Mengadili WNI Pendukung ISIS?
A
A
A
Muhammad Nurkhoiron
Mantan Komisioner Komnas HAM, Peneliti, dan Konsultan
PRO-kontra mengenai kepulangan WNI dari Suriah karena menjadi anggota/simpatisan ISIS hingga hari ini masih berlangsung. Kelompok politik Islam seperti PKS dan simpatisannya ngotot ingin mereka yang berada di Suriah dapat diterima kembali ke Indonesia. Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia yang merasakan dampak aksi terorisme menolak kepulangan mereka mengingat trauma atas risiko kerusakan yang bakal ditanggung. Tampaknya kelompok terakhir merupakan golongan mayoritas yang akhir-akhir semakin gencar menyampaikan pendapat mereka ke publik.
Dalam situasi pro-kontra demikian, pemerintah tampaknya lebih memilih jalan aman dengan mengakomodasi suara mayoritas. Meski demikian, pilihan pemerintah ini tampaknya masih menyisakan persoalan. Meskipun Mahfud MD selaku menkopolhukam menyatakan bahwa pemerintah tidak akan memulangkan mereka, tidak berarti persoalan menjadi selesai. Status WNI setelah bergabung dengan ISIS tidak lantas membuat mereka secara otomatis kehilangan kewarganegaraannya.
Pertama, undang-undang di Indonesia tidak mengenal hilangnya/dicabutnya hak kewarganegaraan seseorang yang berakibat seseorang tidak memiliki status kewarganegaraan sama sekali (stateless). Kedua, UU Kewarganegaraan di Indonesia memuat ketentuan tentang dicabutnya hak kewarganegaraan seseorang sebagai WNI terkait dengan hubungan seseorang dengan negara lain. Masalahnya adalah keanggotaan ISIS tidak menyebabkan pindahnya kewarganegaraan karena ISIS bukan negara yang berdaulat.
Karena itu, langkah hukum yang akan ditempuh oleh pemerintah untuk mencabut kewarganegaraan anggota ISIS akan mengalami banyak kendala. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kewarganegaraan, status kewarganegaraan mereka dapat hilang karena beberapa hal. Satu di antaranya yang mendekati ketentuan ini, bagi WNI yang turut perang dengan ISIS adalah mereka terlibat "masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden" dan "secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada atau bagian dari negara asing tersebut."
Masalahnya, meskipun sebagian WNI yang berada di area pertempuran ISIS ini sudah dilatih secara militer/paramiliter, tidak serta-merta mereka dianggap sudah menjadi bagian dari tentara asing karena ISIS bukan negara berdaulat yang diakui eksistensinya oleh komunitas internasional sehingga istilah "tentara asing" atau "negara asing" sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut tidak tepat.
Dengan demikian, jika opsi yang dipilih oleh pemerintah terhadap anggota ISIS ini adalah pencabutan hak kewarganegaraan yang didasarkan atas UU Kewarganegaraan, maka tindakan ini justru dapat dianggap tindakan melawan hukum jika berdampak bagi hilangnya status kewarganegaraan mereka (stateless).
Karena itu, Pemerintah Indonesia tampaknya tidak memiliki banyak pilihan kecuali membuka kembali Undang-Undang Penanggulangan Terorisme yang baru setahun kemarin disahkan; UU Nomor 5 Tahun 2018. Undang-undang ini memberikan ketentuan untuk mengadili warga negara Indonesia yang terlibat langsung maupun tidak langsung tindakan pidana terorisme baik di luar maupun di dalam negeri.
Berdasarkan UU Penanggulangan Terorisme Nomor 5 Tahun 2018, ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menangani mereka. Pertama, memproses para WNI yang kini masih berada di Suriah karena terlibat kejahatan terorisme yang luar biasa yang telah dilakukan oleh ISIS. Hampir semua negara di dunia saat ini tidak akan menolak kejahatan besar yang dilakukan oleh ISIS. Kejahatan mereka bahkan sangat layak disetarakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Meskipun sampai saat ini belum ada perbincangan di dalam hukum HAM internasional untuk mendorong kejahatan ISIS ke internasional tribunal, namun dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan terorisme ISIS, dan akibat-akibat yang diderita oleh korban dari penduduk sipil saya kira sudah selevel dengan korban-korban kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah diproses di pengadilan HAM internasional: Rwanda, Bosnia, dan lain-lain.
Masalahnya, seberapa jauh kesiapan Pemerintah Indonesia menyambut mereka untuk dihadapkan di depan pengadilan pidana di Indonesia? Mahfud MD menyatakan bahwa setidaknya ada 6.000 WNI yang akan pulang dari Suriah. Sanggupkah pengadilan di Indonesia mengatasi antrean panjang yang bakal dimasukkan sebagai terduga teroris? Bagaimana menyeleksi ribuan orang yang nanti digolongkan ke dalam delik sangkaan yang berbeda-beda? Terlibat dalam aksi teroris, membantu pendanaan, memobilisasi/melakukan pengiriman untuk tindakan teroris, dan lain-lain.
Sementara itu, persoalan yang paling krusial sebelum penyelidikan atas dugaan tindakan terorisme dilakukan adalah akan ditempatkan di manakah para WNI yang saat ini masih di Suriah yang kelak akan diadili di Indonesia? Bukan pekerjaan mudah. Akan tetapi, dalam rangka penegakan hukum (rule of law) dan upaya menjunjung tinggi hak asasi manusia, menggiring mereka melalui jalan yudisial adalah pilihan ideal.
Keberhasilan menyelenggarakan pengadilan bagi terduga teroris dalam jumlah yang besar akan menjadi contoh bagi negara-negara lain yang sampai saat ini masih gamang menentukan pilihan, bahkan ada yang sudah memilih menutup rapat pintu kantor imigrasi mereka bagi proses kepulangan warga yang terpapar ISIS.
Karena itu, catatan penting yang layak diperhatikan dalam proses hukum bagi terduga teroris adalah seberapa jauh keamanan nasional tidak terganggu. Para pemerhati terorisme dan ahli yang membidani isu keamanan meyakini bahwa mengundang 6.000 orang yang terpapar ideologi terorisme sama artinya dengan membawa api di atas rumput kering.
Berbagai upaya deradikalisasi yang selama ini ada, upaya membalikkan doktrin yang selama ini mereka yakini, faktanya jauh lebih sulit daripada menghadirkan mereka di depan pengadilan. Bahkan saat mereka menjalani hukuman pun, mereka terus mengambil kesempatan untuk menebarkan doktrin mereka.
Itulah sebabnya menjadi beralasan jika konferensi Internasional Al-Azhar, di Nasr City pada 27-28 Januari 2020 menyatakan sikap tegas terhadap kelompok jihadis ini dan mendorong semua negara sah untuk membasmi mereka. Dengan merujuk doktrin Kaidah Fikih yang selama ini diyakini kelompok Sunni, "menghilangkan kemudaratan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan (dar’ul mafasid awla min jalbil masholihi).
Dengan kata lain, ulama-ulama yang berkumpul di Al-Azhar ini berpendapat, menegakkan hak asasi manusia adalah hal yang penting dalam upaya mengadili mereka, namun yang jauh lebih utama adalah jangan sampai proses itu justru membuka celah bagi mereka untuk menebarkan ancaman dan teror yang membahayakan keselamatan banyak orang.
Jadi, pertanyaan yang harus kita jawab sebelum menggelar pengadilan bagi terduga teroris ini adalah mungkinkah mengadili ribuan orang dari Suriah sebagai terduga teroris dalam rangka rule of law dan hak asasi manusia tanpa ada risiko keamanan yang membahayakan keselamatan orang yang lebih banyak? Berbagai praktik di berbagai negara menunjukkan bahwa menyeimbangkan kepentingan HAM dan keamanan adalah masalah sulit sekaligus rumit. Wallahu‘alam.
Mantan Komisioner Komnas HAM, Peneliti, dan Konsultan
PRO-kontra mengenai kepulangan WNI dari Suriah karena menjadi anggota/simpatisan ISIS hingga hari ini masih berlangsung. Kelompok politik Islam seperti PKS dan simpatisannya ngotot ingin mereka yang berada di Suriah dapat diterima kembali ke Indonesia. Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia yang merasakan dampak aksi terorisme menolak kepulangan mereka mengingat trauma atas risiko kerusakan yang bakal ditanggung. Tampaknya kelompok terakhir merupakan golongan mayoritas yang akhir-akhir semakin gencar menyampaikan pendapat mereka ke publik.
Dalam situasi pro-kontra demikian, pemerintah tampaknya lebih memilih jalan aman dengan mengakomodasi suara mayoritas. Meski demikian, pilihan pemerintah ini tampaknya masih menyisakan persoalan. Meskipun Mahfud MD selaku menkopolhukam menyatakan bahwa pemerintah tidak akan memulangkan mereka, tidak berarti persoalan menjadi selesai. Status WNI setelah bergabung dengan ISIS tidak lantas membuat mereka secara otomatis kehilangan kewarganegaraannya.
Pertama, undang-undang di Indonesia tidak mengenal hilangnya/dicabutnya hak kewarganegaraan seseorang yang berakibat seseorang tidak memiliki status kewarganegaraan sama sekali (stateless). Kedua, UU Kewarganegaraan di Indonesia memuat ketentuan tentang dicabutnya hak kewarganegaraan seseorang sebagai WNI terkait dengan hubungan seseorang dengan negara lain. Masalahnya adalah keanggotaan ISIS tidak menyebabkan pindahnya kewarganegaraan karena ISIS bukan negara yang berdaulat.
Karena itu, langkah hukum yang akan ditempuh oleh pemerintah untuk mencabut kewarganegaraan anggota ISIS akan mengalami banyak kendala. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kewarganegaraan, status kewarganegaraan mereka dapat hilang karena beberapa hal. Satu di antaranya yang mendekati ketentuan ini, bagi WNI yang turut perang dengan ISIS adalah mereka terlibat "masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden" dan "secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada atau bagian dari negara asing tersebut."
Masalahnya, meskipun sebagian WNI yang berada di area pertempuran ISIS ini sudah dilatih secara militer/paramiliter, tidak serta-merta mereka dianggap sudah menjadi bagian dari tentara asing karena ISIS bukan negara berdaulat yang diakui eksistensinya oleh komunitas internasional sehingga istilah "tentara asing" atau "negara asing" sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut tidak tepat.
Dengan demikian, jika opsi yang dipilih oleh pemerintah terhadap anggota ISIS ini adalah pencabutan hak kewarganegaraan yang didasarkan atas UU Kewarganegaraan, maka tindakan ini justru dapat dianggap tindakan melawan hukum jika berdampak bagi hilangnya status kewarganegaraan mereka (stateless).
Karena itu, Pemerintah Indonesia tampaknya tidak memiliki banyak pilihan kecuali membuka kembali Undang-Undang Penanggulangan Terorisme yang baru setahun kemarin disahkan; UU Nomor 5 Tahun 2018. Undang-undang ini memberikan ketentuan untuk mengadili warga negara Indonesia yang terlibat langsung maupun tidak langsung tindakan pidana terorisme baik di luar maupun di dalam negeri.
Berdasarkan UU Penanggulangan Terorisme Nomor 5 Tahun 2018, ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menangani mereka. Pertama, memproses para WNI yang kini masih berada di Suriah karena terlibat kejahatan terorisme yang luar biasa yang telah dilakukan oleh ISIS. Hampir semua negara di dunia saat ini tidak akan menolak kejahatan besar yang dilakukan oleh ISIS. Kejahatan mereka bahkan sangat layak disetarakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Meskipun sampai saat ini belum ada perbincangan di dalam hukum HAM internasional untuk mendorong kejahatan ISIS ke internasional tribunal, namun dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan terorisme ISIS, dan akibat-akibat yang diderita oleh korban dari penduduk sipil saya kira sudah selevel dengan korban-korban kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah diproses di pengadilan HAM internasional: Rwanda, Bosnia, dan lain-lain.
Masalahnya, seberapa jauh kesiapan Pemerintah Indonesia menyambut mereka untuk dihadapkan di depan pengadilan pidana di Indonesia? Mahfud MD menyatakan bahwa setidaknya ada 6.000 WNI yang akan pulang dari Suriah. Sanggupkah pengadilan di Indonesia mengatasi antrean panjang yang bakal dimasukkan sebagai terduga teroris? Bagaimana menyeleksi ribuan orang yang nanti digolongkan ke dalam delik sangkaan yang berbeda-beda? Terlibat dalam aksi teroris, membantu pendanaan, memobilisasi/melakukan pengiriman untuk tindakan teroris, dan lain-lain.
Sementara itu, persoalan yang paling krusial sebelum penyelidikan atas dugaan tindakan terorisme dilakukan adalah akan ditempatkan di manakah para WNI yang saat ini masih di Suriah yang kelak akan diadili di Indonesia? Bukan pekerjaan mudah. Akan tetapi, dalam rangka penegakan hukum (rule of law) dan upaya menjunjung tinggi hak asasi manusia, menggiring mereka melalui jalan yudisial adalah pilihan ideal.
Keberhasilan menyelenggarakan pengadilan bagi terduga teroris dalam jumlah yang besar akan menjadi contoh bagi negara-negara lain yang sampai saat ini masih gamang menentukan pilihan, bahkan ada yang sudah memilih menutup rapat pintu kantor imigrasi mereka bagi proses kepulangan warga yang terpapar ISIS.
Karena itu, catatan penting yang layak diperhatikan dalam proses hukum bagi terduga teroris adalah seberapa jauh keamanan nasional tidak terganggu. Para pemerhati terorisme dan ahli yang membidani isu keamanan meyakini bahwa mengundang 6.000 orang yang terpapar ideologi terorisme sama artinya dengan membawa api di atas rumput kering.
Berbagai upaya deradikalisasi yang selama ini ada, upaya membalikkan doktrin yang selama ini mereka yakini, faktanya jauh lebih sulit daripada menghadirkan mereka di depan pengadilan. Bahkan saat mereka menjalani hukuman pun, mereka terus mengambil kesempatan untuk menebarkan doktrin mereka.
Itulah sebabnya menjadi beralasan jika konferensi Internasional Al-Azhar, di Nasr City pada 27-28 Januari 2020 menyatakan sikap tegas terhadap kelompok jihadis ini dan mendorong semua negara sah untuk membasmi mereka. Dengan merujuk doktrin Kaidah Fikih yang selama ini diyakini kelompok Sunni, "menghilangkan kemudaratan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan (dar’ul mafasid awla min jalbil masholihi).
Dengan kata lain, ulama-ulama yang berkumpul di Al-Azhar ini berpendapat, menegakkan hak asasi manusia adalah hal yang penting dalam upaya mengadili mereka, namun yang jauh lebih utama adalah jangan sampai proses itu justru membuka celah bagi mereka untuk menebarkan ancaman dan teror yang membahayakan keselamatan banyak orang.
Jadi, pertanyaan yang harus kita jawab sebelum menggelar pengadilan bagi terduga teroris ini adalah mungkinkah mengadili ribuan orang dari Suriah sebagai terduga teroris dalam rangka rule of law dan hak asasi manusia tanpa ada risiko keamanan yang membahayakan keselamatan orang yang lebih banyak? Berbagai praktik di berbagai negara menunjukkan bahwa menyeimbangkan kepentingan HAM dan keamanan adalah masalah sulit sekaligus rumit. Wallahu‘alam.
(thm)