Pilpres dan Geliat Ekonomi Perikanan Asia

Selasa, 28 Agustus 2018 - 09:09 WIB
Pilpres dan Geliat Ekonomi...
Pilpres dan Geliat Ekonomi Perikanan Asia
A A A
Abdul Halim

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan

HAJATAN politik Indo­nesia pada 2019 sudah dimulai. Itu ditandai dengan hadirnya dua pasangan calon presiden dan calon wakil presi­den (capres dan cawapres) periode 2019-2024, yakni petahana Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Terlepas dari ritual politik jelang pencoblosan pada 17 April 2019, ada perkembangan menarik di sektor perikanan yang mesti dijadikan sebagai prioritas pembangunan oleh pemimpin nasional ke depan.

Laporan terbaru FAO (2018) menyebut adanya kenaikan tingkat konsumsi ikan di dunia. Hal ini terlihat dari 170,9 juta ton (2016) ikan yang dipro­duksi oleh 195 negara, baik dari sek­tor perikanan tangkap mau­pun budi daya, 151,2 juta ton di antaranya dipergunakan un­tuk memenuhi kebutuhan protein 7,4 miliar penduduk bumi. Tak pelak, angka konsumsi ikan per kapita/tahun melonjak drastis dalam 5 tahun terakhir, dari 18,5 kilogram (2011) menjadi 20,3 kilogram (2016).

Di Asia, rata-rata tingkat konsumsi per kapita/tahun sebesar 24 kilogram. Angka ini sedikit lebih rendah ketimbang Oseania, yakni 25 kilogram/ kapita/tahun. Sebaliknya, rata-rata konsumsi ikan di Eropa hanya 22,5 kilogram. Disusul Afrika dan Amerika Utara masing-masing 9,9 kilo­gram/ kapita/tahun dan 21,6 kilo­gram/kapita/tahun.

Di samping itu, FAO (2018) juga menandai adanya per­geser­an pasar konsumsi ikan di dunia. Mengacu pada fakta yang diungkap oleh FAO, pada 1961 Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat mengonsumsi 47% dari total produksi pangan perikan­an di dunia. Selang 54 tahun kemudian, ketiganya hanya mengonsumsi 20% pada 2015. Disusul Afrika dan Oseania yang berada di posisi terbawah. Se­baliknya, Asia justru mengon­sumsi 2/3 atau 106 juta ton dari 149 juta ton ikan yang dipro­duksi di dunia pada 2015. Per­tanyaannya, apa sajakah faktor yang memengaruhi per­geser­an pasar konsumsi ikan dunia?

Se­tidak­nya ter­da­pat tiga faktor yang meme­nga­ruhi ter­jadinya per­geseran pasar kon­sumsi ikan di dunia. Pertama, melon­jak­nya produksi per­ikan­an sejumlah negara di Asia. Seperti diketahui, pada 2016 China (termasuk Taiwan), Indo­nesia, India, Jepang, Viet­nam, Filipina, Malaysia, Korea Selatan, Thailand, dan Myanmar berkontribusi 38,89 juta ton atau setara dengan 58,6% dari total produksi perikanan tangkap dunia. Sementara itu, China, India, Indonesia, Vietnam, dan Banglades menyumbang 71,55 juta ton atau setara dengan 81,7% dari total produksi per­ikanan budi daya global.

Kedua, lonjakan volume pro­duksi perikanan yang mem­belakangi pertumbuhan po­pulasi dunia. Berkenaan de­ngan hal ini, FAO (2018) mem­perkirakan volume produksi per­ikanan global sebesar 200,96 juta ton pada 2030 atau naik 17,6% dibandingkan tahun 2016. Dalam konteks itulah Asia diproyeksikan menjadi produsen perikanan utama dengan kontribusi 144,66 juta ton. Disusul Afrika (13,56 juta ton), Eropa (17,95 juta ton), Amerika Utara (6,47 juta ton), Amerika Latin dan Kepulauan Karibia (16,04 juta ton), serta Oseania (1,9 juta ton).

Ketiga, kian efektifnya pemanfaatan dan pengolahan ikan. FAO (2018) menun­juk­kan bahwa 88% ikan yang di­produksi pada 2016 diper­guna­kan untuk konsumsi ma­nusia. Adapun 12% atau setara dengan 15 juta ton sisanya dipakai untuk memproduksi pakan dan minyak ikan. Dalam pada itu, FAO juga mendapati adanya sejumlah perbaikan yang dilakukan berkaitan de­ngan pemanfaatan dan peng­olahan ikan, khususnya di ba­nyak negara berkembang, dari penataan lemari pendingin, pabrik es, sarana transportasi, dan menurunnya jumlah ikan yang terbuang sejak didarat­kan hingga terkonsumsi oleh manusia.

Berkaca pada ketiga faktor di atas, tak berlebihan apabila di­katakan bahwa geliat ekono­mi perikanan tengah mewabah di Asia. Hal ini ditandai oleh tingkat konsumsi pangan per­ikanan masya­ra­kat global yang di­proyeksikan meng­­alami lon­ja­k­an drastis, yakni 21,5 kilo­gram pa­da 2030. Pertum­buh­an ini terjadi di antaranya di Ame­rika Latin 33%, Afrika (37%), Oseania (28%), dan Asia (20%). Lantas, bagaimana Indo­nesia me­manfaatkan peluang ekonomi ini?

Pada 2030, volume pro­duksi perikanan nasio­nal diper­kira­kan 15,15 juta ton atau naik 31,9% dibandingkan volume pro­duksi pada 2016, yakni 11,49 juta ton (FAO, 2018). Dalam pada itu, rata-rata kon­sumsi ikan nasional pada 2016 men­capai 43,94 kilogram/kapita/tahun. Angka kon­sumsi ikan nasional ini diper­kirakan meningkat menjadi 46,49 kilogram/ kapita/tahun pada 2017 seiring dengan ke­naikan pendapatan dan per­sebaran kelas menengah yang kian melek manfaat mengon­sumsi ikan.

Sementara itu, provinsi yang memiliki tingkat kon­sumsi ikan rata-rata di atas 31,4 kilo­gram/ kapita/tahun justru tersebar di Pulau Papua, Pulau Maluku, Pulau Sulawesi, Pulau Kali­mantan, Pulau Sumatera, dan Pulau Jawa bagian barat antara tahun 2012-2017 (Kemen­teri­an Kelautan dan Perikanan, 2018). Inilah sesungguhnya pasar kon­sumsi ikan yang harus di­kelola dengan baik oleh pe­me­rintah dalam rangka mencer­daskan kehidupan bangsa. Ter­lebih, di tengah tingkat kon­sumsi masyarakat di Eropa yang diprediksi tak akan ber­anjak dari angka 22 kil­o­gram/ kapita/tahun pada 2030 (FAO, 2018), kenaikan volume pro­duksi perikanan dan mening­katnya tingkat konsumsi ikan nasional bisa dijadikan sebagai sarana pencapaian kemak­mur­an rakyat.

Seperti diketahui, Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45/2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/2004 ten­tang Perikanan memandatkan kepada pemerintah untuk men­jalankan usaha perikanan berdasarkan sistem bisnis per­ikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Dalam konteks inilah pengelolaan pelabuhan perikanan sebagai tempat ke­giat­an pemerintahan dan ke­giatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tem­pat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penun­jang perikanan menjadi sangat strategis.

Di Indonesia, jumlah pela­buhan perikanan sebanyak 816 unit. Dari jumlah itu, hanya 483 pelabuhan yang dinyat­a­kan layak beroperasi, meski­pun memerlukan perbaikan infrastruktur dan tata kelola­nya, 333 pelabuhan lainnya di­nyatakan tidak layak (Kemen­terian Kelautan dan Perikanan, April 2017). Fakta ini me­nun­jukkan bahwa keber­ada­an pelabuhan perikanan sebagai sentra ekonomi perikanan rakyat belum menjadi prioritas utama pemerintahan, baik dari sisi fasilitas penunjang mau­pun tata kelolanya.

Pada konteks itu, Pilpres 2019 menjadi momentum rak­y­at untuk melakukan per­baik­an. Bagaimana memulainya? Per­tama, menggerak­kan sentra ekonomi kepulauan yang ber­tumpu pada usaha per­ikan­an rakyat. Kedua, mem­prioritas­­kan pengolahan ikan di dalam negeri guna memenuhi ke­bu­tuhan protein 266 juta rakyat Indonesia dengan memper­tim­bangkan potensi sum­ber daya dan infrastruktur penun­jang­nya di setiap wilayah pe­nge­lolaan perikan­an, seperti fasilitas dan tata kelola pela­buhan perikan­an dan ang­kut­an pelayaran rakyat antarpulau yang lebih baik.

Dengan jalan itulah kemak­muran yang terkonsentrasi pada segelintir orang bisa di­koreksi dan kehendak kon­stitusi untuk meng­h­adirkan kemakmuran bagi se­luruh rakyat Indonesia dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote bisa diwujudkan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2000 seconds (0.1#10.140)