Guru dan Rapuhnya Semangat Kebangsaan

Sabtu, 24 November 2018 - 08:29 WIB
Guru dan Rapuhnya Semangat Kebangsaan
Guru dan Rapuhnya Semangat Kebangsaan
A A A
Sidik Nugroho
Guru dan pengarang, bermukim di Pontianak

FILM The Kite Runner (Marc Forster, 2007) mengisahkan Amir si anak Afganistan yang pendiam, suka mengalah, dan menulis cerita. Sifat Amir berbeda dengan Hassan, sahabatnya. Hassan orang Hazara yang secara historis memiliki konflik dengan orang Afganistan dan berstatus sosial lebih rendah. Hassan dan ayahnya sebenarnya budak Amir, tapi Hassan dan Amir berteman akrab bukan sebagai tuan dan budak. Ketika Hassan berulang tahun, Amir membacakan cerita untuknya. Ia juga mendapat hadiah layang-layang baru.

Layang-layang itu diterbangkan pada suatu turnamen di musim dingin yang cerah di Kabul, Afganistan. Pada turnamen tersebut layang-layang dua anak itu tampil menjadi pemenang, mengalahkan banyak layang-layang lainnya. Sorak-sorai membahana menyambut kemenangan Hassan dan Amir.

Namun sayang, adegan berikutnya justru menyedihkan. Sebuah layang-layang yang dikejar Hassan untuk diberikan ke Amir hampir dirampas tiga pemuda. Ketiga pemuda ini membenci Hassan karena dia orang Hazara; bahkan seseorang dari mereka, Assef namanya, memperlakukannya dengan sangat buruk. Amir menyaksikan perlakuan itu, tapi ia hanya diam, tidak melakukan apa pun untuk membela sahabatnya. Dari situlah persahabatan mereka terkoyak. Amir sering menyalahkan dirinya, Hassan terpukul dengan kejadian itu.

Persahabatan dan Kebangsaan
Kisah Amir dan Hassan dalam cerita The Kite Runner adalah sebentuk potret muram persahabatan yang dibatasi sekat-sekat politik dan sosial. Walaupun film ini lebih banyak menyoroti level personal, latar situasi politik dan sosialnya menjadi pemantik jalan cerita. Ada latar sejarah yang membuat suku bangsa yang satu menjaga jarak terhadap yang lainnya. Ada golongan-golongan yang berseberangan pemikiran di masyarakat. Keadaan yang mirip; walaupun dalam manifestasi yang lain;juga kita temui di bangsa kita.

Belakangan bangsa kita mudah dikotak-kotakkan. Golongan yang ini menganggap yang itu suka menebar fitnah, sementara golongan yang itu menganggap yang ini suka menyebar hoaks. Agama pun sering dibawa-bawa, dijadikan penggerak untuk menggalang massa. Terlebih-lebih di tahun politik seperti sekarang; isu-isu sensitif yang berhubungan dengan suku atau agama sering digoreng untuk menarik perhatian dan mencipta sensasi.

Kalau mempelajari sejarah, kita pun akan tahu bahwa agama kerap disalahgunakan. Dalam sebuah bukunya yang sangat reflektif tentang keimanan dan perdamaian, Have a Little Faith (2011), Mitch Albom menulis: "Mayoritas agama memperingatkan agar manusia tidak berperang, tapi lebih banyak perang yang dilangsungkan demi agama ketimbang demi hal lain."

Syukurlah, di bangsa kita, sejak 2014 lalu, belum pernah terjadi konflik karena fanatisme beragama yang berbuntut pada perang saudara atau menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar. Sejauh ini, yang dominan terjadi adalah saling cibir atau saling nyinyir; atau saling remove, blokir atau unfollow di media-media sosial. Namun, bila di media-media sosial, juga acara-acara talkshow bertema politik di televisi benih-benih permusuhan terus dipupuk, tak menutup kemungkinan akan ada konflik yang lebih besar terjadi di masa mendatang.

Bila tidak segera dicegah, kebencian akan makin kuat tertancap dan suatu ketika bisa saja menjadi narasi sejarah yang diwariskan kepada generasi selanjutnya: bahwa golongan ini menganggap yang itu suka menebar fitnah, sementara golongan itu menganggap yang ini suka mengadu domba dan seterusnya. Pada titik ini, jalan yang dapat ditempuh untuk menghapus sekat ada dua. Pertama, menemukan kembali akar dan benih persatuan yang pernah ada di bangsa ini. Ini berhubungan dengan pemahaman sejarah: bahwa dulu, pada saat bangsa ini baru merdeka, persatuan adalah modal utama perjuangan.

Kedua, yang sejatinya masih terhubung dengan yang pertama—karena sama-sama mengandung perjuangan;adalah penyelenggaraan pendidikan yang bersemangat kebangsaan. Semangat itu perlu digelorakan demi menghormati dan meyakini apa yang disampaikan Bung Karno bahwa perjuangan melawan bangsa sendiri di masa kini dan mendatang lebih berat daripada melawan bangsa lain di masa lalu. Semangat itulah yang dapat menjadi sebentuk "perlawanan" terhadap permusuhan dan kebencian. Kata-kata "Indonesia Bubar" cukup menyita perhatian publik belakangan;apakah itu akan membuat kita takut, atau malah terkekeh-kekeh?

Alih-alih takut karena itu kita khawatirkan terjadi atau terkekeh-kekeh karena itu kita anggap lamunan di siang bolong, tampaknya "nubuat" itu perlu dihadapi dengan kepala dingin, salah satunya lewat pendidikan. Di ruang-ruang kelas di Tanah Air, ajaran tentang persahabatan dan kesetiakawanan perlu mendapat perhatian lebih. Kurikulum pendidikan kita, yang berkali-kali dalam implementasinya dihubungkan dengan karakter—lewat istilah "pembentukan karakter", "penguatan karakter", atau "pendidikan karakter"; bisa menjadi landasan untuk pengembangan kegiatan pembelajaran yang bersemangat kesetiakawanan.

Karakter yang baik atau luhur tak melulu diupayakan lewat pembelajaran agama yang lebih sering, atau jumlah jamnya sudah diperbanyak. Toh, kalau lewat pembelajaran agama siswa jadi lebih sering mempelajari beragam doktrin tentang ketuhanan, itu bisa saja malah melahirkan eksklusivitas semata, menganggap agama tertentu lebih baik daripada agama lain. Pembelajaran agama bersemangat kesetiakawanan lain polanya: mengajak siswa tak sekadar menghormati Tuhan, tapi juga mengasihi manusia lain yang diciptakan Tuhan.

Teladan yang Mempersatukan
Di film The Kite Runner , ayah Amir yang berseberangan sikap dengannya, suatu ketika berkata tentangnya, "Seorang anak yang tidak membela dirinya sendiri, akan menjadi seorang pria yang tak membela apa pun." Kata-kata ayah Amir tampaknya bergema di ingatannya, mendorongnya melakukan sesuatu bagi Hassan setelah persahabatan mereka pupus,dan mereka berpisah karena Amir pindah ke negeri lain.

Setelah kematian Hassan, Amir menyelamatkan anak Hassan yang ditinggal ayahnya. Nadine Smith, dalam Analyzing the Politics in ‘The Kite Runner , menyatakan, "Kembalinya Amir ke Afganistan untuk menyelamatkan anak temannya... menyimbolkan penolakan Amir sepenuhnya pada budaya kasta." Kasta adalah sekat. Ketika sekat-sekat lain berupa sentimen atau prasangka terbentuk untuk menghalangi relasi-interaksi sosial, untuk menembusnya tidaklah mudah. Amir menaklukkan egonya, mengasah kepeduliannya.

Mengasah kepedulian bagi sesama; saudara sendiri, bangsa sendiri—kini tampak makin sulit. Ketika permusuhan terus didengungkan, juga atas nama fitnah dan hoaks orang saling menebar kebencian dan permusuhan, guru pun mendapat tugas baru: membawa kesejukan, yaitu pesan kesetiakawanan; setia pada kawan, bangsa sendiri, tanpa memandang apa suku, agama, atau identitas apa pun yang melekat padanya.

Lewat guru-gurulah banyak pihak menggantungkan nasib persatuan di bangsa ini. Semoga, di ruang-ruang kelas di Tanah Air makin banyak guru yang menanamkan pemahaman tentang kepedulian terhadap sesama kepada siswa-siswinya. Perjuangan dalam pendidikan belum selesai, salah satunya mengobarkan (kembali) semangat kebangsaan yang makin rapuh. Selamat Hari Guru.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6006 seconds (0.1#10.140)