: bahwa banjir bukan fenomena kemurkaan Allah SWT kepada umat manusia yang disebabkan manusia tidak mau menerima kehadiran Tuhan dalam dirinya.
Banjir juga bukan sekadar musibah yang datang dari Allah SWT kepada umat manusia, melainkan merupakan fenomena ekologis yang disebabkan perilaku manusia dalam mengelola alam semesta beserta dengan isinya yang menentang sunah lingkungan.
Hal ini berdasarkan fakta bahwa banjir yang terjadi sekarang ini,di belahan bumi mana pun, lebih dominan diakibatkan kesalahan dan perilaku manusia dalam mengelola lingkungan alam. Hal ini sebagaimana ditegaskan Firman Allah SWT:
”Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yangmenganiayadirimereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah,di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka (QS Huud:101).
Demikian juga kata kunci yang terdapat dalam QS Al A’raf ayat 64 dan 71: ”... Kami tenggelamkan dan kami punahkan orang-orang yang mendustai ayat-ayat Kami”. Kata ”ayatayat Kami”tidak hanya berarti Alquran, tetapi lebih luas lagi yakni meliputi ayat-ayat yang tidak tertulis yang terhampar dalam lingkungan.
Karena itu, kalimat ”mendustakan ayatayat Kami” dalam konteks kasus banjir berpeluang dipahami sebagai sunah lingkungan. Peristiwa banjir pada zaman Nabi Nuh dan Nabi Hud terjadi karena umat kedua Nabi mendustaiatautidakmengindahkan sunah lingkungan (Abdillah, 2001).
Redefinisi neo teologis banjir yang demikian, akan melahirkan sikap ekologis yang positif dan tanggung jawab yang kuat bagi manusia terhadap kejadian banjir. Karena manusia modern cukup dominan dalam pengelolaan lingkungan alam yang potensial menjadi penyebab banjir, manusia merupakan makhluk yang paling bertanggung jawab terhadap fenomena banjir dan bertanggung jawab pula untuk mencegah terjadinya banjir.
Mengingat musim hujan diramalkan masih akan berlangsung hingga Februari 2013, yang disertai dengan kemungkinan cuaca ekstrem, tidak ada salahnya kita bersiaga secara penuh untuk mencegah dan menanggulangi banjir, yang antara lain melalui pemahaman keagamaan yang benar.
Di samping itu, pemerintah juga perlu memantau kondisi lingkungan yang rawan banjir.Jika kondisi memburuk, persiapan menghadapi banjir pun tak pelak lagi harus ditingkatkan. Jadi, orang beriman yang sejati adalah orang mampu yang mencegah dan menanggulangi banjir dengan baik dan benar. Wallahu’alam.
FAOZAN AMAR
Direktur Al Wasath Institute dan Dosen Studi Islam UHAMKA
Begitu juga di daerah dan wilayah lain, juga akan terjadi banjir.Banjir yang pernah terjadi Wasior, Papua serta Karawang, Jawa Barat adalah bukti bahwa banjir dapat terjadi di mana saja di bumi Indonesia.
Jadi, banjir tidak hanya dinikmati oleh saudara-saudara kita yang tinggal di daerah Bukit Duri, Kampung Melayu, Ciledug, Kampung Pulo saja, yang selama ini sudah menjadi daerah langganan banjir. Bahkan menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), 83 persen wilayah di Indonesia berpeluang terjadinya banjir itu.
Memaknai banjir
Secara ekologis, banjir merupakan peristiwa alam berupa peningkatan debit air secara cepat sehingga meluap dari palungnya dan menggenangi daerah sekitarnya secara kontemporer (Fuad Amsari, 1992).
Sebagai contoh, tahun 1992 banjir di Jakarta menggenangi 61 lokasi,kemudian pada 2002 meningkat menggenangi 159 lokasi dengan luas genangan mencapai 16.778 hektare.
Bahkan menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 97 dari 180 kabupaten/kota yang ada di Pulau Jawa berpotensi banjir pada Januari ini. Secara umum, ada lima penyebab terjadinya banjir.
Pertama, klimatologis, di mana biasanya terjadi peningkatan level musim hujan yang terjadi di akhir dan awal tahun. Kedua, menurunnya daya serap tanah, seperti di Jakarta yang 90,33 persen wilayahnya merupakan kawasan yang terbangun.
Ketiga, kondisi alam seperti perubahan iklim yang begitu cepat akibat pemanasan global (global warming). Keempat, penggundulan hutan, baik untuk permukiman perumahan maupun industri. Kelima, penurunan daya tampung sungai akibat penyempitan untuk permukiman, baik di hulu maupun di hilir.
Banjir selalu mewarnai kehidupan manusia. Bahkan dalam kitab Alquran, peristiwa banjir dilukiskan dengan sangat jelas, sehingga menimbulkan pemahaman bahwa banjir merupakan suatu bentuk kemurkaan dari Allah SWT kepada umat manusia akibat tidak beriman kepadaNya.
Hal ini mengacu pada peristiwa banjir legendaris yang terdapat dalam Alquran yang dialami oleh umat Nabi Nuh (QS 11:32-49), banjir yang dialami umat Nabi Hud (QS7:65-72) danbanjirmelanda kaum Saba (QS 34:15-16).
Jika hanya ini yang dipahami, tentu menjadi kurang relevan mengingat masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius, dan Islam adalah menjadi agama yang penganutnya mayoritas.
Bahkan, Pasal 29 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 memberikan landasan konstitusi tentang kebebasan bagi warga negara untuk menjalankan ajaran agama dan keyakinannya itu.
Agar tidak terjadi pemahaman yang keliru seputar masalah banjir, perlu dicarikan pemahaman keagamaan yang komprehensif melalui redefinisi dan reformulasi yang benar. Karena itu, para ulama dan cendekiawan harus melakukan ijtihad, membuat langkah, dan terobosan baru.
Bahkan, jika diperlukan, harus ada fatwa ulama tentang penanggulangan banjir beserta dengan dalil dan argumentasi yang mendukungnya. Maka dengan pemahaman keagamaan yang benar tersebut, upaya penanggulangan banjir, terutama dari segi pencegahan, dapat dilakukan secara maksimal melalui pendekatan keagamaan. Untuk menjawab fenomena terjadinya banjir sekarang ini dalam perspektif Islam, diperlukan neo teologi banjir.
Dalam buku Agama Ramah Lingkungan Perspektif Alquran,yang merupakan disertasi doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Mujiono Abdillah (2001) menjelaskan neo teologi banjir: bahwa banjir bukan fenomena kemurkaan Allah SWT kepada umat manusia yang disebabkan manusia tidak mau menerima kehadiran Tuhan dalam dirinya.
Banjir juga bukan sekadar musibah yang datang dari Allah SWT kepada umat manusia, melainkan merupakan fenomena ekologis yang disebabkan perilaku manusia dalam mengelola alam semesta beserta dengan isinya yang menentang sunah lingkungan.
Hal ini berdasarkan fakta bahwa banjir yang terjadi sekarang ini,di belahan bumi mana pun, lebih dominan diakibatkan kesalahan dan perilaku manusia dalam mengelola lingkungan alam. Hal ini sebagaimana ditegaskan Firman Allah SWT:
”Dan Kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yangmenganiayadirimereka sendiri, karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah,di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka (QS Huud:101).
Demikian juga kata kunci yang terdapat dalam QS Al A’raf ayat 64 dan 71: ”... Kami tenggelamkan dan kami punahkan orang-orang yang mendustai ayat-ayat Kami”. Kata ”ayatayat Kami”tidak hanya berarti Alquran, tetapi lebih luas lagi yakni meliputi ayat-ayat yang tidak tertulis yang terhampar dalam lingkungan.
Karena itu, kalimat ”mendustakan ayatayat Kami” dalam konteks kasus banjir berpeluang dipahami sebagai sunah lingkungan. Peristiwa banjir pada zaman Nabi Nuh dan Nabi Hud terjadi karena umat kedua Nabi mendustaiatautidakmengindahkan sunah lingkungan (Abdillah, 2001).
Redefinisi neo teologis banjir yang demikian, akan melahirkan sikap ekologis yang positif dan tanggung jawab yang kuat bagi manusia terhadap kejadian banjir. Karena manusia modern cukup dominan dalam pengelolaan lingkungan alam yang potensial menjadi penyebab banjir, manusia merupakan makhluk yang paling bertanggung jawab terhadap fenomena banjir dan bertanggung jawab pula untuk mencegah terjadinya banjir.
Mengingat musim hujan diramalkan masih akan berlangsung hingga Februari 2013, yang disertai dengan kemungkinan cuaca ekstrem, tidak ada salahnya kita bersiaga secara penuh untuk mencegah dan menanggulangi banjir, yang antara lain melalui pemahaman keagamaan yang benar.
Di samping itu, pemerintah juga perlu memantau kondisi lingkungan yang rawan banjir.Jika kondisi memburuk, persiapan menghadapi banjir pun tak pelak lagi harus ditingkatkan. Jadi, orang beriman yang sejati adalah orang mampu yang mencegah dan menanggulangi banjir dengan baik dan benar. Wallahu’alam.
FAOZAN AMAR
Direktur Al Wasath Institute dan Dosen Studi Islam UHAMKA
(maf)