Gaji Kepala Daerah Naik Bukan Solusi

Rabu, 12 Desember 2018 - 08:30 WIB
Gaji Kepala Daerah Naik Bukan Solusi
Gaji Kepala Daerah Naik Bukan Solusi
A A A
Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang
RENCANA pemerintah (Menteri Keuangan RI) menaikkan gaji kepala daerah perlu ditinjau kembali. Meminimalisasi korupsi dengan menaikkan gaji kepala daerah belum terbukti berkorelasi positif dengan tingkat korupsi kepala daerah (KORAN SINDO, 08/12/2018).
Benar bahwa di beberapa daerah, gaji kepala daerahnya rendah. Meski demikian, harus pula diingat bahwa kepala daerah memiliki banyak sekali pos pemasukan di luar gaji, yang jika cerdas mengelola, pemasukan dari pos tersebut jauh lebih besar.

Rencana kebijakan menaikkan gaji kepala daerah memang didasarkan pada data tingginya tingkat korupsi kepala daerah. Kepala daerah di Indonesia hampir-hampir identik dengan korupsi. Sejak Januari-Juli 2018, 19 kepala daerah ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak 2015-November 2018, ada 69 kepala daerah yang terjerat korupsi.

Di titik yang lain, maraknya kepala daerah yang melakukan tindakan korupsi berjalan linear dengan besaran dana transfer pusat ke daerah sejak 2015. Disebutkan pada 2015, jumlah dana transfer pusat ke daerah sebanyak Rp623,1 triliun, Rp710,3 triliun (2016), Rp755,9 triliun (2017), dan Rp766,2 triliun (2018).

Korupsi yang dilakukan kepala daerah pun didasarkan pada berbagai motif; mulai dari proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, pengisian jabatan, perizinan, pengesahan anggaran hingga alih fungsi hutan. Semua aspek nyaris dikorup dan dicuri.

Harus diakui bahwa tidak semua kepala daerah melakukan korupsi. Kita semua layak mengangkat topi setinggi langit atas komitmen beberapa kepala daerah yang bersih dan prorakyat tersebut. Meski demikian, realitas demikian berjalan linear dengan fakta lain terkait tingginya korupsi yang dilakukan oleh beberapa kepala daerah.

Pertanyaannya ialah apakah korupsi dilakukan karena gaji yang kecil? Tidak. Menyebut kepala daerah, semua mesti berpikir tentang politik berikut mekanisme politik di dalamnya. Proses input hingga outcome politik menjadi penting didiskusikan di sana.

Karena itu, yang harus diperiksa ialah sistem politik kita. Asumsinya, jika sistem politiknya baik, aktor politik yang terlibat di dalamnya sulit melakukan tindakan yang menyimpang. Sebaliknya, jika sistem politik masih acak adut, sulit untuk tidak mengatakan bahwa lembaga politik menjadi titik pusat pemberantasan korupsi.

Efek Kapitalisme Rente
Pada 2011, Fukuyama menulis sebuah karya untuk meralat tesisnya tentang optimisme kapitalisme. Dalam The Origin of Political Order, Fukuyama menulis bahwa demokrasi liberal yang jalannya dibuka kapitalisme ternyata menjadi hantu bagi kemanusiaan.

Sebab, demokrasi liberal yang dipujanya itu hanya menghasilkan kapitalisme rente. Faktanya, kapitalisme menyebabkan munculnya jurang yang semakin lebar antara yang miskin dan kaya di masyarakat.

Dalam waktu yang hampir berdekatan, pada 2014, Fukuyama merevisi tesis utamanya tentang perkembangan demokrasi liberal. Melalui Political Order and Political Decay, Fukuyama (2014) keras menulis bahwa kapitalisme dan demokrasi liberal kuat menunjukkan watak yang kurang baik. Hal ini berdampak pada pesimisme total pada demokrasi.

Seperti Fukuyama, Stiglitz juga menggugat perkembangan politik dan ekonomi yang kini berkembang ke arah ekonomi pencari rente. Politik dipakai sebagai alat mencari keuntungan ekonomi dan bukan untuk tujuan kesejahteraan bersama.

Beberapa Modus
Jika ingin, korupsi mudah dilakukan oleh kepala daerah sebab kepala daerah adalah pemegang otoritas kebijakan dan anggaran di daerah. Meski demikian, banyak kepala daerah menyikapi otoritas ini secara berbeda dalam praksis berpemerintahan di level sosial. Ada yang menjalankan amanat rakyat dengan sungguh hati, tetapi ada pula yang gemar melancung untuk satu dua kepentingan.

Dalam praksis pemerintahan, kepala daerah lebih memilih menjadi pedagang jabatan daripada sebagai pemegang palu kebijakan dan anggaran. Jabatan yang digenggamnya sering digunakan untuk mencari rente dan untung ketimbang dipakai untuk tujuan kesejahteraan bersama.

Hal itu bisa dilacak dengan memeriksa motif korupsi. Merujuk semua kasus korupsi yang disebutkan di atas, minimal tiga modus utama korupsi yakni suap-menyuap dan fee proyek, gratifikasi atau balas jasa dan jual beli jabatan.

Mengapa kepala daerah mudah sekali melakukan korupsi, sebab utamanya karena sistem politik dan hukum kita terlampau mudah memberi ruang bagi siapa pun yang ingin berkuasa untuk melakukan tindakan korupsi.

Mahalnya ongkos politik yang harus ditanggung calon kepala daerah bisa menjadi sebab lain. Terkait dengan ongkos politik, ada satu gejala menarik yang perlu mendapat perhatian di Indonesia.

Di titik yang lain, gaji seorang kepala daerah tidaklah besar jika dihitung dalam rentang lima tahunan. Menjadi aneh ketika pada saat proses pencalonan, seseorang rela mengeluarkan biaya yang jumlahnya lebih banyak dari gaji yang akan didapat ketika suatu saat nanti orang tersebut menjadi pemimpin. Motif pencalonan orang itu patut diragukan dan laik pula digugat.

Preventif dan Kuratif
Mengubah sistem politik merupakan sebuah keniscayaan jika ingin agar korupsi di daerah bisa dieliminasi. Negara harus memperhatikan dengan sungguh sistem politik mulai dari input hingga outcome politik.

Di sana, diperlukan mekanisme kontrol agar dapat memeriksa proses rekrutmen politik. Kaderisasi politik menjadi perhatian utama di sini. Praksisnya, sejak proses kaderisasi, partai politik harus dapat memastikan kadernya agar tidak terjebak dalam beragam praktik buruk korupsi. Penanaman nilai dan etika harus dimulai dari sana.

Selanjutnya, titik krusial yang harus diperhatikan ialah proses kandidasi politik. Mahar menjadi perkara utama di sana. Harus diakui, setiap partai gemar berjanji untuk tidak meminta mahar politik kepada setiap calon yang ingin maju dalam setiap kontestasi.

Faktanya, idealitas itu terlampau sulit dipraktikkan. Masih jauh panggang dari api. Beberapa partai politik masih saja meminta mahar dalam bentuk dan modus administrasi dan pembayaran saksi.

Itulah alasan mengapa banyak pihak meminta negara untuk membiayai semua proses politik. Dengan demikian, mekanisme kontrol dan pengawasan kepada partai politik dalam proses itu perlu menjadi perhatian banyak pihak.

Anehnya, masifnya penangkapan koruptor oleh lembaga yang berwewenang berjalan linear dengan tindakan korupsi kepala daerah. Semakin gencar KPK menangkap koruptor semakin sering pula kepala daerah melakukan korupsi.

Ada ketakutan, banyak hakim yang turut “bermain” dalam proses hukum kepala daerah. Fakta tertangkapnya hakim dan panitera terkait sidang kasus korupsi beberapa kepala daerah membuktikan bahwa sistem hukum dan aparat penegak hukum masih sulit dipercaya dalam rangka penegakan hukum di republik ini.

Selain polisi dan kejaksaan, Indonesia memiliki KPK; sebuah lembaga yang berkuasa penuh atas pemberantasan korupsi. Meski demikian, setiap saat kepala daerah terus ditangkap dan banyak berurusan dengan lembaga penegak hukum. Inkonsistensi hukum ialah lemahnya putusan dan miringnya praktik putusan hukum dalam praktiknya di level sosial.

Hemat saya, memikirkan cara mengubah sistem politik dan hukum di level ideal dan praksis penegakan hukum yang konsisten dan efektif di level sosial jauh lebih penting ketimbang menaikkan gaji kepala daerah.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4013 seconds (0.1#10.140)