Pendekatan Holistik Pencegahan Korupsi

Jum'at, 02 November 2018 - 17:43 WIB
Pendekatan Holistik...
Pendekatan Holistik Pencegahan Korupsi
A A A
Kadek Pandreadi, S.Pd.,MM.,CFrA
Auditor Muda Itjen Kemenkes RI

SEIRING dengan berita tentang OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mewarnai halaman media massa, tampaknya kita seolah menjadi terbiasa terhadap perilaku korup oknum pejabat publik yang kian memburuk.

Posisi Indonesia sebagai negara transparan juga belum memiliki peningkatan yang signifikan. Indonesia hanya naik 9 peringkat dari 107 ke urutan 96 untuk 180 negara, padahal dana yang dihabiskan untuk menangani masalah korupsi tidaklah sedikit.

Padahal anggaran KPK setiap tahunnya mencapai Rp900 miliar, salah satunya di tahun 2016 lalu. Banyak yang menilai pola pencegahan seharusnya yang menjadi prioritas.

Salah satu pendekatan yang bisa digunakan dalam memahami pola pencegahan adalah pendekatan holistik, bagaimana melihat individu secara menyeluruh dari sisi sosial dan politik. Selain pendekatan, beberapa metode untuk menerapkan pola pencegahan juga diperlukan. Misalnya, tone of the top di dalam sebuah organisasi.
Di sini pemimpin memainkan peranan penting dalam menjadi contoh bagi bawahannya. Pemimpin harus menjadi teladan dalam menerapkan sebuah organisasi yang memiliki budaya bersih dan transparan.
Untuk membangun budaya antikorupsi diperlukan tatanan kode etik yang mengikat. Berbeda dengan hukum, seringkali justru sanksi sosial dari pelanggaran kode etik memiliki risiko yang jauh lebih berat daripada hukuman penjara. Penguatan fungsi kode etik ini yang nantinya mampu membentuk anggota organisasi yang mawas akan budaya anti korupsi, bukan hanya karena takut pada hukuman pidana.

Perlindungan Hukum bagi Whistle Blower
Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 41 ayat (5) dan pasal 42 ayat (5) telah diatur mengenai hak dan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Contohnya ketika mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi serta melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi.

Untuk memperkuat peran masyarakat tersebut, pemerintah juga harus menyediakan Whistle Blower System yang jelas. Mulai dari fasilitas sebagai saluran pengaduan dan hak jaminan keamanan bagi yang melapor. Whistle Blower System ini ditujukan agar pihak pelapor merasa aman, baik secara fisik maupun psikis dan akhirnya bisa memberikan pengaruh lebih maksimal dalam upaya pencegahan korupsi.

Pencegahan Korupsi di Pemerintahan
Mengatasi persoalan korupsi diperlukan strategi yang tepat dimulai dari pelibatan publik dalam rancang regulasi UU Anti Korupsi, memasukan kurikulum wajib pendidikan anti korupsi, hingga sistem pengawasan berlapis. Dalam melakukan pemberantasan dan pencegahan korupsi, pemerintah butuh partisipasi masyarakat.

Pemerintah tidak bisa memaksakan kehendaknya apabila masyarakat menolak sebuah kebijakan yang akan atau telah dibuat, contohnya ketika rencana revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan dilakukan oleh DPR dengan pemerintah mendapat protes keras dari publik karena dinilai akan memperlemah KPK. Sebagai penganut sistem demokrasi, suara rakyat harus diutamakan di atas segala kepentingan. Selain pelibatan masyarakat, pembentukan struktur hukum yang memadai juga diperlukan.

UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selama ini dianggap belum cukup untuk menjawab seluruh permasalahan yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Untuk melengkapinya, dibuatlah UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian diganti dengan UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dengan ditambahnya UU tersebut, pihak pengadilan akan menjadi lebih mudah untuk mengambil kembali hasil korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik. Perbaikan UU pun juga harus terus dilakukan lantaran dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat tindakan korupsi semakin susah untuk ditangkap.

Namun sebaik apapun aturan dibuat, tetap memerlukan upaya penegakan yang tegas. Untuk menjembatani hal tersebut, metode pencegahan seharusnya diberikan porsi yang lebih besar. Selain perbaikan UU, pendidikan antikorupsi sejak dini baik secara formal maupun non formal juga dinilai penting.

Di lingkungan Kementerian Kesehatan misalnya, pendidikan budaya antikorupsi sudah diterapkan sejak dini. Salah satunya dengan memasukan materi pembelajaran pendidikan antikorupsi sebagai mata kuliah di Politeknik Kesehatan. Upaya ini dilakukan agar tenaga kesehatan memiliki kesadaran untuk menjauhi perilaku korup saat mereka bekerja nanti.

Di kalangan pemerintahan pola pencegahan lain yang juga dikenal ialah The Three Line of Defense, pola yang sudah mulai diterapkan oleh Kementerian Keuangan. Dalam sistem ini, ada tiga lapis pengendalianyang dilakukan secara berkelanjutan.

Lapis pertama ada pada pelaksana kegiatan itu sendiri. Di sini pelaksana kegiatan harus memastikan apakah lingkungan pengendaliannya sudah peka atau belum dalam merespon perilaku koruptif yang mungkin timbul dalam proses pelaksanaan kegiatan tersebut.

Lapis kedua dipegang oleh Unit Kepatuhan. Kelompok ini bertugas dan bertanggung jawab secara khusus mengendalikan dan mengawasi apakah bisnis telah dilaksanakan sesuai dengan standar yang berlaku. Sementara di lapis ketiga, auditor internal merupakan aktor yang memegang peran penting. Auditor ini juga harus memastikan bawa pertahanan lapis pertama dan lapis kedua sudah berjalan dengan baik.

Sistem pengawasan berlapis ini sebenarnya juga tak jauh berbeda dari sistem pengawasan internal dan eksternal. Contohnya yang dimiliki oleh sebuah RS BLU di lingkungan Kementerian Kesehatan. Dalam organisasinya, ada Satuan Pemeriksa Internal (SPI) sebagai satuan kerja yang melakukan pemeriksaan secara berkala.Kemudian ada juga pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal yang merupakan auditor internal kementerian dan audit oleh BPK sebagai auditor eksternal. Apabila pengawasan berlapis ini dilakukan dengan jujur maka seharusnya potensi korupsi di sebuah rumah sakit bisa dihilangkan secara optimal.
Peran Auditor Internal dalam Pencegahan Korupsi
Auditor internal memiki posisi yang strategis di lingkungan lembaga pemerintahan, tidak terkecuali di Kementerian Kesehatan, apalagi jika berkaitan dengan pencegahan korupsi. Tak hanya menjadi watchdog, auditor internal juga harus bisa berpartisipasi dalam merancang dokumen Rencana Kerja dan Anggran Kementerian/Lembaga (RKAKL).

Pada tahap perencanaan ini, auditor harus memastikan pengendalian manajemen dirancang untuk memberikan jaminan memadai, termasuk meminimalkan adanya peluang-peluang korupsi yang mungkin akan terjadi selama masa pelaksanaan kegiatan tersebut. Ini penting, karena seringkali niat korupsi timbul sejak proses perencanaan dan penganggaran dibentuk.

Ketika auditor internal konsisten mendampingi dan mengawasi proyek tersebut dari tahap awal hingga serah terima maka cela korupsi akan mudah untuk dikurangi. Oleh karena itu, dibutuhkan para auditor profesional yang mampu menyelesaikan masalah bukan sebaliknya menjadi bagian dari masalah.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1390 seconds (0.1#10.140)