Perkuat Kinerja Tanaman Pangan
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketus DPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
SETELAH menargetkan penerapan program Biodiesel 20% (B20) di dalam negeri untuk menekan defisit di sektor migas, pemerintah pun patut memberi perhatian ekstra pada peningkatkan kinerja sektor tanaman pangan karena nilai impornya cenderung meningkatkan dari waktu ke waktu.
Pasar uang global masih menanti langkah lanjutan bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (Fed) menentukan besaran suku bunga acuan atau Fed Fund Rate (FFR). Dengan posisi dan sikap pasar seperti itu, bisa dipastikan bahwa gejolak nilai tukar valuta belum berakhir. Apalagi, pasar uang pun memperkirakan Fed bakal menaikkan lagi FFR pada pekan keempat September 2018. Jika Fed menaikkan lagi FFR, rupiah bisa saja butuh waktu lebih lama untuk menemukan keseimbangan baru. Artinya, penguatan nilai tukar rupiah sepanjang pekan kedua September 2018 bersifat sementara. Itu sebabnya, baik pemerintah maupun Bank Indonesia tetap waspada. Pada akhir perdagangan pekan lalu, tepatnya Jumat (14/9), nilai tukar dolar AS tercatat Rp14.835.
Perekonomian Indonesia tidak akan porak poranda jika Fed menaikkan lagi FFR. Tetapi, karena kenaikan FFR selalu memicu gejolak nilai tukar, rupiah yang terdepresiasi selalu menyulut masalah psikologis di ruang publik. Banyak orang tidak happy jika rupiah terlalu murah di hadapan sejumlah valuta utama dunia. Sebab, pada gilirannya nanti konsumen harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan produk impor. Pemerintah pun terganggu karena potensi defisit membengkak dan terjadinya gelembung nilai untuk pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo. Kendati ada konsekuensi logis yang tak bisa dihindari dari rupiah yang terdepresiasi, pemerintah sudah memastikan bahwa perekonomian nasional masih sehat, bahkan masih jauh dari zona krisis.
Setiap kali rupiah terdepresiasi terhadap sejumlah valuta utama, proses pelemahan itu selalu menunjukan di mana atau apa saja titik lemah Indonesia sehingga defisit neraca perdagangan sulit dihindari. Sudah pasti bahwa penyebabnya adalah ketidakseimbangan antara ekspor dengan impor. Defisit terjadi karena nilai impor bertumbuh pesat, berhadapan dengan pertumbuhan ekspor yang lamban. Sebagaimana dicatat Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor periode Januari - Mei 2018 mengalami kenaikan yang cukup tajam, yakni 24,75 persen, dibandingkan periode yang sama per 2017. Nilai impor migas sendiri naik 1.860,6 juta dolar AS (18,58 persen), sedangkan kenaikan nilai impor non migas mencapai 13,565,5 juta dolar AS (25,93 persen). Bahkan khusus Mei 2018, terjadi nilai impor sebesar 9,17 persen dengan volume 17,64 miliar dolar AS dari posisi April 2018.
Masalahnya adalah apa saja yang menjadi penyumbang terbesar dari total besaran impor itu? Sejak dulu hingga akhir-akhir ini, faktornya hampir tak pernah berubah. Secara regular Indonesia impor bahan bakar minyak (BBM) dan belasan hingga puluhan jenis komoditas pangan. Besaran volume impor bahan pangan dari total nilai impor memang tidak signifikan. Tetapi impor beras, gula hingga kedelai dirasakan signifikan pengaruhnya karena menjadi aktivitas impor yang regular. Volume impor bahan pangan tujuh komoditas utama terus meningkat, dari 21,7 juta ton per 2014 menjadi 25,2 juta ton per 2017. Kalau Per 2010, nilai impor hanya USD6,19 miliar, maka per 2017 sudah mencapai USD9,44 miliar. Kalau aktivitas produksi tanaman pangan di dalam negeri bisa ditingkatkan, tentunya akanmenghemat devisa.
Tanaman Pangan dan Garam
Nilai impor migas pada Mei 2018 menjadi yang tertinggi dalam 13 bulan terakhir, mencapai USD2.816 juta. Sebagian untuk pengadaan BBM. Total kebutuhan BBM dalam negeri sebesar 1,3 juta barel per hari. Produksi lokal hanya mampu menyediakan 680 ribu barel per hari. Sisanya, sebanyak 370 ribu barel per hari, harus impor. Akibatnya, pada kuartal pertama 2018, sektor migas defisit USD2,61 miliar, dan pada kuartal kedua 2018 defisit lagi USD2,31 miliar.
Pertumbuhan impor barang konsumsi atau bahan pangan pun tidak kalah cepat. BPS mencatat, nilai impor barang konsumsi periode Januari-Juni 2018 tercatat USD8,18 miliar, atau naik 21,64% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Volume impor beras, gula, biji gandum dan meslin serta garam terbilang cukup besar.
Pemerintah sudah menempuh sejumlah kebijakan sebagai penyesuaian terhadap situasi ekonomi terkini. Mulai dari menunda realisasi sejumlah proyek infrastruktur dan menaikkan tarif Pajak Penghasilan ( PPh) impor atau PPh pasal 22 atas 1.147 komoditas atau produk. Terakhir, Presiden telah menandatangani Perpres Nomor 66 tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa sawit. Perpres ini menjadi payung diberlakukannya mandatori B20 di semua segmen.
Seperti halnya langkah menaikkan PPh pasal 22, ketetapan pemerintah menerapkan B20 di dalam negeri akan berdampak pada penghematan devisa. Setidaknya, volume impor migas bisa diperkecil pada waktunya nanti. Tentu saja upayanya tidak boleh berhenti sampai di situ. DPR berharap ada upaya ekstra dari pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak di dalam negeri.
Setelah inisiatif menaikkan PPh pasal 22 dan penerapan B20 itu, sudah waktunya pula bagi pemerintah untuk lebih bersungguh-sungguh mengupayakan peningkatkan kinerja sektor tanaman pangan. Tentu saja tujuannya tidak semata-mata untuk mereduksi volume impor bahan pangan, tetapi juga mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan.
Masih ada potensi cukup besar untuk meningkatkan produksi beras. Apalagi, kementerian Pertanian pun telah menyusun strategi untuk menggenjot produksi beras. Begitu pula dengan tanaman tebu sebagai bahan baku gula. Produktivitas tebu tahun 2017 masih rendah, kurang dari 100 ton per hektare. Dan, karena tingginya curah hujan menyebabkan rendemen tebu juga turun. Akibatnya, kapasitas pabrik gula belum terpakai semuanya. Selain itu, sejumlah pabrik gula di dalam negeri pun harus segera direvitalisasi. Rencana lama mengenai revitalisasi pabrik gula perlu disegarkan kembali untuk segera direalisasikan.
Pemerintah pun bisa terus memobilisasi semua sumber daya di dalam negeri untuk meningkatkan produksi gagram. Hingga tahun lalu, produksi garam di dalam negeri diketahui belum mampu memenuhi total permintaan dalam negeri. Karena itu, program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) untuk meningkatkan produksi garam nasional yang diinisiasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu ditingkatkan dan diperluas hingga ke semua daerah.
Pimpinan DPR akan mendorong pemerintah untuk memberi perhatian khusus pada upaya peningkatkan kinerja sektor tanaman pangan itu dan peningkatan produksi garam. Persoalan lama ini harus segera ditangani dengan perencanaan yang matang dan komprehensif. Sangat disayangkan jika potensi di dalam negeri tidak dimaksimalkan.
Ketus DPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
SETELAH menargetkan penerapan program Biodiesel 20% (B20) di dalam negeri untuk menekan defisit di sektor migas, pemerintah pun patut memberi perhatian ekstra pada peningkatkan kinerja sektor tanaman pangan karena nilai impornya cenderung meningkatkan dari waktu ke waktu.
Pasar uang global masih menanti langkah lanjutan bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (Fed) menentukan besaran suku bunga acuan atau Fed Fund Rate (FFR). Dengan posisi dan sikap pasar seperti itu, bisa dipastikan bahwa gejolak nilai tukar valuta belum berakhir. Apalagi, pasar uang pun memperkirakan Fed bakal menaikkan lagi FFR pada pekan keempat September 2018. Jika Fed menaikkan lagi FFR, rupiah bisa saja butuh waktu lebih lama untuk menemukan keseimbangan baru. Artinya, penguatan nilai tukar rupiah sepanjang pekan kedua September 2018 bersifat sementara. Itu sebabnya, baik pemerintah maupun Bank Indonesia tetap waspada. Pada akhir perdagangan pekan lalu, tepatnya Jumat (14/9), nilai tukar dolar AS tercatat Rp14.835.
Perekonomian Indonesia tidak akan porak poranda jika Fed menaikkan lagi FFR. Tetapi, karena kenaikan FFR selalu memicu gejolak nilai tukar, rupiah yang terdepresiasi selalu menyulut masalah psikologis di ruang publik. Banyak orang tidak happy jika rupiah terlalu murah di hadapan sejumlah valuta utama dunia. Sebab, pada gilirannya nanti konsumen harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan produk impor. Pemerintah pun terganggu karena potensi defisit membengkak dan terjadinya gelembung nilai untuk pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo. Kendati ada konsekuensi logis yang tak bisa dihindari dari rupiah yang terdepresiasi, pemerintah sudah memastikan bahwa perekonomian nasional masih sehat, bahkan masih jauh dari zona krisis.
Setiap kali rupiah terdepresiasi terhadap sejumlah valuta utama, proses pelemahan itu selalu menunjukan di mana atau apa saja titik lemah Indonesia sehingga defisit neraca perdagangan sulit dihindari. Sudah pasti bahwa penyebabnya adalah ketidakseimbangan antara ekspor dengan impor. Defisit terjadi karena nilai impor bertumbuh pesat, berhadapan dengan pertumbuhan ekspor yang lamban. Sebagaimana dicatat Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor periode Januari - Mei 2018 mengalami kenaikan yang cukup tajam, yakni 24,75 persen, dibandingkan periode yang sama per 2017. Nilai impor migas sendiri naik 1.860,6 juta dolar AS (18,58 persen), sedangkan kenaikan nilai impor non migas mencapai 13,565,5 juta dolar AS (25,93 persen). Bahkan khusus Mei 2018, terjadi nilai impor sebesar 9,17 persen dengan volume 17,64 miliar dolar AS dari posisi April 2018.
Masalahnya adalah apa saja yang menjadi penyumbang terbesar dari total besaran impor itu? Sejak dulu hingga akhir-akhir ini, faktornya hampir tak pernah berubah. Secara regular Indonesia impor bahan bakar minyak (BBM) dan belasan hingga puluhan jenis komoditas pangan. Besaran volume impor bahan pangan dari total nilai impor memang tidak signifikan. Tetapi impor beras, gula hingga kedelai dirasakan signifikan pengaruhnya karena menjadi aktivitas impor yang regular. Volume impor bahan pangan tujuh komoditas utama terus meningkat, dari 21,7 juta ton per 2014 menjadi 25,2 juta ton per 2017. Kalau Per 2010, nilai impor hanya USD6,19 miliar, maka per 2017 sudah mencapai USD9,44 miliar. Kalau aktivitas produksi tanaman pangan di dalam negeri bisa ditingkatkan, tentunya akanmenghemat devisa.
Tanaman Pangan dan Garam
Nilai impor migas pada Mei 2018 menjadi yang tertinggi dalam 13 bulan terakhir, mencapai USD2.816 juta. Sebagian untuk pengadaan BBM. Total kebutuhan BBM dalam negeri sebesar 1,3 juta barel per hari. Produksi lokal hanya mampu menyediakan 680 ribu barel per hari. Sisanya, sebanyak 370 ribu barel per hari, harus impor. Akibatnya, pada kuartal pertama 2018, sektor migas defisit USD2,61 miliar, dan pada kuartal kedua 2018 defisit lagi USD2,31 miliar.
Pertumbuhan impor barang konsumsi atau bahan pangan pun tidak kalah cepat. BPS mencatat, nilai impor barang konsumsi periode Januari-Juni 2018 tercatat USD8,18 miliar, atau naik 21,64% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Volume impor beras, gula, biji gandum dan meslin serta garam terbilang cukup besar.
Pemerintah sudah menempuh sejumlah kebijakan sebagai penyesuaian terhadap situasi ekonomi terkini. Mulai dari menunda realisasi sejumlah proyek infrastruktur dan menaikkan tarif Pajak Penghasilan ( PPh) impor atau PPh pasal 22 atas 1.147 komoditas atau produk. Terakhir, Presiden telah menandatangani Perpres Nomor 66 tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa sawit. Perpres ini menjadi payung diberlakukannya mandatori B20 di semua segmen.
Seperti halnya langkah menaikkan PPh pasal 22, ketetapan pemerintah menerapkan B20 di dalam negeri akan berdampak pada penghematan devisa. Setidaknya, volume impor migas bisa diperkecil pada waktunya nanti. Tentu saja upayanya tidak boleh berhenti sampai di situ. DPR berharap ada upaya ekstra dari pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak di dalam negeri.
Setelah inisiatif menaikkan PPh pasal 22 dan penerapan B20 itu, sudah waktunya pula bagi pemerintah untuk lebih bersungguh-sungguh mengupayakan peningkatkan kinerja sektor tanaman pangan. Tentu saja tujuannya tidak semata-mata untuk mereduksi volume impor bahan pangan, tetapi juga mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan.
Masih ada potensi cukup besar untuk meningkatkan produksi beras. Apalagi, kementerian Pertanian pun telah menyusun strategi untuk menggenjot produksi beras. Begitu pula dengan tanaman tebu sebagai bahan baku gula. Produktivitas tebu tahun 2017 masih rendah, kurang dari 100 ton per hektare. Dan, karena tingginya curah hujan menyebabkan rendemen tebu juga turun. Akibatnya, kapasitas pabrik gula belum terpakai semuanya. Selain itu, sejumlah pabrik gula di dalam negeri pun harus segera direvitalisasi. Rencana lama mengenai revitalisasi pabrik gula perlu disegarkan kembali untuk segera direalisasikan.
Pemerintah pun bisa terus memobilisasi semua sumber daya di dalam negeri untuk meningkatkan produksi gagram. Hingga tahun lalu, produksi garam di dalam negeri diketahui belum mampu memenuhi total permintaan dalam negeri. Karena itu, program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (Pugar) untuk meningkatkan produksi garam nasional yang diinisiasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu ditingkatkan dan diperluas hingga ke semua daerah.
Pimpinan DPR akan mendorong pemerintah untuk memberi perhatian khusus pada upaya peningkatkan kinerja sektor tanaman pangan itu dan peningkatan produksi garam. Persoalan lama ini harus segera ditangani dengan perencanaan yang matang dan komprehensif. Sangat disayangkan jika potensi di dalam negeri tidak dimaksimalkan.
(mhd)