Stunting dan Tantangan Calon Kepala Daerah

Kamis, 19 April 2018 - 09:30 WIB
Stunting dan Tantangan Calon Kepala Daerah
Stunting dan Tantangan Calon Kepala Daerah
A A A
Wisnu Adi Yulianto
Pengelola Pascasarjana S-2 Ilmu Pangan Universitas Mercu Buana Yogyakarta

TAHUN 2018 ini di­kenal sebagai ta­hun pilkada kare­na akan dilakukan pilkada serentak di 171 daerah di Indonesia. Pilkada tersebut terdiri atas 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Dari 17 pro­vinsi yang menggelar pemi­lih­an, Jawa Barat sebagai da­erah dengan jumlah penduduk ter­besar di Indonesia termasuk di dalamnya.

Ada satu permasalahan penting di daerah-daerah yang kurang menjadi perhatian calon kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten, yaitu tingginya angka stunting (pertumbuhan kerdil) anak balita (bawah lima tahun). Berdasarkan hasil riset ke­sehatan dasar pada 2013, pre­valensi stunting balita Indo­nesia mencapai 37,2% dan pada 2016 sebesar 36,4% (FAO, 2017).

Itu ber­arti hanya mengalami penu­runan sebesar 0,8% selama tiga tahun. Jumlahnya sekitar 8,8 juta jiwa atau sekitar dua kali jumlah penduduk di provinsi Bali. Jumlah tersebut tak lepas akibat dari prevalensi keku­rangan gizi (undernourishment) pada 2016 setinggi 7,9% atau 20,3 juta, atau sekitar dua kali jumlah penduduk Daerah Khu­sus Ibukota Jakarta. Jumlah yang sangat besar!

Intervensi untuk Stunting
Menyadari akan hal ter­sebut, Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, melalui Tim Nasional Percepatan Penang­gulangan Kemiskinan, menge­luar­kan Buku “100 Kabupa­ten/ Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting)”. Buku ini memuat daftar kabu­pa­ten/ kota yang menjadi prioritas pe­nanganan stunting pada 2017 dan 2018. Dari 100 kabupa­ten/ kota tersebut dapat dipering­kati 10 besar daerah dengan jum­lah balita stunting ter­ba­nyak.

Pe­ring­­kat pertama adalah Kabu­pa­ten Bogor (148.760 jiwa), Ban­dung (137.160), Garut (100.960), Cianjur (95.020), Sukabumi (85.650), Karawang (80.890), Jember (80.360), Bandung Barat (76.150), Cire­bon (71.719), dan Tasikmalaya (69.400 jiwa). Dari 10 besar tersebut, 90% di­dominasi kabu­paten yang ada di Jawa Barat, dan hanya satu ka­bu­paten di Jawa Timur (Jember). Dari data tersebut, terlihat demikian masifnya anak balita kita di tingkat kabupaten yang perlu penanganan sungguh-sung­guh; tidak saja terhadap anak-anak balita yang stunting , tetapi juga mereka yang hidup dalam kemiskinan.

Sebagai contoh, jumlah pen­duduk miskin tahun 2016 di Bogor mencapai 491.000 jiwa atau 8,83%, Garut 299.000 jiwa atau 11,64%, dan Cirebon 288.000 jiwa atau 13,49%. Oleh karena itu, intervensi untuk mengatasi stunting ter­sebut tidak bisa ditunda lagi. Intervensi tersebut dapat berupa intervensi gizi spesifik yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan (ibu hamil dan menyusui, serta anak bawah dua tahun) yang diharapkan mampu menu­run­kan stunting sebesar 30%, dan intervensi gizi sensitif yang berupa kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan yang diharapkan dapat menurunkan stunting sebesar 70%.

Inter­vensi gizi sensitif ini mencakup kegiatan penyediaan sanitasi dan air bersih, fortifikasi bahan pangan, layanan kesehatan dan keluarga berencana, jaminan kesehatan nasional dan per­salinan universal, pendidikan pengasuhan pada orang tua, anak usia dini, gizi masyarakat, kesehatan seksual, reproduksi, dan gizi pada remaja, bantuan dan jaminan sosial bagi ke­luarga miskin, serta pening­kat­an ketahanan pangan dan gizi.

Sayangnya, ketahanan pangan kita hingga kini masih lemah. Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit di dalam Global Food Security Index (GFSI) 2017, Indonesia menempati peringkat 69 (skor 51,3, skala 0-100, 100 = sangat baik) dari 113 negara yang di­survei, yang berarti hanya se­dikit perbaikan dibanding ta­hun sebelumnya (2016) yang me­­nempati posisi 71 (skor 50,6).

Lemahnya kondisi keta­hanan pangan kita di antaranya dise­bab­kan oleh rendahnya ke­ter­sediaan zat besi dari hewani dan nabati, diversifikasi diet dan kualitas protein. Negeri kita yang memiliki wilayah se­kitar dua per tiga berupa per­air­an yang kaya akan ikan dan hasil laut lainnya, haruskah masih kekurangan protein?

Menurut Laporan Tahunan Badan Ketahanan Pangan ta­hun 2016 (Kementerian Per­tani­an 2017), ketersediaan kalori dan protein tahun 2016 berturut-turut sebesar 4.017 Kkal per kapita sehari dan 83,07 gram per kapita sehari, sedang­kan kon­sumsi kalori dan pro­tein­­nya berturut-turut sebesar 2.037,40 Kkal per kapita sehari, dan 56,67 gram per kapita se­hari (BPS, 2016).

Pada tahun beri­kut­nya, konsumsi kalori dan protein berturut-turut sebesar 2.152,64 Kkal per kapita sehari, dan 62,20 gram per kapita se­hari (BPS, 2017). Berdasarkan angka kecukupan energi dan protein yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia ditetapkan berturut-turut sebesar 2.150 Kkal dan 57 gram (Permenkes RI Nomor 75 Tahun 2103).

Dengan demikian, se­sung­guhnya ketersediaan energi dan protein secara nasional itu sangatlah mencukupi. Tetapi kenyataannya, pada 2016, kon­sumsi jumlah energinya masih di bawah dari yang dianjurkan (< 2.150 Kkal). Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka kurang gizi atau under­nourish­ment (kurang energi). Demi­kian juga konsumsi protein pada 2016, masih sedikit di bawah standar yang dianjurkan, dan membaik pada 2017 yang dapat mencapai 62,20 gram per kapita sehari. Dengan tersedia­nya ener­gi dan protein secara nasional tersebut, yang perlu ditingkatkan ialah kemudahan akses dan distribusi.

Tantangan Calon Kepala Daerah
Kerangka intervensi untuk stunting sudah disiapkan, per­masalahan kurang gizi, khusus­nya kalori, zat besi, dan protein telah dikemukakan. Kini yang dibutuhkan ialah komitmen dari para kepala daerah. Apalagi tahun ini akan diselenggarakan pilkada, sungguh momen yang baik bagi calon kepala daerah untuk berkomitmen, berdedi­kasi, beramal untuk menye­lamatkan puluhan ribu anak balita stunting menuju sehat dan membebaskan ratusan juta warga miskin menuju sejah­tera.

Oleh karena itu, paparan stunting pada data di atas tidaklah dimaksudkan untuk menunjukkan kinerja kepala daerah yang buruk, tetapi lebih ditujukan potensi limpahan ladang amal untuk mengentas­kan puluhan ribu anak balita stunting dan ratusan ribu pen­duduk miskin, karena siapa pun bupatinya akan menghadapi masalah yang tidak mudah untuk diatasi.

Indonesia sendiri telah ber­gabung dengan Gerakan Scale up Nutrition (negara-negara yang penduduknya mengalami ke­kurangan gizi) sejak 22 Desem­ber 2011, nyatanya hingga kini angka anak balita stunting kita masih tinggi, yakni 36,4%. Lalu, bagaimana dengan target 2025 yang oleh World Health Assembly dari WHO yang telah menetap­kan penurunan sebesar 40% anak balita stunting dari 2012?

Ber­dasar­kan pengamatan tahun-tahun sebelumnya, target itu (menjadi 21,84%) terasa sangat berat jika tidak diikuti gerakan bersama yang masif. Akhirnya, titip pesan buat calon kepala daerah, terutama calon bupati-bupati dan guber­nur di provinsi Jawa Barat: turun­kan angka stunting!
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4930 seconds (0.1#10.140)