Proyeksi Politik Hukum Islam Jokowi-Ma’ruf
A
A
A
Ferdian Andi Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)/
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
PEMERINTAHAN Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin periode 2019-2024 telah dimulai pada 20 Oktober 2019 lalu. Pasangan yang terdiri atas unsur nasionalis yang dirpresentasikan Jokowi dan unsur agamais yang dilekatkan pada figur KH Ma’ruf Amin ini, menarik dikupas dari sisi bagaimana wajah politik hukum Islam selama lima tahun ke depan.
Apakah dengan latar belakang KH Ma’ruf Amin yang sebelumnya sebagai pimpinan tertinggi organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Rais ‘aam PBNU serta Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menjadi faktor penting dalam proses dialektika politik hukum Islam selama lima tahun ke depan.
Terdapat catatan menarik dalam penunjukan menteri agama di Kabinet Indonesia Maju (KIM). Posisi menteri agama yang dipilih presiden yang berlatar belakang tentara, bukan berasal dari kalangan santri menimbulkan reaksi dari komunitas nahdliyin. Dalam peristiwa ini, posisi Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin tampak tidak memiliki peran dalam akomodasi struktural dari kalangan santri, khususnya dalam penentuan jabatan Menteri Agama yang selama era Reformasi ini selalu diisi dari kalangan santri.
Di sisi lain, kepemimpinan Jokowi selama lima tahun terakhir ini telah menampilkan wajah politik hukum yang berpihak kepada kelompok Islam. Setidaknya sejumlah kebijakan politik hukum Islam yang populis diterbitkan, seperti Keputusan Presiden (Kepres) No 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri serta penerbitan sejumlah UU yang bernuansa "islami".
Seperti UU No 8 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang baru disahkan pada 24 September 2019 lalu serta pembatalan Peremendikbud 23 Tahun 2017 tentang Lima Hari Sekolah, yang dinilai kalangan masyarakat Islam bakal memberangus madrasah diniah (madin), sekolah tradisional berbasis agama Islam yang banyak berdiri di tengah masyarakat muslim.
Jika melihat recana Program legislasi nasional Periode 2014-2019, terdapat empat RUU yang bernuansa Islam yakni RUU Tabungan Haji, RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU Pesantren, dan RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Namun dalam kenyatannya, hanya dua RUU yang berhasil disahkan menjadi UU.
Relasi negara dan agama (Islam) yang salah satunya diwujudkan melalui kebijakan politk hukum Islam ini, dapat dimaknai sebagai upaya akomodasi negara terhadap kelompok Islam, melalui penerbitan sejumlah produk legislasi maupun regulasi yang memiliki sprit Islam. Situasi ini pernah terjadi di era Orde Baru termasuk di awal era Reformasi, 20 tahun lalu.
Terlebih, dalam beberapa tahun terakhir ini, dinamika relasi antara kelompok Islam, yang direpresentasikan kelompok Islam "212" dengan Pemerintahan Jokowi, turut serta memengaruhi politik hukum Pemerintahan Jokowi selama lima tahun terakhir. Dalam konteks ini, politik hukum Islam dapat dibaca sebagai upaya akomodasi negara dalam produk legislasi maupun regulasi terhadap kelompok Islam di Indonesia.
Proyeksi Hukum Islam
Kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin di periode kedua ini bakal dipengaruhi oleh konfigurasi politik di parlemen maupun dialektika yang muncul di tengah masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa kebijakan penerbitan hukum baru maupun penggantian hukum lama hadir tidak di ruang hampa.
Penerbitan peraturan perundang-undangan menjadi salah satu instrumen penting bagi negara untuk memastikan akomodasi terhadap aspirasi masyarakat, dapat terwadahi melalui instrumen kebijakan negara berupa undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam konteks proyeksi hukum Islam selama lima tahun ke depan, dapat dilihat dari sejauh mana peran Parlemen, khususnya yang berasal dari fraksi yang berasas Islam (PKS dan PPP) maupun fraksi yang berbasis Islam (PKB dan PAN) dalam menyuarakan penyusunan legislasi yang bernuansa Islam. Karena secara formal, aspirasi masyarakat Islam dapat diakomodasi melalui usulan resmi fraksi-fraksi di Parlemen.
Jika melihat formasi struktur politik baik di eksekutif maupun di Parlemen dalam lima tahun ke depan, sebenarnya tidak terlalu banyak mengalami perubahan yang signifikan. Seperti fraksi-fraksi berbasas Islam maupun berbasis Islam di Parlemen dalam Pemilu 2019 lalu, hanya mampu mengumpulkan total suara 27,26%. Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan Pemilu 2014 yang mencapai 31,4%.
Secara kuantitatif, DPR periode 2019-2024 khususnya dari fraksi-fraksi berasas Islam maupun berbasis Islam tidak mengalami perubahan dibandingkan DPR periode sebelumnya. Situasi ini secara simplistis dapat digambarkan wajah Parlemen dalam program legislasi yang bersumber dari norma agama Islam tidak bakal mengalami perubahan signifikan dibandingkan periode sebelumnya.
Meski terdapat sisi yang tidak bisa diabaikan dari formasi kabinet baru ini, seperti di portofolio bidang hukum dan agama, keberadaan Menko Polhukam Mahfud MD, Menkumham Yassona H Laoly, serta Menteri Agama Fachrul Razi akan menentukan warna dalam penyusunan regulasi atau legislasi yang bernuansa agama.
Apalagi, terkhusus, Menteri Agama Fachrul Razi yang mendapat tugas khusus dari Presiden untuk menangkal radikalisme yang berbasis agama, yang belakangan kerap menyampaikan pernyataan yang memicu polemik di publik. Sejumlah rencana penerbitan regulasi di bidang keagamaan, seperti rencana perubahan materi buku-buku pelajaran di lingkungan pendidikan keagamaan agar ramah terhadap moderasi beragama. Di poin ini, Menteri Agama bakal turut menjadi faktor penting dalam politik hukum Islam selama lima tahun ke depan.
Jika melihat wajah parlemen dan eksekutif periode 2019-2024 ini, diperdiksikan politik hukum Islam tidak mengalami banyak kemajuan yang berarti dibanding periode sebelumnya. Tunggakan rencana legislasi pada masa kerja DPR periode 2014-2019 seperti RUU Larangan Minuman Beralkohol dan RUU Tabungan Haji, secara teoretis dapat ditindaklanjuti di DPR periode berikutnya dengan kembali memasukkannya dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka panjang periode 2019-2024.
Khusus RUU Larangan Minuman Beralkohol, jika melihat antusiasme pemerintah dan sejumlah fraksi di Parlemen saat pembahasan RUU tersebut, kemungkinan besar RUU ini tidak dilanjutkan pembahasannya di periode berikutnya. Perbedaan pandangan dari judul antara "RUU Larangan Minuman Beralkohol" dan "RUU Pengendalian Minuman Beralkohol" menjadi salah satu pemicu molornya pembahasan RUU tersebut. Dari judul RUU tersebut, sebenarnya dapat diketahui sejauh mana sikap negara terhadap minuman beralkohol di Indonesia.
Faktor Ma’ruf Amin
Keberadaan Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden secara teoritis menjadi faktor penentu atas wajah politik hukum Islam dalam lima tahun ke depan. Kebijakan negara dalam bidang hukum, semestinya dapat diwarnai atas keberadaan dan kompetensi Ma’ruf Amin khususnya dalam bidang keislaman di Indonesia.
Meski sayangnya, di awal Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ini, peran Ma’ruf tampak tak begitu menonjol khususnya dalam penempatan formasi kabinet. Penempatan posisi menteri agama yang banyak diprotes kalangan kiai NU menunjukkan adanya disparitas aspirasi dari kalangan nahdliyin dengan Ma’ruf Amin dalam kapasitasnya sebagai Mustasyar NU maupun sebagai Ketua Umum (nonaktif) MUI .
Situasi tersebut mestinya tak boleh terjadi lagi di waktu mendatang. Perumusan kebijakan negara khususnya terkait dengan kebijakan politik hukum Islam, posisi dan peran Ma’ruf Amin dapat menjadi faktor penting serta menjadi kanal bagi masyarakat Islam dalam penyampaian aspirasi di kebijakan hukum negara.
Latar belakang Ma’ruf Amin sebagai pemimpin tertinggi NU dan MUI, secara teoritis akan lebih memudahkan proses politik dalam penyusunan legislasi dan regulasi di level pemerintah. Peristiwa lambatnya penyusunan regulasi eksekutif seperti Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jaminan Produk Halal (JPH) beberapa waktu lalu, di lima tahun ke depan tak boleh terjadi lagi.
Setidaknya, Ma’ruf Amin dalam kapasitasnya sebagai wakil presiden dapat menjadi ice breaker terhadap kendala yang terjadi di birokrasi baik secara politis maupun teknis. Teorinya, Ma’ruf Amin dapat menjadi harapan bagi umat Islam dalam penerbitan kebijakan hukum yang berorientasi terhadap kepentingan umat Islam di Indonesia. Karena setidaknya, hal itu pula yang menjadi preferensi masyarakat muslim khususnya warga nahdliyin saat menjatuhkan pilihan terhadap pasangan Jokowi-Ma’ruf pada pemilu 17 April 2019 lalu.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
PEMERINTAHAN Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin periode 2019-2024 telah dimulai pada 20 Oktober 2019 lalu. Pasangan yang terdiri atas unsur nasionalis yang dirpresentasikan Jokowi dan unsur agamais yang dilekatkan pada figur KH Ma’ruf Amin ini, menarik dikupas dari sisi bagaimana wajah politik hukum Islam selama lima tahun ke depan.
Apakah dengan latar belakang KH Ma’ruf Amin yang sebelumnya sebagai pimpinan tertinggi organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Rais ‘aam PBNU serta Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menjadi faktor penting dalam proses dialektika politik hukum Islam selama lima tahun ke depan.
Terdapat catatan menarik dalam penunjukan menteri agama di Kabinet Indonesia Maju (KIM). Posisi menteri agama yang dipilih presiden yang berlatar belakang tentara, bukan berasal dari kalangan santri menimbulkan reaksi dari komunitas nahdliyin. Dalam peristiwa ini, posisi Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin tampak tidak memiliki peran dalam akomodasi struktural dari kalangan santri, khususnya dalam penentuan jabatan Menteri Agama yang selama era Reformasi ini selalu diisi dari kalangan santri.
Di sisi lain, kepemimpinan Jokowi selama lima tahun terakhir ini telah menampilkan wajah politik hukum yang berpihak kepada kelompok Islam. Setidaknya sejumlah kebijakan politik hukum Islam yang populis diterbitkan, seperti Keputusan Presiden (Kepres) No 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri serta penerbitan sejumlah UU yang bernuansa "islami".
Seperti UU No 8 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang baru disahkan pada 24 September 2019 lalu serta pembatalan Peremendikbud 23 Tahun 2017 tentang Lima Hari Sekolah, yang dinilai kalangan masyarakat Islam bakal memberangus madrasah diniah (madin), sekolah tradisional berbasis agama Islam yang banyak berdiri di tengah masyarakat muslim.
Jika melihat recana Program legislasi nasional Periode 2014-2019, terdapat empat RUU yang bernuansa Islam yakni RUU Tabungan Haji, RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU Pesantren, dan RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Namun dalam kenyatannya, hanya dua RUU yang berhasil disahkan menjadi UU.
Relasi negara dan agama (Islam) yang salah satunya diwujudkan melalui kebijakan politk hukum Islam ini, dapat dimaknai sebagai upaya akomodasi negara terhadap kelompok Islam, melalui penerbitan sejumlah produk legislasi maupun regulasi yang memiliki sprit Islam. Situasi ini pernah terjadi di era Orde Baru termasuk di awal era Reformasi, 20 tahun lalu.
Terlebih, dalam beberapa tahun terakhir ini, dinamika relasi antara kelompok Islam, yang direpresentasikan kelompok Islam "212" dengan Pemerintahan Jokowi, turut serta memengaruhi politik hukum Pemerintahan Jokowi selama lima tahun terakhir. Dalam konteks ini, politik hukum Islam dapat dibaca sebagai upaya akomodasi negara dalam produk legislasi maupun regulasi terhadap kelompok Islam di Indonesia.
Proyeksi Hukum Islam
Kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin di periode kedua ini bakal dipengaruhi oleh konfigurasi politik di parlemen maupun dialektika yang muncul di tengah masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa kebijakan penerbitan hukum baru maupun penggantian hukum lama hadir tidak di ruang hampa.
Penerbitan peraturan perundang-undangan menjadi salah satu instrumen penting bagi negara untuk memastikan akomodasi terhadap aspirasi masyarakat, dapat terwadahi melalui instrumen kebijakan negara berupa undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam konteks proyeksi hukum Islam selama lima tahun ke depan, dapat dilihat dari sejauh mana peran Parlemen, khususnya yang berasal dari fraksi yang berasas Islam (PKS dan PPP) maupun fraksi yang berbasis Islam (PKB dan PAN) dalam menyuarakan penyusunan legislasi yang bernuansa Islam. Karena secara formal, aspirasi masyarakat Islam dapat diakomodasi melalui usulan resmi fraksi-fraksi di Parlemen.
Jika melihat formasi struktur politik baik di eksekutif maupun di Parlemen dalam lima tahun ke depan, sebenarnya tidak terlalu banyak mengalami perubahan yang signifikan. Seperti fraksi-fraksi berbasas Islam maupun berbasis Islam di Parlemen dalam Pemilu 2019 lalu, hanya mampu mengumpulkan total suara 27,26%. Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan Pemilu 2014 yang mencapai 31,4%.
Secara kuantitatif, DPR periode 2019-2024 khususnya dari fraksi-fraksi berasas Islam maupun berbasis Islam tidak mengalami perubahan dibandingkan DPR periode sebelumnya. Situasi ini secara simplistis dapat digambarkan wajah Parlemen dalam program legislasi yang bersumber dari norma agama Islam tidak bakal mengalami perubahan signifikan dibandingkan periode sebelumnya.
Meski terdapat sisi yang tidak bisa diabaikan dari formasi kabinet baru ini, seperti di portofolio bidang hukum dan agama, keberadaan Menko Polhukam Mahfud MD, Menkumham Yassona H Laoly, serta Menteri Agama Fachrul Razi akan menentukan warna dalam penyusunan regulasi atau legislasi yang bernuansa agama.
Apalagi, terkhusus, Menteri Agama Fachrul Razi yang mendapat tugas khusus dari Presiden untuk menangkal radikalisme yang berbasis agama, yang belakangan kerap menyampaikan pernyataan yang memicu polemik di publik. Sejumlah rencana penerbitan regulasi di bidang keagamaan, seperti rencana perubahan materi buku-buku pelajaran di lingkungan pendidikan keagamaan agar ramah terhadap moderasi beragama. Di poin ini, Menteri Agama bakal turut menjadi faktor penting dalam politik hukum Islam selama lima tahun ke depan.
Jika melihat wajah parlemen dan eksekutif periode 2019-2024 ini, diperdiksikan politik hukum Islam tidak mengalami banyak kemajuan yang berarti dibanding periode sebelumnya. Tunggakan rencana legislasi pada masa kerja DPR periode 2014-2019 seperti RUU Larangan Minuman Beralkohol dan RUU Tabungan Haji, secara teoretis dapat ditindaklanjuti di DPR periode berikutnya dengan kembali memasukkannya dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka panjang periode 2019-2024.
Khusus RUU Larangan Minuman Beralkohol, jika melihat antusiasme pemerintah dan sejumlah fraksi di Parlemen saat pembahasan RUU tersebut, kemungkinan besar RUU ini tidak dilanjutkan pembahasannya di periode berikutnya. Perbedaan pandangan dari judul antara "RUU Larangan Minuman Beralkohol" dan "RUU Pengendalian Minuman Beralkohol" menjadi salah satu pemicu molornya pembahasan RUU tersebut. Dari judul RUU tersebut, sebenarnya dapat diketahui sejauh mana sikap negara terhadap minuman beralkohol di Indonesia.
Faktor Ma’ruf Amin
Keberadaan Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden secara teoritis menjadi faktor penentu atas wajah politik hukum Islam dalam lima tahun ke depan. Kebijakan negara dalam bidang hukum, semestinya dapat diwarnai atas keberadaan dan kompetensi Ma’ruf Amin khususnya dalam bidang keislaman di Indonesia.
Meski sayangnya, di awal Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ini, peran Ma’ruf tampak tak begitu menonjol khususnya dalam penempatan formasi kabinet. Penempatan posisi menteri agama yang banyak diprotes kalangan kiai NU menunjukkan adanya disparitas aspirasi dari kalangan nahdliyin dengan Ma’ruf Amin dalam kapasitasnya sebagai Mustasyar NU maupun sebagai Ketua Umum (nonaktif) MUI .
Situasi tersebut mestinya tak boleh terjadi lagi di waktu mendatang. Perumusan kebijakan negara khususnya terkait dengan kebijakan politik hukum Islam, posisi dan peran Ma’ruf Amin dapat menjadi faktor penting serta menjadi kanal bagi masyarakat Islam dalam penyampaian aspirasi di kebijakan hukum negara.
Latar belakang Ma’ruf Amin sebagai pemimpin tertinggi NU dan MUI, secara teoritis akan lebih memudahkan proses politik dalam penyusunan legislasi dan regulasi di level pemerintah. Peristiwa lambatnya penyusunan regulasi eksekutif seperti Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jaminan Produk Halal (JPH) beberapa waktu lalu, di lima tahun ke depan tak boleh terjadi lagi.
Setidaknya, Ma’ruf Amin dalam kapasitasnya sebagai wakil presiden dapat menjadi ice breaker terhadap kendala yang terjadi di birokrasi baik secara politis maupun teknis. Teorinya, Ma’ruf Amin dapat menjadi harapan bagi umat Islam dalam penerbitan kebijakan hukum yang berorientasi terhadap kepentingan umat Islam di Indonesia. Karena setidaknya, hal itu pula yang menjadi preferensi masyarakat muslim khususnya warga nahdliyin saat menjatuhkan pilihan terhadap pasangan Jokowi-Ma’ruf pada pemilu 17 April 2019 lalu.
(kri)