Polemik SKTM Palsu
A
A
A
Muchammad Tholchah
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Sedang Menempuh Studi Doktoral di University of Tampere Finlandia dengan Beasiswa LPDP
HARI-hari terakhir ini di berbagai media ramai diberitakan tentang surat keterangan tidak mampu (SKTM) palsu yang digunakan para wali murid untuk mendaftarkan putra-putrinya di lembaga pendidikan, terutama jenjang menengah. Menariknya, fenomena ini ditemukan di berbagai daerah, termasuk sekitar Ibu Kota. Padahal secara desain, penerimaan peserta didik baru melalui jalur SKTM dimaksudkan untuk merekrut calon peserta didik yang secara ekonomi dikategorikan benar-benar tidak mampu sejumlah 20% dari daya tampung. Dengan demikian melalui skema ini nilai akademik calon peserta didik tidak menjadi pertimbangan utama. Sayangnya banyak calon wali murid yang disinyalir menggunakan SKTM palsu agar putra-putrinya diprioritaskan atau diterima di sekolah pilihan.
Apa Maknanya?
Fenomena penggunaan SKTM palsu oleh masyarakat dapat dimaknai dari berbagai perspektif. Pertama, masyarakat kita, terutama pengguna SKTM palsu, seolah tidak peduli dengan tata nilai dan norma sehingga menghalalkan segala cara agar putra-putri atau kerabatnya diterima di lembaga pendidikan tertentu, yang biasanya dianggap favorit, tanpa malu mengaku miskin agar niatnya tercapai. Hal ini terjadi karena sebagian masyarakat kita masih berasumsi bahwa lembaga pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari status sosial mereka. Jika mereka diterima di lembaga pendidikan favorit, mereka merasa memiliki status sosial dan gengsi yang tinggi.
Sebagian masyarakat kita juga beranggapan bahwa lembaga pendidikan berkorelasi dengan masa depan putra-putri mereka. Lembaga pendidikan favorit sangat berpengaruh dalam menentukan masa depan yang cerah, terutama dalam hal karier.
Selain itu diperolehnya SKTM palsu oleh masyarakat yang diindikasikan mampu (atau kaya) menunjukkan adanya problem di lembaga pemerintahan tingkat desa/kelurahan atau RT selaku pihak yang berwenang menerbitkan surat keterangan tersebut. Berbagai alasan yang biasanya muncul atas penerbitan surat keterangan tersebut, antara lain, surat keterangan dianggap sebatas syarat formalitas yang tidak bermakna apa-apa sehingga dapat diberikan dengan mudah kepada siapa saja, aparat tidak mengenal secara detail warga yang mengajukan permohonan SKTM, atau ada hal lain sehingga warga yang tergolong mampu dapat memperoleh SKTM.
Atau dapat juga fenomena ini menunjukkan ironi mengenai problem mental yang secara tidak sadar diderita sebagian masyarakat kita: ketika berkaitan dengan hak, akses, dan fasilitas, masyarakat cenderung merasa miskin. Potret sejenis dapat kita saksikan dalam program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di mana warga berbondong-bondong ikut antre untuk mencairkan BLT sambil naik taksi atau menggunakan perhiasan serbamewah.
Alternatif Solusi
Praktik penggunaan SKTM palsu ini tentu tidak boleh dibiarkan karena selain membuat masyarakat terbiasa menganggap remeh persoalan administrasi surat-menyurat, juga menyebabkan warga miskin kehilangan hak akses pendidikan dalam konteks penerimaan peserta didik baru. Karenanya pihak-pihak terkait perlu mengambil langkah taktis dan strategis karena PPDB adalah agenda tahunan sehingga tanpa strategi efektif masalah serupa akan selalu berulang dari tahun ke tahun.
Pertama, panitia penerimaan peserta didik baru perlu bekerja sama dengan unit teknis terkait di pemerintah daerah untuk integrasi data kependudukan. Unit teknis yang dapat dijadikan mitra antara lain kantor pajak. Jika Dukcapil hanya berhubungan dengan data kependudukan semata, kantor pajak sudah memiliki data mengenai status ekonomi dan aset warga. Dalam pengisian form surat pajak pribadi (SPT) tahunan, warga mencantumkan penghasilan serta aset yang dimiliki baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak.
Kasus SKTM palsu dapat dijadikan momentum bagi pemerintah untuk mengintegrasikan data kependudukan dengan menyinergikan kinerja dinas catatan sipil dan kantor pajak. Ini memang bukan pekerjaan mudah karena mengandung berbagai tantangan, misalnya problem teknologi, penguasaan teknis dan prosedur oleh warga, serta yang paling berbahaya adalah ancaman penyalahgunaan data. Tentu upaya integrasi data ini membutuhkan program-program pendamping agar data penduduk tersistematisasi dengan baik dan hanya digunakan untuk keperluan yang relevan.
Kedua, penertiban tata kelola administrasi di lembaga pemerintah tingkat desa atau kelurahan, terutama penerbitan surat keterangan tidak mampu ini. Perlu diidentifikasi apakah pokok permasalahan selama ini terjadi pada tingkat desain atau eksekusi sehingga warga mampu dapat memperoleh SKTM. Asumsinya dari sisi desain tentu sudah diatur tentang kriteria, jenis, dan prosedur pemberian surat keterangan oleh aparat. Pertanyaannya: apakah aparat desa/kelurahan melaksanakan prosedur tersebut?
Ketiga, dikotomi sekolah favorit-nonfavorit pada hakikatnya mencederai hak warga negara untuk mengakses pendidikan yang layak. Sekolah favorit menerima peserta didik potensial (atau pandai), difasilitasi dengan media pembelajaran yang lengkap dan mutakhir, serta didampingi oleh guru yang kompeten sehingga tidak mengherankan jika hasil belajarnya maksimal. Konkretnya, nilai UN selalu tinggi. Di sisi lain, calon peserta didik yang nilainya pas-pasan diterima di sekolah bukan favorit, minim sarana prasarana, dan didampingi oleh guru yang mismatch. Maka menjadi tidak fair ketika peserta didik dari dua lembaga dengan kualitas dan situasi berbeda (bahkan bisa jadi bertolak belakang) harus “bertanding” mengerjakan ujian dan soal yang sama.
Karenanya pemerintah daerah, selaku pemegang otoritas lembaga pendidikan, secara bertahap mulai meminimalisasi (atau bahkan menghilangkan) penggunaan label sekolah favorit-nonfavorit yang beredar di kalangan masyarakat. Pemda harus mengampanyekan bahwa semua sekolah adalah favorit sehingga tidak ada preferensi ke sekolah tertentu. Artinya pemerintah daerah memiliki regulasi dan sumber daya agar sarana-prasarana yang dibutuhkan sekolah dapat dipenuhi, pendidik dan tenaga kependidikannya diberi pembekalan dan pelatihan yang bermutu, serta kurikulumnya disusun sesuai dengan konsep ideal. Dengan demikian di mana pun peserta didik menimba ilmu, layanan pendidikan yang diterima peserta didik akan sama. Kalaupun berbeda mungkin bukan pada aspek substansial semisal kurikulum muatan lokal.
Di sisi lain masyarakat juga perlu menyadari bahwa tugas mereka tidak selesai begitu saja saat putra-putrinya sudah diserahkan kepada pendidik di lembaga pendidikan, termasuk sekolah yang mereka anggap favorit. Secara umum durasi belajar di sekolah, di mana pengawasannya menjadi tanggung jawab pendidik, hanya berkisar antara tujuh sampai delapan jam, selebihnya siswa berada di luar pendampingan dan pengawasan pendidik. Berbagai perilaku menyimpang sering kali terjadi di luar jam sekolah.
Di sinilah peran orang tua tetap dibutuhkan untuk mendampingi putra-putrinya. Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa interaksi intensif orang tua dan anak pada usia sekolah menengah berperan sangat besar bukan hanya dalam mendukung perkembangan akademik putra-putrinya, tetapi juga aspek psikologis mereka. Misalnya anak menjadi lebih bersemangat menyelesaikan tugas sekolah (Stevenson and Baker, 1987), lebih berprestasi secara akademik (Driessen, Smith, & Sleegers, 2013), meningkatnya kepercayaan diri anak (Oyserman, Brickman, & Rhodes, 2007), anak lebih tenang mengelola emosinya (Wentzel, 1998), serta anak memiliki kesiapan psikologis yang lebih matang saat dewasa (Sriyasak et.al., 2018). Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan belajar peserta didik tidak semata-mata hanya ditentukan melalui interaksi peserta didik di sekolah semata.
Penutup
Fenomena SKTM palsu bukan semata-mata satu persoalan yang dihadapi lembaga pendidikan, terutama panitia penerimaan peserta didik baru, tetapi perlu dilihat sebagai sebuah entitas yang memiliki keterkaitan dengan persoalan yang lebih luas. Misalnya perpajakan, mental dan jati diri bangsa, pengelolaan lembaga pendidikan, dan bahkan good governance. Karenanya ini seharusnya dijadikan momentum bagi seluruh pihak terkait untuk bekerja dan berkontribusi menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bangsa ini.
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Sedang Menempuh Studi Doktoral di University of Tampere Finlandia dengan Beasiswa LPDP
HARI-hari terakhir ini di berbagai media ramai diberitakan tentang surat keterangan tidak mampu (SKTM) palsu yang digunakan para wali murid untuk mendaftarkan putra-putrinya di lembaga pendidikan, terutama jenjang menengah. Menariknya, fenomena ini ditemukan di berbagai daerah, termasuk sekitar Ibu Kota. Padahal secara desain, penerimaan peserta didik baru melalui jalur SKTM dimaksudkan untuk merekrut calon peserta didik yang secara ekonomi dikategorikan benar-benar tidak mampu sejumlah 20% dari daya tampung. Dengan demikian melalui skema ini nilai akademik calon peserta didik tidak menjadi pertimbangan utama. Sayangnya banyak calon wali murid yang disinyalir menggunakan SKTM palsu agar putra-putrinya diprioritaskan atau diterima di sekolah pilihan.
Apa Maknanya?
Fenomena penggunaan SKTM palsu oleh masyarakat dapat dimaknai dari berbagai perspektif. Pertama, masyarakat kita, terutama pengguna SKTM palsu, seolah tidak peduli dengan tata nilai dan norma sehingga menghalalkan segala cara agar putra-putri atau kerabatnya diterima di lembaga pendidikan tertentu, yang biasanya dianggap favorit, tanpa malu mengaku miskin agar niatnya tercapai. Hal ini terjadi karena sebagian masyarakat kita masih berasumsi bahwa lembaga pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dari status sosial mereka. Jika mereka diterima di lembaga pendidikan favorit, mereka merasa memiliki status sosial dan gengsi yang tinggi.
Sebagian masyarakat kita juga beranggapan bahwa lembaga pendidikan berkorelasi dengan masa depan putra-putri mereka. Lembaga pendidikan favorit sangat berpengaruh dalam menentukan masa depan yang cerah, terutama dalam hal karier.
Selain itu diperolehnya SKTM palsu oleh masyarakat yang diindikasikan mampu (atau kaya) menunjukkan adanya problem di lembaga pemerintahan tingkat desa/kelurahan atau RT selaku pihak yang berwenang menerbitkan surat keterangan tersebut. Berbagai alasan yang biasanya muncul atas penerbitan surat keterangan tersebut, antara lain, surat keterangan dianggap sebatas syarat formalitas yang tidak bermakna apa-apa sehingga dapat diberikan dengan mudah kepada siapa saja, aparat tidak mengenal secara detail warga yang mengajukan permohonan SKTM, atau ada hal lain sehingga warga yang tergolong mampu dapat memperoleh SKTM.
Atau dapat juga fenomena ini menunjukkan ironi mengenai problem mental yang secara tidak sadar diderita sebagian masyarakat kita: ketika berkaitan dengan hak, akses, dan fasilitas, masyarakat cenderung merasa miskin. Potret sejenis dapat kita saksikan dalam program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di mana warga berbondong-bondong ikut antre untuk mencairkan BLT sambil naik taksi atau menggunakan perhiasan serbamewah.
Alternatif Solusi
Praktik penggunaan SKTM palsu ini tentu tidak boleh dibiarkan karena selain membuat masyarakat terbiasa menganggap remeh persoalan administrasi surat-menyurat, juga menyebabkan warga miskin kehilangan hak akses pendidikan dalam konteks penerimaan peserta didik baru. Karenanya pihak-pihak terkait perlu mengambil langkah taktis dan strategis karena PPDB adalah agenda tahunan sehingga tanpa strategi efektif masalah serupa akan selalu berulang dari tahun ke tahun.
Pertama, panitia penerimaan peserta didik baru perlu bekerja sama dengan unit teknis terkait di pemerintah daerah untuk integrasi data kependudukan. Unit teknis yang dapat dijadikan mitra antara lain kantor pajak. Jika Dukcapil hanya berhubungan dengan data kependudukan semata, kantor pajak sudah memiliki data mengenai status ekonomi dan aset warga. Dalam pengisian form surat pajak pribadi (SPT) tahunan, warga mencantumkan penghasilan serta aset yang dimiliki baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak.
Kasus SKTM palsu dapat dijadikan momentum bagi pemerintah untuk mengintegrasikan data kependudukan dengan menyinergikan kinerja dinas catatan sipil dan kantor pajak. Ini memang bukan pekerjaan mudah karena mengandung berbagai tantangan, misalnya problem teknologi, penguasaan teknis dan prosedur oleh warga, serta yang paling berbahaya adalah ancaman penyalahgunaan data. Tentu upaya integrasi data ini membutuhkan program-program pendamping agar data penduduk tersistematisasi dengan baik dan hanya digunakan untuk keperluan yang relevan.
Kedua, penertiban tata kelola administrasi di lembaga pemerintah tingkat desa atau kelurahan, terutama penerbitan surat keterangan tidak mampu ini. Perlu diidentifikasi apakah pokok permasalahan selama ini terjadi pada tingkat desain atau eksekusi sehingga warga mampu dapat memperoleh SKTM. Asumsinya dari sisi desain tentu sudah diatur tentang kriteria, jenis, dan prosedur pemberian surat keterangan oleh aparat. Pertanyaannya: apakah aparat desa/kelurahan melaksanakan prosedur tersebut?
Ketiga, dikotomi sekolah favorit-nonfavorit pada hakikatnya mencederai hak warga negara untuk mengakses pendidikan yang layak. Sekolah favorit menerima peserta didik potensial (atau pandai), difasilitasi dengan media pembelajaran yang lengkap dan mutakhir, serta didampingi oleh guru yang kompeten sehingga tidak mengherankan jika hasil belajarnya maksimal. Konkretnya, nilai UN selalu tinggi. Di sisi lain, calon peserta didik yang nilainya pas-pasan diterima di sekolah bukan favorit, minim sarana prasarana, dan didampingi oleh guru yang mismatch. Maka menjadi tidak fair ketika peserta didik dari dua lembaga dengan kualitas dan situasi berbeda (bahkan bisa jadi bertolak belakang) harus “bertanding” mengerjakan ujian dan soal yang sama.
Karenanya pemerintah daerah, selaku pemegang otoritas lembaga pendidikan, secara bertahap mulai meminimalisasi (atau bahkan menghilangkan) penggunaan label sekolah favorit-nonfavorit yang beredar di kalangan masyarakat. Pemda harus mengampanyekan bahwa semua sekolah adalah favorit sehingga tidak ada preferensi ke sekolah tertentu. Artinya pemerintah daerah memiliki regulasi dan sumber daya agar sarana-prasarana yang dibutuhkan sekolah dapat dipenuhi, pendidik dan tenaga kependidikannya diberi pembekalan dan pelatihan yang bermutu, serta kurikulumnya disusun sesuai dengan konsep ideal. Dengan demikian di mana pun peserta didik menimba ilmu, layanan pendidikan yang diterima peserta didik akan sama. Kalaupun berbeda mungkin bukan pada aspek substansial semisal kurikulum muatan lokal.
Di sisi lain masyarakat juga perlu menyadari bahwa tugas mereka tidak selesai begitu saja saat putra-putrinya sudah diserahkan kepada pendidik di lembaga pendidikan, termasuk sekolah yang mereka anggap favorit. Secara umum durasi belajar di sekolah, di mana pengawasannya menjadi tanggung jawab pendidik, hanya berkisar antara tujuh sampai delapan jam, selebihnya siswa berada di luar pendampingan dan pengawasan pendidik. Berbagai perilaku menyimpang sering kali terjadi di luar jam sekolah.
Di sinilah peran orang tua tetap dibutuhkan untuk mendampingi putra-putrinya. Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa interaksi intensif orang tua dan anak pada usia sekolah menengah berperan sangat besar bukan hanya dalam mendukung perkembangan akademik putra-putrinya, tetapi juga aspek psikologis mereka. Misalnya anak menjadi lebih bersemangat menyelesaikan tugas sekolah (Stevenson and Baker, 1987), lebih berprestasi secara akademik (Driessen, Smith, & Sleegers, 2013), meningkatnya kepercayaan diri anak (Oyserman, Brickman, & Rhodes, 2007), anak lebih tenang mengelola emosinya (Wentzel, 1998), serta anak memiliki kesiapan psikologis yang lebih matang saat dewasa (Sriyasak et.al., 2018). Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan belajar peserta didik tidak semata-mata hanya ditentukan melalui interaksi peserta didik di sekolah semata.
Penutup
Fenomena SKTM palsu bukan semata-mata satu persoalan yang dihadapi lembaga pendidikan, terutama panitia penerimaan peserta didik baru, tetapi perlu dilihat sebagai sebuah entitas yang memiliki keterkaitan dengan persoalan yang lebih luas. Misalnya perpajakan, mental dan jati diri bangsa, pengelolaan lembaga pendidikan, dan bahkan good governance. Karenanya ini seharusnya dijadikan momentum bagi seluruh pihak terkait untuk bekerja dan berkontribusi menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bangsa ini.
(wib)