Sekolah Inklusif Madania

Jum'at, 05 April 2019 - 07:22 WIB
Sekolah Inklusif Madania
Sekolah Inklusif Madania
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

PADA saat kita sering dibuat kaget oleh hasil penelitian yang mengungkapkan tren radikalisasi di kalangan pelajar dan guru, ada baiknya kita melihat Sekolah Madania. Sekolah yang sudah lama mengembangkan budaya inklusif dan toleran mengingat secara sadar Madania menerima berbagai murid dan guru dengan latar agama yang beragam.

Lebih dari itu, masing-masing komunitas agama itu diberi fasilitas ruang ibadah dan guru agama sesuai dengan keyakinannya. Hal ini dilakukan agar para siswa dan alumni Madania yang datang dari kelas menengah ini nantinya ketika melanjutkan ke bangku kuliah, terutama yang ke luar negeri, tidak kagetan. Mereka sudah terbiasa bergaul dalam lingkungan lintas iman sehingga bisa membedakan antara aspek doktrin agama, ritual agama dan aspek sosial budaya keagamaan.

Di Madania, para siswa dan guru diajarkan untuk saling memahami dan menghargai keragaman––baik agama, etnis, maupun budaya––karena keragaman itu didesain Tuhan yang menjadi realitas sosial dan tidak mungkin dihilangkan. Sikap inklusif ini tidak hanya dalam aspek keagamaan, setiap kelas pun terdapat minimal dua siswa berkebutuhan khusus (special need students) agar para siswa memiliki sikap empati dan membantu terhadap yang lain.

Sekolah Madania yang didirikan pada 1996 ini––sejak dari SD, SMP, SMU–saat ini jumlah siswa sekitar 960 orang, 14% datang dari keluarga nonmuslim. Setiap tahun rata-rata alumninya 25% diterima di perguruan tinggi luar negeri, baik yang menerima beasiswa maupun biaya sendiri. Yang paling banyak diterima di perguruan tinggi Jepang dan Jerman.

Demikian juga yang di dalam negeri, banyak yang masuk di kelas internasional. Melihat keunikan Madania maka logis kalau Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan sekolah yang berlokasi di Kompleks Kahuripan, Kemang, Bogor ini sebagai sekolah rujukan dan pembina bagi sekolah lain, terutama dalam aspek pendidikan inklusi yang menerima siswa berkebutuhan khusus dan pendidikan sikap inklusif dan toleran dalam menyikapi perbedaan agama.

Dulu saya sempat bertanya pada almarhum Nurcholish Madjid, salah satu pendirinya, mengapa Madania menerima beragam agama. Cak Nur–panggilan akrab Nurcholish Madjid, menjawab bahwa dia terinspirasi oleh masa kejayaan Islam di abad tengah.

Waktu itu banyak orang-orang nonmuslim belajar ke universitas Islam. Waktu itu Eropa memandang Islam dengan pandangan ke atas. Islam itu agama rahmat, agama yang sarat ilmu pengetahuan, sangat menekankan integritas, sehingga sudah selayaknya orang-orang nonmuslim tertarik masuk ke sekolah yang berciri Islam.

Karena dorongan spirit dan nilai-nilai Islam itulah maka Madania menerima siswa nonmuslim. Sebuah sekolah yang terbuka bagi siapa saja yang senang ilmu dan pembangunan karakter. Sebuah sekolah yang menghargai tradisi lokal, cinta bangsa, dan punya wawasan internasional.

Saya rasa sekolah-sekolah inklusif semacam Madania ini perlu diperbanyak. Di sana terdapat siswa yang beragama Katolik, Kristen (Protestan), Saksi Yehowah, Hindu, dan Buddha.

Sejalan dengan semangat Pancasila dan moto berbangsa Bhinneka Tunggal Ika, serta terhindar dari pendangkalan agama atau anggapan bahwa semua agama itu sama. Kesamaan agama itu terletak pada aspek etika sosialnya untuk membangun masyarakat yang berkeadaban.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0506 seconds (0.1#10.140)