Modis (Bukan) Modus

Sabtu, 04 Mei 2019 - 08:15 WIB
Modis (Bukan) Modus
Modis (Bukan) Modus
A A A
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

BEBERAPA hari lalu masyarakat dikagetkan kabar penangkapan Bupati Talaud oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penangkapan Bupati Talaud ini cukup mengagetkan masyarakat karena selama ini Bupati Talaud menjadi salah satu idola masyarakat, khususnya para milenial.

Sebagai bupati wanita di pulau terluar Indonesia, Sri Wahyumi Manalip (SWM) kerap tampil modis dan kekinian. Bahkan hingga ditangkap dan dibawa ke kantor KPK di Jakarta SWM tetap tampil modis dengan ”aneka barang bermerek”.

Barang bukti kasus yang melibatkan SWM tidak saja berupa uang tunai, tapi yang lebih menarik perhatian publik adalah aneka ragam barang bermerek, dari tas hingga jam yang berharga ratusan juta rupiah. Sebuah ironi, ketika kala pertama kali dilantik bupati SWM menyatakan akan membangun daerah terluar di Indonesia dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Talaud dan Miangas. Faktanya, kini SWM justru ditangkap KPK terkait dugaan korupsi revitalisasi pasar di Kabupaten Talaud.

Kasus yang melibatkan Bupati SWM ini mirip kasus yang membawa Marie Antoinette, istri raja Louis XVI yang dihukum mati oleh rakyat dengan guillotine (alat untuk menyembelih hewan ternak). Marie Antoinette kala itu memamerkan kehidupan mewah yang hedonis dan borjuis di tengah penderitaan rakyat dengan mengeksploitasi sumber perekonomian rakyat.

Hingga Revolusi Industri kala itu (sekitar 1700-1800-an) terjadi karena pengisapan manusia oleh manusia (exploitation l’home par l’home). Revitalisasi pasar yang merupakan agenda untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Talaud justru ditukar dengan agenda untuk tampil modis dengan barang bermerek (branded) dengan mengeksploitasi kebutuhan vital rakyat akan pasar yang memadai. Fakta ditangkapnya Bupati Talaud oleh KPK sekali lagi menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan atas dasar alasan dan kebutuhan politik.

Selama ini sistem politik dan perekrutan kader partai politik kerap kali dipersoalkan sebagai kambing hitam pangkal persoalan korupsi. Padahal, dalam banyak fakta sejatinya korupsi disebabkan karena serakahnya oknum pejabat untuk mengeksploitasi jabatan guna tujuan hedonisme sehingga hedonisme merupakan tujuan akhir dari perilaku koruptif.

Permakluman Lingkungan

Korupsi untuk memenuhi kebutuhan hedonisme ini terjadi karena adanya permakluman dari lingkungan terdekat seperti keluarga terdekat maupun kolega. Semestinya lingkungan terdekat dapat menjadi alarm (pengingat) bagi perilaku koruptif, misalnya ketika gaya hidup (lifestyle cost) sudah jauh melebihi dari pendapatan wajar maupun profil keuangan yang wajar maka lingkungan terdekat tidak boleh bersifat permisif.

Acap kali akar persoalan korupsi disebabkan karena lingkungan sejawat atau keluarga justru menjadi faktor pendorong (push factor) bagi terjadinya korupsi untuk tujuan hedonisme belaka. Misalnya dalam kasus SWM sudah pasti terjadi karena tiadanya fungsi pengingat dari lingkungan terdekat karena logikanya bagaimana mungkin dengan profil pendapatan bupati dapat memiliki barang mewah sebagaimana kini disita KPK. SWM sudah menjadi perhatian sejak berpelesir ke AS tanpa izin Kemendagri.

Fukuyama (1996) menguraikan bahwa stigma yang keliru tentang profil pejabat menyebabkan korupsi guna memenuhi gaya hidup. Stigma keliru tentang stereotipe pejabat bahwa penampilan pejabat harus ”berkilat dengan barang bermerek” dan stigma keliru yang membudaya tersebut telah menyebabkan korupsi dengan tujuan hedonisme tumbuh subur di kalangan birokrat. Profil pejabat sebagai pelayan masyarakat sebagaimana janji para pejabat tersebut pada saat kampanye telah luntur pada saat terpilih dan merupakan gimmick politik saja.

Demikian juga kebanggaan seorang pejabat bukan diukur dari seberapa mewah kehidupannya, tetapi diukur dari seberapa tinggi pengabdian dan kinerjanya untuk masyarakat. Dalam kasus SWM, Zumi Zola (ZZ) dan banyak kasus lain, sangat tampak bahwa kekuasaan politik justru dijadikan sarana eksploitasi uang rakyat demi gaya hidup hedonis. Jika hal ini terjadi, artinya mindset pejabat kita sudah mundur seperti tahun 1700-an, ketika kaum borjuis berkuasa.

Piere Markovic (2008) menjelaskan bahwa secara kriminologis motivasi para oknum koruptif untuk menjadi pejabat adalah bukan motivasi pengabdian, bukan pula motivasi pendapatan yang lebih baik, sebab kini motivasi menjadi pejabat adalah motivasi atas akses pendapatan (ilegal) yang lebih baik dalam bentuk kewenangan yang disalahgunakan.

Langkah Antisipatif

Jika kini modus tindak pidana korupsi telah bergeser dari uang tunai menjadi barang bermerek, maka jika sebelumnya KPK bersama instansi terkait yakni PPATK memantau dan memperketat kebijakan terkait uang tunai, kini seharusnya sistem know your customer (KYC) ada baiknya diterapkan pada penjualan barang-barang bermerek. Selain misalnya pembelian barang bermerek di atas harga tertentu tidak boleh dilakukan secara tunai, sebab kini pembelian barang mewah masih dimungkinkan transaksi secara tunai.

Selain upaya tersebut di tataran masyarakat juga harus menghindari perspektif menghargai atau ”memuja” sosok tertentu karena kemewahan atau borjuasi yang dipertunjukkan. Instagramable adalah ketika ada perbuatan yang memiliki value, seperti pengabdian pada masyarakat atau perilaku jujur.

Masyarakat pun harus mengubah pola pikir tentang kemewahan yang kerap kali dipertontonkan oknum pejabat korup di media sosial. Jika masyarakat permisif, bahkan justru kagum pada gaya hidup hedonis tersebut, sama artinya dengan masyarakat adalah push factor bagi perbuatan koruptif. Selain itu, masyarakat justru membuka kemungkinan untuk dilakukan eksploitasi oleh oknum pejabat korup.

Perspektif modis tidak harus korup perlu disuarakan kembali, baik oleh masyarakat maupun lingkungan terdekat. Para pejabat juga harus menyadari bahwa gaya hidup berlebihan, apalagi diperoleh dengan korupsi, akan melukai perasaan masyarakat. Situasi demikian justru ketimpangan sosial berasal dari pejabat itu sendiri dan pemerataan ekonomi tidak akan pernah terwujud.

Praktik modis dengan modus ini harus segera diakhiri, karena dampaknya demi memenuhi kebutuhan hidup modis dengan barang bermerek yang mewah maka dilakukan modus mark-up dan mark-down terhadap proyek pemerintah. Sebagaimana terjadi pada kasus SWM, ZZ maupun banyak kasus lain, proyek pemerintah dijadikan modus untuk memenuhi gaya hidup mewah oknum pejabat korup.

Hedonisme memang faktor pendorong terjadinya korupsi yang harus diakhiri, bahkan bagaimana mungkin seorang pejabat rela dipenjara dan melakukan korupsi hanya agar bisa tampil wah dengan tas dan jam tangan bermerek. Jika melihat modisnya bupati SWM dengan topi bulu yang berharga jutaan ketika memasuki gedung KPK, rasanya memang perlu dilakukan reorientasi kepada pejabat kita bahwa barang mewah (ilegal) bukan segala-galanya dan kekuasaan politik harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat tanpa modus, itu baru keren dan instagramable.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.2372 seconds (0.1#10.140)