Pilkada dan Kualitas Demokrasi

Rabu, 25 April 2018 - 08:30 WIB
Pilkada dan Kualitas...
Pilkada dan Kualitas Demokrasi
A A A
Deden Ramdan
Wakil Rektor III Universitas Pasundan

PEMILIHAN kepala daerah langsung merupakan sa­ra­na perwujudan kedau­­latan rakyat. Penye­leng­ga­raan pilkada langsung diang­gap penting bagi per­kem­ba­ngan demokrasi di Indonesia ka­rena merupakan jawaban atas tun­tutan aspirasi rakyat setelah pemilihan presiden, pemilihan legislatif, anggota DPD, bahkan kepala desa telah lebih dulu dilakukan secara langsung.

Pilkada langsung me­ru­pa­kan perwujudan konstitusi seperti diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, yakni gu­ber­nur, bupati, dan wali kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih se­cara demokratis.

Pilkada langsung juga me­ru­pakan sarana pembelajaran de­mokrasi bagi rakyat yang di­ha­rap­kan dapat membentuk kesa­daran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya. Pilkada lang­sung juga sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.

Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang di­ha­silkan dalam pilkada langsung, perwujudan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk me­ningkatkan kesejahteraan ma­sya­rakat dengan selalu mem­per­hatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat, dapat te­realisasi.

Pilkada langsung meru­pa­kan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan na­sional. Disadari atau tidak, ke­tersediaan kepemimpinan na­sio­nal amat terbatas. Dari jum­lah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pe­mimpin nasional yang kita mi­liki hanya beberapa.

Mereka se­bagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2014. Karena itu, harapan akan lahirnya pe­mimpin nasional justru dari pil­kada langsung seperti ini.

Pilkada langsung dan se­rentak menjadi pilihan terbaik dengan asumsi terjadi optimasi akibat penggabungan sejumlah pemilihan di Indonesia. Tu­ju­an­nya agar terjadi kontinuitas jal­annya pemerintahan daerah, kesiapan aparat keamanan, menghindari kejenuhan ma­sya­rakat dan efisiensi biaya.

Substansi

Robert Alan Dahl dalam De­mocracy and Its Critics (2004) mengisyaratkan bahwa pe­mi­lihan umum yang dila­ku­kan lang­sung oleh rakyat me­ru­pa­kan keharusan agar pe­me­rin­tah daerah senantiasa menjunjung akuntabilitas dan tang­­­gung jawabnya. Tentu, sebagai rakyat kita memahami bahwa akuntabilitas dan tang­gung jawab pemerintah daerah sa­ngat bernilai.

Dua hal itu­lah san­tapan bagi nurani pe­­man­g­ku kekuasaan di dae­rah untuk memformulasikan dan meng­im­plementasikan ke­bijakan publik yang benar-be­nar se­suai dengan kepen­ti­ngan rak­yat di daerah. Seperti ditegaskan oleh BC Smith (2000) bahwa desen­tralisasi juga ha­rus membawa faedah bagi ma­syarakat di dae­rah. Karena itu, demo­krasi sistem pemerin­tah­an di daerah ha­rus diba­ngun secara kokoh.

Sejumlah masalah memang masih terjadi dalam pelak­sa­naan pilkada, misalnya daftar pe­milih yang tidak akurat. Ma­sal­ah lainnya proses pencalonan akibat konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD dalam menen­tu­kan pasangan calon yang akan mengikuti pilkada.

Hal yang lain adalah ma­salah pada masa kampanye. Kam­pa­nye yang diharapkan dapat mendorong dan mem­per­kuat pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pe­mi­lih mendapatkan in­for­masi yang lengkap tentang semua ca­lon, menjadi tidak tercapai. Un­tuk itu, ke depan per­lu peng­aturan masa kam­panye yang cukup dan pe­ning­katan kual­i­tas kampanye agar dapat men­di­dik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.

Ma­nipulasi penghi­tu­ngan sua­ra dan rekapitulasi hasil peng­hi­tungan suara ada­lah masalah berikutnya. Di samping masih ada penye­leng­gara pemilu yang tidak adil dan netral.

Kesemua masalah tersebut harus segera dicari formulasi dan solusi yang tepat. Bila tidak, kelak pilkada langsung dan serentak ini akan dihapuskan karena secara evidensial ter­buk­ti tidak mampu memenuhi pra­syarat demokrasi.

Secara per definisi de­mo­krasi berasal dari bahasa Yu­na­ni, demos, yang berarti rakyat, dan kratos, yang berarti pe­me­rin­tahan. Sehingga demokrasi da­pat diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya berada di ta­ngan rakyat. Semua anggota masyarakat yang memenuhi syarat pilih diikutsertakan da­lam kehidupan kenegaraan da­lam aktivitas pemilu.

Dinamika politik yang ter­jadi di era reformasi ini telah memberikan kesempatan dan peran bagi elite politik lokal yang cukup bermakna. Namun, penyempurnaan masih harus dilakukan agar pemerintahan daerah sebagai aktualisasi dari dinamika politik lokal semakin menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Karena itu, pengaturan baik da­lam tataran suprastruktur mau­pun infrastruktur politik di­tuntut untuk senantiasa mem­perhatikan pertimbangan filo­so­fis, yuridis, sosiologis, politis, dan praktis.

Sementara itu, susunan pe­merintahan daerah akan men­jadi dasar bagi pem­bangunan interaksi di antara mereka. De­mikian pula susunan pemerin­tahan tersebut juga dapat men­jadi konteks dari peranan yang dimainkan oleh masing-masing susunan pemerintahan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan implikasinya terhadap pendidikan politik masyarakat.

Pendidikan politik masyarakat yang terbangun melalui pilkada langsung dan serentak diharapkan men­cip­ta­kan sistem politik yang de­mo­kratis di tingkat lokal dan pada gilirannya akan dapat mem­be­rikan kontribusi bagi ter­wu­judnya sistem politik yang d­e­mokratis di tingkat nasional.

Pilkada langsung dan se­rentak sejatinya merupakan kon­solidasi demokrasi yang ha­rus dijadikan konsensus untuk menyempurnakan sistem de­mo­krasi, baik yang berkaitan de­ngan substansi, struktur, maupun budaya politik. Demo­krasi sebagai sistem perlu di­dukung oleh sistem politik yang jelas dan terukur, yang efek­ti­vitasnya akan banyak tergan­tung pada kualitas perundang-undangannya, tegaknya sistem hukum, political will dari pe­nye­lenggara negara, kelengkapan sarana dan prasarana; kualitas sumber daya manusianya, baik mental maupun intelektual.

Selain itu tumbuhnya kesa­dar­an serta partisipasi politik dari segenap elemen masyarakat secara luas. Dalam posisi dan kondisi seperti ini pilkada di­asumsikan telah mampu me­me­nuhi kualitas demokrasi.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0863 seconds (0.1#10.140)