Jokowi, IMF, dan Pasal 33 UUD 1945
A
A
A
Budiharjo
Wakil Direktur Program Pascasarjana
Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)
INTERNATIONAL Monetary Fund (IMF) menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Senin (26/2). Patut dipertanyakan apa yang hendak dilakukan Dana Moneter tersebut setelah sebelumnya berhasil mendikte perekonomian Indonesia dengan kucuran utang.
Dihimpun dari beberapa media, delegasi IMF yang menemui Kepala Negara adalah Managing Director IMF Christine Lagarde, Director Asia Pacific Department IMF Changyong Rhee, Director Communication Department IMF Gerard Thomas Rice, Secretary of the IMF Jianhai Lin, Senior Resident Representative for Indonesia, John G Nelmes, dan Division Chief for Indonesia Asia Pacific Department IMF Luis E Breuer.
Ketika Indonesia diterpa krisis moneter 1998, IMF datang mengucurkan bantuan utang. Pinjaman yang diberikan kepada Indonesia dibarengi dengan sejumlah pendiktean kebijakan nasional, salah satunya pengebirian peran Bulog sebagai stabilitator pangan. Kita ingat foto Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus yang melipat tangan menyaksikan Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan IMF. Penanda tanganan itu menjadi tonggak sejarah dan berperan sangat vital merusak sistem produksi pangan di Tanah Air.
Salah satu resep IMF yang tertuang dalam LoI adalah menghapus peran Bulog sebagai lembaga sentral dalam stabilisasi harga pangan. Bahkan, Bulog tidak boleh lagi menguasai distribusi dan produksi beras sebagai pangan utama masyarakat Indonesia. Akibatnya, Bulog tidak mampu lagi menjaga mekanisme harga dasar, harga atas, manajemen stok, dan operasi pasar. Padahal itu yang dulunya efektif menstabilkan harga pangan.
Pendiktean ini membuktikan Indonesia gagal menjaga kedaulatan di bidang ekonomi, khususnya pangan. Kehadiran IMF kali ini tidak boleh membuat Indonesia kembali terperosok ke kubangan utang dan mengikuti dikte yang coba ditebar agen-agen IMF dengan agenda liberalisme dan kapitalismenya.
IMF dengan gerbong kekuatannya tidak akan peduli dengan kedaulatan ekonomi rakyat. Bahkan, resep IMF setelah Indonesia diterjang krisis pada 1997-1998, membuat negara kian terperosok pada sistem ekonomi liberal dan kapitalistik. Industri-industri substitusi impor yang awalnya dibanggakan dan disanjung hampir semuanya mengalami kontraksi negatif sangat besar.
Kondisi tersebut sebenarnya berbanding terbalik jika menilik laporan Bank Dunia pada Mei 1997. Sebulan sebelum krisis itu, perekonomian Indonesia sesungguhnya tidaklah terlalu buruk. Dalam buku yang berjudul “Indonesia, Sustaining High Growth with Equity”, perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang baik.
PDB meningkat 7,8% pada 1996 dan tingkat inflasi turun menjadi 6,47%. Investasi langsung dalam dan luar negeri semakin marak, surplus fiskal yang besar bisa dipertahankan, dan meskipun berbunga tinggi, pembayaran utang luar negeri pemerintah terus dilaksanakan. Cadangan devisa resmi naik sebesar USD4 miliar selama 1996-1997.
Cuaca Tanah Air yang “terang benderang” tersebut tiba-tiba berubah drastis. Tak hanya hujan lebat, tetapi juga gelap. Pertumbuhan tinggi langsung mengalami kontraksi dan jatuh pada keadaan depresi (-13 persen). Inflasi melambung cepat mencapai 78%. Nilai tukar uang yang semula berkisar Rp2.500 per dolar AS, pada puncaknya mencapai Rp17.000 per dolar AS. Dunia perbankan ambruk, utang luar negeri naik tajam, pengangguran meningkat, dan kemiskinan membengkak. Kehancuran ekonomi Indonesia saat itu hampir mirip dengan depresi ekonomi yang terjadi di Amerika dan Inggris pada tahun 1930-an.
Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, tentu tidak berlebihan jika kita mewaspadai saran-saran IMF meski dengan alasan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pada 2017 dinilai banyak pihak sebagai stagnasi ekonomi. Daya beli masyarakat yang menurun juga menjadi faktor melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Apalagi Presiden Jokowi lebih memfokuskan pembangunan infrastruktur di daerah-daerah. Sayangnya, program ini terhambat dengan banyaknya kecelakaan kerja di lapangan. Padahal pembangunan infrastruktur dapat menyerap pekerjaan dan dalam jangka panjang bisa memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara positif.
Jokowi harus berani menunjukkan kepribadian yang teguh atas dasar kedaulatan bangsa dan negara. Indonesia memiliki ideologi Pancasila yang berhadap-hadapan dengan globalisasi kapitalistik-imperialistik. Perekonomian Indonesia menganut kedaulatan rakyat (people sovereignity) sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 mengajarkan kepada masyarakat Indonesia bahwa kepemilikan yang besar dikuasai negara untuk kesejahteraan dan kemakmuran orang banyak. Dalam pasal itu juga tercantum dasar demokrasi ekonomi produksi dikerjakan oleh semua dan untuk semua di bawah pimpinan anggota-anggota masyarakat yang telah dipilih secara demokratis. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang.
Dalam Pasal 33 tercantum perekonomian atas dasar demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup rakyat banyak harus dikuasai negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan individu yang berkuasa atau mereka yang dekat dengan kekuasaan.
IMF telah menunjukkan bahwa resep mereka dalam ekonomi adalah menghentikan subsidi dan menyerahkan pada mekanisme pasar. Padahal ini sangat bertentangan dengan konstitusi kita. Urusan pangan saja, IMF memereteli peran Bulog yang mengakibatkan mekanisme distribusi logistik kita semakin tidak terkendali. Penyebabnya adalah pasar dijadikan sebagai kaisar yang kita harus tunduk kepadanya.
Kita berharap Jokowi mampu menegakkan kepala dan tidak serta-merta tunduk atas apa yang akan diberikan IMF kepada Indonesia. Semoga tidak lagi terulang di mana Kepala Negara kita tunduk menandatangani perjanjian dengan pimpinan IMF sambil melipat tangan tanda kesombongannya.
Wakil Direktur Program Pascasarjana
Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)
INTERNATIONAL Monetary Fund (IMF) menemui Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Senin (26/2). Patut dipertanyakan apa yang hendak dilakukan Dana Moneter tersebut setelah sebelumnya berhasil mendikte perekonomian Indonesia dengan kucuran utang.
Dihimpun dari beberapa media, delegasi IMF yang menemui Kepala Negara adalah Managing Director IMF Christine Lagarde, Director Asia Pacific Department IMF Changyong Rhee, Director Communication Department IMF Gerard Thomas Rice, Secretary of the IMF Jianhai Lin, Senior Resident Representative for Indonesia, John G Nelmes, dan Division Chief for Indonesia Asia Pacific Department IMF Luis E Breuer.
Ketika Indonesia diterpa krisis moneter 1998, IMF datang mengucurkan bantuan utang. Pinjaman yang diberikan kepada Indonesia dibarengi dengan sejumlah pendiktean kebijakan nasional, salah satunya pengebirian peran Bulog sebagai stabilitator pangan. Kita ingat foto Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus yang melipat tangan menyaksikan Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan IMF. Penanda tanganan itu menjadi tonggak sejarah dan berperan sangat vital merusak sistem produksi pangan di Tanah Air.
Salah satu resep IMF yang tertuang dalam LoI adalah menghapus peran Bulog sebagai lembaga sentral dalam stabilisasi harga pangan. Bahkan, Bulog tidak boleh lagi menguasai distribusi dan produksi beras sebagai pangan utama masyarakat Indonesia. Akibatnya, Bulog tidak mampu lagi menjaga mekanisme harga dasar, harga atas, manajemen stok, dan operasi pasar. Padahal itu yang dulunya efektif menstabilkan harga pangan.
Pendiktean ini membuktikan Indonesia gagal menjaga kedaulatan di bidang ekonomi, khususnya pangan. Kehadiran IMF kali ini tidak boleh membuat Indonesia kembali terperosok ke kubangan utang dan mengikuti dikte yang coba ditebar agen-agen IMF dengan agenda liberalisme dan kapitalismenya.
IMF dengan gerbong kekuatannya tidak akan peduli dengan kedaulatan ekonomi rakyat. Bahkan, resep IMF setelah Indonesia diterjang krisis pada 1997-1998, membuat negara kian terperosok pada sistem ekonomi liberal dan kapitalistik. Industri-industri substitusi impor yang awalnya dibanggakan dan disanjung hampir semuanya mengalami kontraksi negatif sangat besar.
Kondisi tersebut sebenarnya berbanding terbalik jika menilik laporan Bank Dunia pada Mei 1997. Sebulan sebelum krisis itu, perekonomian Indonesia sesungguhnya tidaklah terlalu buruk. Dalam buku yang berjudul “Indonesia, Sustaining High Growth with Equity”, perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang baik.
PDB meningkat 7,8% pada 1996 dan tingkat inflasi turun menjadi 6,47%. Investasi langsung dalam dan luar negeri semakin marak, surplus fiskal yang besar bisa dipertahankan, dan meskipun berbunga tinggi, pembayaran utang luar negeri pemerintah terus dilaksanakan. Cadangan devisa resmi naik sebesar USD4 miliar selama 1996-1997.
Cuaca Tanah Air yang “terang benderang” tersebut tiba-tiba berubah drastis. Tak hanya hujan lebat, tetapi juga gelap. Pertumbuhan tinggi langsung mengalami kontraksi dan jatuh pada keadaan depresi (-13 persen). Inflasi melambung cepat mencapai 78%. Nilai tukar uang yang semula berkisar Rp2.500 per dolar AS, pada puncaknya mencapai Rp17.000 per dolar AS. Dunia perbankan ambruk, utang luar negeri naik tajam, pengangguran meningkat, dan kemiskinan membengkak. Kehancuran ekonomi Indonesia saat itu hampir mirip dengan depresi ekonomi yang terjadi di Amerika dan Inggris pada tahun 1930-an.
Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, tentu tidak berlebihan jika kita mewaspadai saran-saran IMF meski dengan alasan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pada 2017 dinilai banyak pihak sebagai stagnasi ekonomi. Daya beli masyarakat yang menurun juga menjadi faktor melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Apalagi Presiden Jokowi lebih memfokuskan pembangunan infrastruktur di daerah-daerah. Sayangnya, program ini terhambat dengan banyaknya kecelakaan kerja di lapangan. Padahal pembangunan infrastruktur dapat menyerap pekerjaan dan dalam jangka panjang bisa memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara positif.
Jokowi harus berani menunjukkan kepribadian yang teguh atas dasar kedaulatan bangsa dan negara. Indonesia memiliki ideologi Pancasila yang berhadap-hadapan dengan globalisasi kapitalistik-imperialistik. Perekonomian Indonesia menganut kedaulatan rakyat (people sovereignity) sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 mengajarkan kepada masyarakat Indonesia bahwa kepemilikan yang besar dikuasai negara untuk kesejahteraan dan kemakmuran orang banyak. Dalam pasal itu juga tercantum dasar demokrasi ekonomi produksi dikerjakan oleh semua dan untuk semua di bawah pimpinan anggota-anggota masyarakat yang telah dipilih secara demokratis. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang.
Dalam Pasal 33 tercantum perekonomian atas dasar demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup rakyat banyak harus dikuasai negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan individu yang berkuasa atau mereka yang dekat dengan kekuasaan.
IMF telah menunjukkan bahwa resep mereka dalam ekonomi adalah menghentikan subsidi dan menyerahkan pada mekanisme pasar. Padahal ini sangat bertentangan dengan konstitusi kita. Urusan pangan saja, IMF memereteli peran Bulog yang mengakibatkan mekanisme distribusi logistik kita semakin tidak terkendali. Penyebabnya adalah pasar dijadikan sebagai kaisar yang kita harus tunduk kepadanya.
Kita berharap Jokowi mampu menegakkan kepala dan tidak serta-merta tunduk atas apa yang akan diberikan IMF kepada Indonesia. Semoga tidak lagi terulang di mana Kepala Negara kita tunduk menandatangani perjanjian dengan pimpinan IMF sambil melipat tangan tanda kesombongannya.
(thm)