Rumah untuk Pekerja
A
A
A
Timboel Siregar
Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia)
TANGGAL 25 Agustus lalu diperingati sebagai Hari Perumahan Nasional (Hapernas). Tema Hapernas tahun ini adalah “Mewujudkan Rumah Rakyat Berkualitas”. Dengan tema ini pemerintah mengajak seluruh pemangku kepentingan perumahan memberikan perhatian terhadap kualitas rumah yang dibangun.
Tentunya momentum Hapernas ini juga mendorong percepatan pencapaian Program Satu Juta Rumah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 29 April 2015 lalu. Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), per 20 Agustus 2018 capaian pembangunan rumah tahun ini sudah sampai 582.638 unit rumah dengan komposisi 68% adalah rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan 32% untuk non-MBR.
Khusus untuk penyediaan perumahan bagi MBR, pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Adapun tujuan hadirnya UU Tapera ini adalah menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.
Seluruh pekerja formal dan pekerja mandiri yang berpenghasilan minimal sebesar upah minimum wajib menjadi peserta dan bagi pekerja mandiri yang memiliki upah di bawah upah minimum dapat menjadi peserta. Usia minimal pekerja yang berhak menjadi peserta adalah 20 tahun. Tentunya kehadiran UU Tapera ini dapat membantu pekerja memiliki rumah.
Faktanya masih banyak pekerja yang belum memiliki rumah sehingga harus mengontrak rumah atau tinggal bersama orang tua, biaya kontrak rumah relatif cukup besar sekitar 25% dari upah minimum (OPSI, 2015) dan pekerja masih sulit mendapatkan akses pinjaman perumahan dari perbankan.
Mengacu pada Pasal 80-82 UU Tapera, seharusnya Tapera sudah beroperasi saat ini. UU Tapera diundangkan pada 24 Maret 2016, maka seharusnya Tapera sudah beroperasi sejak 24 Maret 2018 lalu. Mengapa Tapera hingga saat ini belum beroperasi?
RPP Penyelenggaraan Tapera
Pelaksanaan UU Tapera hingga saat ini belum berjalan karena pemerintah belum menyelesaikan peraturan pelaksananya dan belum membentuk Badan Pengelola (BP) Tapera. Salah satu peraturan pelaksana yang belum selesai dibuat adalah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyelenggaraan Tapera. Saat ini pemerintah masih terus membahas Rancangan PP Penyelenggaraan (RPP) Tapera.
Yang menjadi penghambat penyelesaian RPP Penyelenggaraan Tapera adalah masalah iuran. Iuran yang dirancang dalam draf RPP tersebut adalah 3% dengan kewajiban pemberi kerja mengiur 0,5% dan pekerja 2,5% dari upah. Kalangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) keberatan mengiur karena alokasi iuran untuk jaminan sosial selama ini sudah cukup besar, yaitu berkisar 10,24-11,74% dari upah per bulan, dan dalam kondisi ekonomi yang belum stabil saat ini biaya produksi akan berpotensi terus meningkat.
Demikian juga kalangan pekerja keberatan mengiur karena tidak semua pekerja akan memperoleh manfaat Tapera. Pasal 27 ayat (1) UU Tapera mensyaratkan peserta yang berhak mendapatkan pembiayaan perumahan adalah mereka yang belum memiliki rumah dan atau termasuk golongan MBR. Adapun kriteria MBR akan diatur dalam Peraturan BP Tapera.
Ini artinya semua pekerja formal wajib mengiur, tapi tidak semua pekerja formal berhak mendapatkan manfaat Tapera ini. Tidak hanya itu, hasil pemupukannya dari dana simpanan tidak dijamin di atas suku bunga rata-rata deposito bank pemerintah seperti yang diberlakukan pada Program Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan.
Sebenarnya pembiayaan perumahan bagi pekerja formal sudah difasilitasi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 35 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Persyaratan dan Jenis Manfaat Layanan Tambahan dalam Program JHT.
Pekerja formal yang memegang kartu JHT di BPJS Ketenagakerjaan berhak mendapatkan fasilitas pembiayaan perumahan, yaitu berupa pinjaman uang muka perumahan (PUMP), kredit pemilikan rumah (KPR), dan pinjaman renovasi perumahan (PRP).
Fasilitas pembiayaan perumahan tersebut dilaksanakan bank penyalur yang telah bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Fasilitas pembiayaan ini terbuka untuk semua pekerja formal tanpa harus dibatasi oleh kriteria MBR ataupun usia peserta minimal 20 tahun. Tentunya kehadiran fasilitas ini akan mendorong peningkatan kepesertaan JHT pada BPJS Ketenagakerjaan.
Bila melihat dua regulasi di atas, memang ada tumpang tindih. Meski demikian ketiadaan persyaratan kriteria MBR atau minimal usia peserta 20 tahun pada Permenaker No 35 akan membuka akses lebih besar bagi pekerja untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan perumahan daripada pekerja harus ikut di UU Tapera.
Atas persoalan tumpang tindih tersebut saat ini pemerintah sedang berusaha menyinkronkannya, yaitu memadukan mekanisme pembiayaan pada UU Tapera dan Permenaker No 35 Tahun 2016. Menurut saya, pemerintah harus berhati-hati dalam menyinkronisasi kedua regulasi tersebut.
Jangan sampai pemerintah melanggar Pasal 49 ayat (2) UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang melarang adanya subsidi silang antarprogram dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana program lain. Hasil investasi Program JHT merupakan hak pekerja yang tidak boleh dialihkan untuk menjadi iuran pada UU Tapera.
Saya mendorong agar RPP Penyelenggaraan Tapera segera diselesaikan dengan titik temunya pada pemisahan kepesertaan. Bila pekerja sudah mengikuti Program JHT di BPJS Ketenagakerjaan, mereka tidak lagi diwajibkan ikut UU Tapera. Permenaker No 35 Tahun 2016 dan UU Tapera saling melengkapi saja.
Yang penting adalah seluruh pekerja memiliki kemudahan dalam mengakses pembiayaan perumahan untuk mendukung kesejahteraannya. Diharapkan dengan kemudahan akses tersebut Program Satu Juta Rumah akan mudah tercapai tiap tahunnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Sekjen OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia)
TANGGAL 25 Agustus lalu diperingati sebagai Hari Perumahan Nasional (Hapernas). Tema Hapernas tahun ini adalah “Mewujudkan Rumah Rakyat Berkualitas”. Dengan tema ini pemerintah mengajak seluruh pemangku kepentingan perumahan memberikan perhatian terhadap kualitas rumah yang dibangun.
Tentunya momentum Hapernas ini juga mendorong percepatan pencapaian Program Satu Juta Rumah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 29 April 2015 lalu. Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), per 20 Agustus 2018 capaian pembangunan rumah tahun ini sudah sampai 582.638 unit rumah dengan komposisi 68% adalah rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan 32% untuk non-MBR.
Khusus untuk penyediaan perumahan bagi MBR, pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Adapun tujuan hadirnya UU Tapera ini adalah menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta.
Seluruh pekerja formal dan pekerja mandiri yang berpenghasilan minimal sebesar upah minimum wajib menjadi peserta dan bagi pekerja mandiri yang memiliki upah di bawah upah minimum dapat menjadi peserta. Usia minimal pekerja yang berhak menjadi peserta adalah 20 tahun. Tentunya kehadiran UU Tapera ini dapat membantu pekerja memiliki rumah.
Faktanya masih banyak pekerja yang belum memiliki rumah sehingga harus mengontrak rumah atau tinggal bersama orang tua, biaya kontrak rumah relatif cukup besar sekitar 25% dari upah minimum (OPSI, 2015) dan pekerja masih sulit mendapatkan akses pinjaman perumahan dari perbankan.
Mengacu pada Pasal 80-82 UU Tapera, seharusnya Tapera sudah beroperasi saat ini. UU Tapera diundangkan pada 24 Maret 2016, maka seharusnya Tapera sudah beroperasi sejak 24 Maret 2018 lalu. Mengapa Tapera hingga saat ini belum beroperasi?
RPP Penyelenggaraan Tapera
Pelaksanaan UU Tapera hingga saat ini belum berjalan karena pemerintah belum menyelesaikan peraturan pelaksananya dan belum membentuk Badan Pengelola (BP) Tapera. Salah satu peraturan pelaksana yang belum selesai dibuat adalah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyelenggaraan Tapera. Saat ini pemerintah masih terus membahas Rancangan PP Penyelenggaraan (RPP) Tapera.
Yang menjadi penghambat penyelesaian RPP Penyelenggaraan Tapera adalah masalah iuran. Iuran yang dirancang dalam draf RPP tersebut adalah 3% dengan kewajiban pemberi kerja mengiur 0,5% dan pekerja 2,5% dari upah. Kalangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) keberatan mengiur karena alokasi iuran untuk jaminan sosial selama ini sudah cukup besar, yaitu berkisar 10,24-11,74% dari upah per bulan, dan dalam kondisi ekonomi yang belum stabil saat ini biaya produksi akan berpotensi terus meningkat.
Demikian juga kalangan pekerja keberatan mengiur karena tidak semua pekerja akan memperoleh manfaat Tapera. Pasal 27 ayat (1) UU Tapera mensyaratkan peserta yang berhak mendapatkan pembiayaan perumahan adalah mereka yang belum memiliki rumah dan atau termasuk golongan MBR. Adapun kriteria MBR akan diatur dalam Peraturan BP Tapera.
Ini artinya semua pekerja formal wajib mengiur, tapi tidak semua pekerja formal berhak mendapatkan manfaat Tapera ini. Tidak hanya itu, hasil pemupukannya dari dana simpanan tidak dijamin di atas suku bunga rata-rata deposito bank pemerintah seperti yang diberlakukan pada Program Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan.
Sebenarnya pembiayaan perumahan bagi pekerja formal sudah difasilitasi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 35 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Persyaratan dan Jenis Manfaat Layanan Tambahan dalam Program JHT.
Pekerja formal yang memegang kartu JHT di BPJS Ketenagakerjaan berhak mendapatkan fasilitas pembiayaan perumahan, yaitu berupa pinjaman uang muka perumahan (PUMP), kredit pemilikan rumah (KPR), dan pinjaman renovasi perumahan (PRP).
Fasilitas pembiayaan perumahan tersebut dilaksanakan bank penyalur yang telah bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Fasilitas pembiayaan ini terbuka untuk semua pekerja formal tanpa harus dibatasi oleh kriteria MBR ataupun usia peserta minimal 20 tahun. Tentunya kehadiran fasilitas ini akan mendorong peningkatan kepesertaan JHT pada BPJS Ketenagakerjaan.
Bila melihat dua regulasi di atas, memang ada tumpang tindih. Meski demikian ketiadaan persyaratan kriteria MBR atau minimal usia peserta 20 tahun pada Permenaker No 35 akan membuka akses lebih besar bagi pekerja untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan perumahan daripada pekerja harus ikut di UU Tapera.
Atas persoalan tumpang tindih tersebut saat ini pemerintah sedang berusaha menyinkronkannya, yaitu memadukan mekanisme pembiayaan pada UU Tapera dan Permenaker No 35 Tahun 2016. Menurut saya, pemerintah harus berhati-hati dalam menyinkronisasi kedua regulasi tersebut.
Jangan sampai pemerintah melanggar Pasal 49 ayat (2) UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang melarang adanya subsidi silang antarprogram dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana program lain. Hasil investasi Program JHT merupakan hak pekerja yang tidak boleh dialihkan untuk menjadi iuran pada UU Tapera.
Saya mendorong agar RPP Penyelenggaraan Tapera segera diselesaikan dengan titik temunya pada pemisahan kepesertaan. Bila pekerja sudah mengikuti Program JHT di BPJS Ketenagakerjaan, mereka tidak lagi diwajibkan ikut UU Tapera. Permenaker No 35 Tahun 2016 dan UU Tapera saling melengkapi saja.
Yang penting adalah seluruh pekerja memiliki kemudahan dalam mengakses pembiayaan perumahan untuk mendukung kesejahteraannya. Diharapkan dengan kemudahan akses tersebut Program Satu Juta Rumah akan mudah tercapai tiap tahunnya.
(thm)