Jokowi dan Orkestrasi Kabinet
A
A
A
Ali Rif’an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
SUMPAH jabatan sebagai presiden dan wakil presiden 2019-2024 baru saja dipanjatkan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Secara konstitusional, pasangan nasionalis-religius tersebut sudah sah menakhodai kapal besar bernama Indonesia. Setidaknya terdapat lima poin penting yang disampaikan Presiden Jokowi seusai pelantikan pada Minggu (20/10/2019).
Pertama, soal pembangunan sumber daya manusia (SDM). Pembangunan SDM menjadi prioritas pemerintahan periode kedua. Presiden Jokowi ingin membangun SDM yang terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, pekerja keras dan dinamis. Guna mewujudkannya, Jokowi berencana mengundang talenta-talenta global bekerja sama dengan SDM Tanah Air. Ia juga menghimbau agar para menteri yang membantunya di kabinet tidak menggunakan cara-cara lama dalam membangun SDM, namun mengembangkan cara-cara baru. Misalnya dengan endowment fund yang besar untuk manajemen SDM dan lainnya.
Kedua, melanjutkan pembangunan infrastruktur. Menurut Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur tetap harus dilanjutkan karena itu dapat menghubungkan kawasan produksi dengan kawasan distribusi, mempermudah akses ke kawasan wisata, mendongkrak lapangan kerja baru, dan mengakselerasi nilai tambah perekonomian rakyat.
Ketiga, menyederhanakan regulasi. Presiden Jokowi ingin bahwa segala bentuk kendala regulasi harus sederhanakan, dipotong, dan dipangkas. Tak hanya itu, Jokowi juga akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi omnibus law , yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa bahkan puluhan undang-undang.
Keempat, soal menyederhanakan birokrasi. Jokowi hendak menyederhanakan birokrasi secara besar-besaran guna menarik investasi dan penciptaan lapangan kerja. Prosedur dan birokrasi yang panjang akan dipotong dan dipangkas. Eselonisasi disederhanakan menjadi dua level saja. Jabatan eselon akan diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian dan kompetensi.
Kelima, transformasi ekonomi. Di sini Jokowi ingin melakukan transformasi dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tentu jika dicermati, ada perbedaan menarik soal pidato Presiden Jokowi usai pelantikannya sebagai presiden pada 2014 dan 2019. Pada 2014 Jokowi berulang kali mengingatkan soal pentingnya kerja, sedangkan pada 2019 lebih menekankan pentingnya inovasi. Perbedaan lainnya, antara lain, pada 2014 isi pidato Jokowi memberikan ancaman bagi bawahannya, namun pada 2019 justru memberikan ancaman keras kepada para pembantunya. "Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan, pasti saya copot," demikian penggalan pidato Presiden Jokowi.
Orkestrasi Kabinet
Publik berharap lima agenda penting pemerintahan di atas tidak sekadar berhenti pada tataran euforia-retorika saat pelantikan. Namun perlu diwujudkan dalam aksi nyata. Tentu upaya penting untuk memuluskan agenda-agenda strategis tersebut antara lain, pertama, Presiden Jokowi mesti memastikan bahwa para pembantunya di kabinet mampu memahami dan menjalankan visi-misi sang Presiden, bukan visi-misi kementerian.
Fungsi kementerian hanyalah wadah untuk menggodok dan memasak visi-misi sang Presiden untuk kemudian dihidangkan kepada masyarakat. Bukan membuat visi-misi baru. Hal ini penting supaya kerja kementerian tidak melebar ke mana-mana alias fokus pada target dan prioritas yang ditentukan sang Presiden.
Kedua, tidak cukup punya kompetensi dan keahlian, Jokowi perlu memastikan bahwa para menterinya ialah orang yang loyal kepada presiden, bukan elite partai. Pasalnya, jika seorang menteri (khususnya dari kelompok partai) punya loyalitas ganda maka akan kontraproduktif. Dalam sejumlah kasus belum tentu misalnya kepentingan pemerintah senapas dengan kepentingan parpol. Jangan sampai kerja menteri justru tersandera dengan parpolnya sendiri.
Karena itu, publik juga menanti kesadaran elite parpol agar secara ikhlas melepas kader terbaiknya untuk mendarmabaktikan diri kepada pemerintahan ketika sudah ditunjuk sebagai menteri. Ini merupakan fatsun politik yang perlu dimiliki oleh para elite politik kita.
Ketiga, Presiden Jokowi perlu memastikan bahwa para pembantunya ialah orang yang mampu mengikuti irama kerja dan langgam kepemimpinan dirinya. Seperti kerap disampaikan Presiden Jokowi, di era revolusi industri 4.0, tantangan kompetisi global bukan lagi negara besar menguasai negara kecil, namun negara cepat mengusai negara lambat. Sehingga Presiden Jokowi perlu memastikan bahwa para menterinya mampu bekerja cepat dan melakukan terobosan-terobosan baru untuk menjawab tantangan global yang makin kompleks.
Keempat, memastikan menteri tidak curi start untuk kepentingan politik 2024. Sebab, jangan sampai misalnya setelah dilantik tiba-tiba seorang menteri mengibarkan bendera ingin jadi presiden pada 2024. Jika itu yang terjadi maka sejumlah poin-poin prioritas dalam pembangunan pemerintahan Jokowi periode kedua akan sulit diselesaikan. Karenanya Presiden Jokowi perlu mengingatkan para pembantunya agar benar-benar bekerja untuk pemerintahan periode 2019-2024, bukan justru membonceng panggung politik kabinet untuk kepentingan politik praktis.
Kelima, Presiden Jokowi perlu memastikan bahwa para menterinya mampu bekerja secara kolaboratif, baik dengan presiden dan wakil presiden, dengan sesama menteri, mitra komisi di DPR ataupun dengan pejabat eselon. Hal ini penting mengingat kolaborasi merupakan salah satu kunci sukses pola kerja di era revolusi industri 4.0.
Keenam, memastikan para menteri tidak melakukan komunikasi politik yang justru mendatangkan blunder dan distorsi di masyarakat. Sebab, belajar dari periode pertama, menteri Jokowi kerap melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial ke publik. Tidak jarang justru Presiden Jokowi malah jadi bemper dari blunder komunikasi yang dilakukan pembantunya.
Selain dapat memperkeruh iklim investasi di Indonesia, blunder komunikasi menteri dapat membuat citra pemerintahan buruk. Presiden Jokowi akan dinilai publik tidak becus mengelola para pembantunya, sehingga hal ini dapat melemahkan kepercayan publik terhadap presiden. Tentu sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan (singel chief executive ), kepercayaan publik terhadap Presiden sangatlah penting. Kepercayaan publik merupakan modal utama untuk survive menjalankan roda pemerintahan.
Akhirnya, di periode kedua kepemimpinannya, Presiden Jokowi harus mampu melakukan orkestrasi kabinet dengan baik. Ibarat sebuah orkestra, seorang presiden ialah dirigen dari pemain terompet hingga penggesek biola. Dalam sebuah orkestra, agar mampu menghasilkan simfoni yang indah, maka semua pemain harus patuh terhadap instruksi dan perintah sang dirigen yakni presiden.
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
SUMPAH jabatan sebagai presiden dan wakil presiden 2019-2024 baru saja dipanjatkan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Secara konstitusional, pasangan nasionalis-religius tersebut sudah sah menakhodai kapal besar bernama Indonesia. Setidaknya terdapat lima poin penting yang disampaikan Presiden Jokowi seusai pelantikan pada Minggu (20/10/2019).
Pertama, soal pembangunan sumber daya manusia (SDM). Pembangunan SDM menjadi prioritas pemerintahan periode kedua. Presiden Jokowi ingin membangun SDM yang terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, pekerja keras dan dinamis. Guna mewujudkannya, Jokowi berencana mengundang talenta-talenta global bekerja sama dengan SDM Tanah Air. Ia juga menghimbau agar para menteri yang membantunya di kabinet tidak menggunakan cara-cara lama dalam membangun SDM, namun mengembangkan cara-cara baru. Misalnya dengan endowment fund yang besar untuk manajemen SDM dan lainnya.
Kedua, melanjutkan pembangunan infrastruktur. Menurut Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur tetap harus dilanjutkan karena itu dapat menghubungkan kawasan produksi dengan kawasan distribusi, mempermudah akses ke kawasan wisata, mendongkrak lapangan kerja baru, dan mengakselerasi nilai tambah perekonomian rakyat.
Ketiga, menyederhanakan regulasi. Presiden Jokowi ingin bahwa segala bentuk kendala regulasi harus sederhanakan, dipotong, dan dipangkas. Tak hanya itu, Jokowi juga akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi omnibus law , yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa bahkan puluhan undang-undang.
Keempat, soal menyederhanakan birokrasi. Jokowi hendak menyederhanakan birokrasi secara besar-besaran guna menarik investasi dan penciptaan lapangan kerja. Prosedur dan birokrasi yang panjang akan dipotong dan dipangkas. Eselonisasi disederhanakan menjadi dua level saja. Jabatan eselon akan diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian dan kompetensi.
Kelima, transformasi ekonomi. Di sini Jokowi ingin melakukan transformasi dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tentu jika dicermati, ada perbedaan menarik soal pidato Presiden Jokowi usai pelantikannya sebagai presiden pada 2014 dan 2019. Pada 2014 Jokowi berulang kali mengingatkan soal pentingnya kerja, sedangkan pada 2019 lebih menekankan pentingnya inovasi. Perbedaan lainnya, antara lain, pada 2014 isi pidato Jokowi memberikan ancaman bagi bawahannya, namun pada 2019 justru memberikan ancaman keras kepada para pembantunya. "Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi ampun. Saya pastikan, pasti saya copot," demikian penggalan pidato Presiden Jokowi.
Orkestrasi Kabinet
Publik berharap lima agenda penting pemerintahan di atas tidak sekadar berhenti pada tataran euforia-retorika saat pelantikan. Namun perlu diwujudkan dalam aksi nyata. Tentu upaya penting untuk memuluskan agenda-agenda strategis tersebut antara lain, pertama, Presiden Jokowi mesti memastikan bahwa para pembantunya di kabinet mampu memahami dan menjalankan visi-misi sang Presiden, bukan visi-misi kementerian.
Fungsi kementerian hanyalah wadah untuk menggodok dan memasak visi-misi sang Presiden untuk kemudian dihidangkan kepada masyarakat. Bukan membuat visi-misi baru. Hal ini penting supaya kerja kementerian tidak melebar ke mana-mana alias fokus pada target dan prioritas yang ditentukan sang Presiden.
Kedua, tidak cukup punya kompetensi dan keahlian, Jokowi perlu memastikan bahwa para menterinya ialah orang yang loyal kepada presiden, bukan elite partai. Pasalnya, jika seorang menteri (khususnya dari kelompok partai) punya loyalitas ganda maka akan kontraproduktif. Dalam sejumlah kasus belum tentu misalnya kepentingan pemerintah senapas dengan kepentingan parpol. Jangan sampai kerja menteri justru tersandera dengan parpolnya sendiri.
Karena itu, publik juga menanti kesadaran elite parpol agar secara ikhlas melepas kader terbaiknya untuk mendarmabaktikan diri kepada pemerintahan ketika sudah ditunjuk sebagai menteri. Ini merupakan fatsun politik yang perlu dimiliki oleh para elite politik kita.
Ketiga, Presiden Jokowi perlu memastikan bahwa para pembantunya ialah orang yang mampu mengikuti irama kerja dan langgam kepemimpinan dirinya. Seperti kerap disampaikan Presiden Jokowi, di era revolusi industri 4.0, tantangan kompetisi global bukan lagi negara besar menguasai negara kecil, namun negara cepat mengusai negara lambat. Sehingga Presiden Jokowi perlu memastikan bahwa para menterinya mampu bekerja cepat dan melakukan terobosan-terobosan baru untuk menjawab tantangan global yang makin kompleks.
Keempat, memastikan menteri tidak curi start untuk kepentingan politik 2024. Sebab, jangan sampai misalnya setelah dilantik tiba-tiba seorang menteri mengibarkan bendera ingin jadi presiden pada 2024. Jika itu yang terjadi maka sejumlah poin-poin prioritas dalam pembangunan pemerintahan Jokowi periode kedua akan sulit diselesaikan. Karenanya Presiden Jokowi perlu mengingatkan para pembantunya agar benar-benar bekerja untuk pemerintahan periode 2019-2024, bukan justru membonceng panggung politik kabinet untuk kepentingan politik praktis.
Kelima, Presiden Jokowi perlu memastikan bahwa para menterinya mampu bekerja secara kolaboratif, baik dengan presiden dan wakil presiden, dengan sesama menteri, mitra komisi di DPR ataupun dengan pejabat eselon. Hal ini penting mengingat kolaborasi merupakan salah satu kunci sukses pola kerja di era revolusi industri 4.0.
Keenam, memastikan para menteri tidak melakukan komunikasi politik yang justru mendatangkan blunder dan distorsi di masyarakat. Sebab, belajar dari periode pertama, menteri Jokowi kerap melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial ke publik. Tidak jarang justru Presiden Jokowi malah jadi bemper dari blunder komunikasi yang dilakukan pembantunya.
Selain dapat memperkeruh iklim investasi di Indonesia, blunder komunikasi menteri dapat membuat citra pemerintahan buruk. Presiden Jokowi akan dinilai publik tidak becus mengelola para pembantunya, sehingga hal ini dapat melemahkan kepercayan publik terhadap presiden. Tentu sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan (singel chief executive ), kepercayaan publik terhadap Presiden sangatlah penting. Kepercayaan publik merupakan modal utama untuk survive menjalankan roda pemerintahan.
Akhirnya, di periode kedua kepemimpinannya, Presiden Jokowi harus mampu melakukan orkestrasi kabinet dengan baik. Ibarat sebuah orkestra, seorang presiden ialah dirigen dari pemain terompet hingga penggesek biola. Dalam sebuah orkestra, agar mampu menghasilkan simfoni yang indah, maka semua pemain harus patuh terhadap instruksi dan perintah sang dirigen yakni presiden.
(thm)