Menimbang Perppu untuk Cakada Tersangka
A
A
A
Allan Fatchan Gani Wardhana
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII & LPBH NU DIY
BANYAKNYA calon kepala daerah (cakada) yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat perhatian sejumlah pihak. Setidaknya sudah ada tujuh calon kepala daerah yang berstatus tersangka dan sebagian sudah ditahan oleh KPK. Mereka ialah calon gubernur Lampung Mustafa; calon bupati Subang Imas Aryumningsih; calon bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko; calon wali kota Malang Mochamad Anton, serta Yaqud Ananda Qudban; calon gubernur NTT Marianus Sae; calon gubernur Sulawesi Tenggara Asrun; dan calon gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus.
Terhadap calon kepala daerah yang berstatus tersangka tidak dapat dilakukan pergantian. Hal ini diatur dalam Pasal 43 UU Nomor 10/2016 (UU Pilkada) yang intinya mengatur bahwa partai politik (parpol)/gabungan parpol dilarang menarik calonnya dan/atau calonnya dilarang mengundurkan diri terhitung sejak pendaftaran sebagai calon pada KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota. Dalam hal parpol/gabungan parpol menarik calonnya atau calonnya mengundurkan diri, parpol/gabungan parpol yang mencalonkan tidak dapat mengusulkan calon pengganti.
Apabila dengan sengaja menarik atau mengundurkan diri, maka sesuai Pasal 191 pimpinan parpol/gabungan parpol beserta calonnya diberikan hukuman penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan dengan denda paling sedikit Rp25 miliar dan paling banyak Rp50 miliar.
Tiga Opsi
Berdasarkan hal di atas, tidak terdapat peluang sama sekali bagi calon kepala daerah yang berstatus tersangka untuk mengundurkan diri ataupun diganti. Banyak elemen yang kemudian resah apabila dalam pilkada nanti diberikan pilihan pemimpin yang terbelit kasus hukum. Menyikapi keresahan tersebut muncul berbagai opsi. Misalnya muncul usulan dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk mengatur penggantian calon kepala daerah yang menjadi tersangka melalui Peraturan KPU Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Kemudian usulan dari KPK dan beberapa parpol agar pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Secara ketatanegaraan ada tiga solusi untuk mengatasi masalah calon kepala daerah tersangka dengan konsekuensi masing-masing. Pertama, mendesak DPR dan Pemerintah untuk melakukan revisi terbatas terhadap Pasal 43 dan Pasal 191 yang nantinya dapat memberikan peluang pergantian calon kepala daerah. Konsekuensinya, bahwa proses revisi ini membutuhkan waktu cukup lama karena harus diusulkan, disusun, dibahas, dan disetujui bersama. Sementara pilkada serentak akan dilaksanakan bulan Juni 2018.
Kedua, membuat PKPU untuk mengatur pergantian calon kepala daerah tersangka. Akan tetapi, solusi ini rawan mendapatkan pertentangan mengingat bahwa PKPU itu hakikatnya merupakan peraturan pelaksana (delegated legislation) untuk melaksanakan aturan di atasnya (UU Pilkada). Jika UU Pilkada tidak memberikan peluang pergantian calon kepala daerah, PKPU tidak dapat mengatur hal yang tidak diamanatkan oleh undang-undang.
Ketiga, mendesak presiden untuk mengeluarkan perppu dengan konsekuensi penetapannya harus dilaksanakan segera. Solusi yang ketiga inilah tampaknya yang perlu untuk dipertimbangkan sebagai solusi hukum yang tepat untuk mengganti calon kepala daerah tersangka.
Genting Memaksa
Perppu hakikatnya merupakan Hukum Tata Negara Darurat (Staatsnoodrecht), yaitu upaya khusus yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang sifatnya darurat dan genting. Dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, perppu dapat dikeluarkan oleh presiden ketika negara dalam keadaan genting yang memaksa. Jimly Ashiddiqqie (Ketua MK 2003-2008) memberikan tiga batasan perppu dapat keluar, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk bertindak (reasonable necessity); waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau adanya kegentingan waktu; dan tidak tersedia alternatif lain/menurut penalaran yang wajar, alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan sehingga penetapan perppu merupakan satu-satunya solusi.
Adapun MK sendiri pernah memberikan rambu-rambu dikeluarkannya perppu (melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009) di mana perppu dapat dikeluarkan apabila terdapat kekosongan hukum serta adanya keadaan/kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Dikaitkan dengan masalah calon kepala daerah tersangka, sebenarnya cukup alasan bagi presiden untuk mempertimbangkan mengeluarkan perppu sebagai solusi hukum yang tepat. Terdapat beberapa urgensi.
Pertama, bahwa faktanya UU Pilkada yang berlaku saat ini tidak memberikan ruang sedikit pun terhadap parpol/gabungan parpol dan calon kepala daerah untuk mengundurkan diri ataupun melakukan pergantian, meski terdapat calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Justru kalau mengundurkan diri akan diberikan sanksi sesuai UU Pilkada.
Kedua, alternatif solusi hukum lain seperti revisi UU Pilkada dengan prosedur biasa memerlukan waktu cukup lama. Padahal, pilkada akan berlangsung bulan Juni tahun ini sehingga belum memungkinkan untuk dilakukan. Begitu pun jalan untuk mengatur pergantian calon kepala daerah tersangka melalui PKPU kurang tepat mengingat bahwa derajat PKPU merupakan peraturan pelaksana dari aturan di atasnya (UU Pilkada).
Ketiga, dalam negara yang demokratis, seharusnya parpol menyediakan alternatif pilihan pemimpin yang memiliki kompetensi, integritas, serta tidak terbelit kasus hukum. Sudah cukup alasan bagi presiden untuk mengeluarkan perppu untuk mengganti calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Rakyat harus diselamatkan dari calon pemimpin yang bermasalah dan korup. Wallahu a’lam.
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII & LPBH NU DIY
BANYAKNYA calon kepala daerah (cakada) yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat perhatian sejumlah pihak. Setidaknya sudah ada tujuh calon kepala daerah yang berstatus tersangka dan sebagian sudah ditahan oleh KPK. Mereka ialah calon gubernur Lampung Mustafa; calon bupati Subang Imas Aryumningsih; calon bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko; calon wali kota Malang Mochamad Anton, serta Yaqud Ananda Qudban; calon gubernur NTT Marianus Sae; calon gubernur Sulawesi Tenggara Asrun; dan calon gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus.
Terhadap calon kepala daerah yang berstatus tersangka tidak dapat dilakukan pergantian. Hal ini diatur dalam Pasal 43 UU Nomor 10/2016 (UU Pilkada) yang intinya mengatur bahwa partai politik (parpol)/gabungan parpol dilarang menarik calonnya dan/atau calonnya dilarang mengundurkan diri terhitung sejak pendaftaran sebagai calon pada KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota. Dalam hal parpol/gabungan parpol menarik calonnya atau calonnya mengundurkan diri, parpol/gabungan parpol yang mencalonkan tidak dapat mengusulkan calon pengganti.
Apabila dengan sengaja menarik atau mengundurkan diri, maka sesuai Pasal 191 pimpinan parpol/gabungan parpol beserta calonnya diberikan hukuman penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan dengan denda paling sedikit Rp25 miliar dan paling banyak Rp50 miliar.
Tiga Opsi
Berdasarkan hal di atas, tidak terdapat peluang sama sekali bagi calon kepala daerah yang berstatus tersangka untuk mengundurkan diri ataupun diganti. Banyak elemen yang kemudian resah apabila dalam pilkada nanti diberikan pilihan pemimpin yang terbelit kasus hukum. Menyikapi keresahan tersebut muncul berbagai opsi. Misalnya muncul usulan dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk mengatur penggantian calon kepala daerah yang menjadi tersangka melalui Peraturan KPU Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Kemudian usulan dari KPK dan beberapa parpol agar pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Secara ketatanegaraan ada tiga solusi untuk mengatasi masalah calon kepala daerah tersangka dengan konsekuensi masing-masing. Pertama, mendesak DPR dan Pemerintah untuk melakukan revisi terbatas terhadap Pasal 43 dan Pasal 191 yang nantinya dapat memberikan peluang pergantian calon kepala daerah. Konsekuensinya, bahwa proses revisi ini membutuhkan waktu cukup lama karena harus diusulkan, disusun, dibahas, dan disetujui bersama. Sementara pilkada serentak akan dilaksanakan bulan Juni 2018.
Kedua, membuat PKPU untuk mengatur pergantian calon kepala daerah tersangka. Akan tetapi, solusi ini rawan mendapatkan pertentangan mengingat bahwa PKPU itu hakikatnya merupakan peraturan pelaksana (delegated legislation) untuk melaksanakan aturan di atasnya (UU Pilkada). Jika UU Pilkada tidak memberikan peluang pergantian calon kepala daerah, PKPU tidak dapat mengatur hal yang tidak diamanatkan oleh undang-undang.
Ketiga, mendesak presiden untuk mengeluarkan perppu dengan konsekuensi penetapannya harus dilaksanakan segera. Solusi yang ketiga inilah tampaknya yang perlu untuk dipertimbangkan sebagai solusi hukum yang tepat untuk mengganti calon kepala daerah tersangka.
Genting Memaksa
Perppu hakikatnya merupakan Hukum Tata Negara Darurat (Staatsnoodrecht), yaitu upaya khusus yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang sifatnya darurat dan genting. Dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, perppu dapat dikeluarkan oleh presiden ketika negara dalam keadaan genting yang memaksa. Jimly Ashiddiqqie (Ketua MK 2003-2008) memberikan tiga batasan perppu dapat keluar, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk bertindak (reasonable necessity); waktu yang tersedia terbatas (limited time) atau adanya kegentingan waktu; dan tidak tersedia alternatif lain/menurut penalaran yang wajar, alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat mengatasi keadaan sehingga penetapan perppu merupakan satu-satunya solusi.
Adapun MK sendiri pernah memberikan rambu-rambu dikeluarkannya perppu (melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009) di mana perppu dapat dikeluarkan apabila terdapat kekosongan hukum serta adanya keadaan/kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Dikaitkan dengan masalah calon kepala daerah tersangka, sebenarnya cukup alasan bagi presiden untuk mempertimbangkan mengeluarkan perppu sebagai solusi hukum yang tepat. Terdapat beberapa urgensi.
Pertama, bahwa faktanya UU Pilkada yang berlaku saat ini tidak memberikan ruang sedikit pun terhadap parpol/gabungan parpol dan calon kepala daerah untuk mengundurkan diri ataupun melakukan pergantian, meski terdapat calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Justru kalau mengundurkan diri akan diberikan sanksi sesuai UU Pilkada.
Kedua, alternatif solusi hukum lain seperti revisi UU Pilkada dengan prosedur biasa memerlukan waktu cukup lama. Padahal, pilkada akan berlangsung bulan Juni tahun ini sehingga belum memungkinkan untuk dilakukan. Begitu pun jalan untuk mengatur pergantian calon kepala daerah tersangka melalui PKPU kurang tepat mengingat bahwa derajat PKPU merupakan peraturan pelaksana dari aturan di atasnya (UU Pilkada).
Ketiga, dalam negara yang demokratis, seharusnya parpol menyediakan alternatif pilihan pemimpin yang memiliki kompetensi, integritas, serta tidak terbelit kasus hukum. Sudah cukup alasan bagi presiden untuk mengeluarkan perppu untuk mengganti calon kepala daerah yang berstatus tersangka. Rakyat harus diselamatkan dari calon pemimpin yang bermasalah dan korup. Wallahu a’lam.
(wib)