Penyelundupan Kepentingan Dalam Isu Agama

Rabu, 21 Februari 2018 - 08:00 WIB
Penyelundupan Kepentingan...
Penyelundupan Kepentingan Dalam Isu Agama
A A A
Antoni Putra Peneliti Integritas/ Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas

MERIAHNYA pesta demokrasi sering menenggelamkan hakikat kontestasi itu sendiri. Substansi dari pesta demokrasi adalah memilih pemimpin atau wakil yang akan mewakili kepentingan masyarakat di pemerintahan. Urgensinya bukan hanya menjadi milik negara, juga harapan bagi rakyat yang merupakan unsur terpenting dalam demokrasi. Karena itu, mutlak diperlukan niat baik dari semua pihak agar mendapatkan pemimpin ataupun wakil yang kompeten dan mampu mengelola negara dengan baik.

Namun, eksistensi dari sebuah pesta demokrasi di negara ini sering tercoreng oleh adanya benturan antara kepentingan dengan agama. Tidak jarang, isu agama dijadikan kendaraan untuk melancarkan kepentingan politik demi menjadi pemenang. Sementara itu, urgensi untuk mencari pemimpin dan wakil yang berkualitas diabaikan.

Agama dan Politik Pembicaraan tentang hubungan politik dan agama seolah menjadi isu yang tidak pernah habis dibicarakan. Ada kalangan yang menganggap bahwa agama tidak bisa dilepaskan dari politik, ada pula yang menyebut agama dan politik harus dipisahkan.

Pembicaraan politik dan agama ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Istilah "politik" pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles (384-322 SM). Secara umum, politik (polis=negara) merupakan kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses pencapaian tujuan. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari oleh manusia. Kecenderungan itu, antara lain saat seseorang atau kelompok mencoba untuk menentukan posisinya atau berusaha memengaruhi pandangannya agar diterima orang lain.

Sementara agama cenderung mengatur hubungan antara manusia dan sang Maha-pencipta. Dalam agama juga diatur hubungan antara manusia dan manusia serta manusia dengan alam. Pada dasarnya, agama mengatur norma-norma kehidupan, termasuk tentang moral dan etika. Dengan demikian, agama juga mengatur tentang politik. Kedua aspek ini pada praktiknya menyatu. Terlebih dalam sejarah Islam, agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai sekarang tidak terpisahkan.

Di kalangan umat Kristiani, dahulu Paus juga berperan sebagai pemimpin spiritual sekaligus pemimpin negara. Barulah pada abad pertengahan kekuasaan negara dan kekuasaan keagamaan itu dipisahkan. Paus hanya memiliki kedudukan sebagai pemimpin spiritual, dan tidak lagi memimpin negara. Pemisahan kekuasaan tersebut dikenal dengan istilah "teori dua pedang".

Jika berkaca kepada sejarah, tentu agama dan politik itu merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Namun, jika kita melihat ke dalam konsep negara Indonesia, politik dan agama sejatinya pun tidak terpisah. Hanya saja, karena Indonesia merupakan negara yang majemuk dengan memiliki banyak agama, maka masalah agama tidak tepat bila dijadikan tumpuan politik. Sebab, dengan diikutkannya agama dalam politik, itu dapat menimbulkan kekacauan dan perpecahan.

Ulah Politisi Kecenderungan untuk menghadapkan agama dengan isu politik biasanya hadir sebelum pesta demokrasi untuk memilih pemimpin berlangsung. Isu agama seolah dijadikan "alat" untuk membolak-balikkan fakta yang dapat mengubah kekuatan politik.

Sebagaimana yang biasa terjadi, isu agama cenderung lebih ampuh dari isu apa pun dalam urusan meraih simpati. Keadaan yang demikian pula yang sering dimanfaatkan politisi untuk memuluskan jalan untuk menggapai tujuan politik yang dibangunnya.

Politisi sebagai motor penggerak pesta demokrasi seolah melegalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Mereka seolah mengabaikan kepentingan bersama guna untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan dengan menyelundupkan kepentingan politik dalam isu agama, untuk mendapat dukungan kelompok mayoritas.

Secara harfiah, memang agama tidak dapat dipisahkan dengan politik, tapi bukan berarti pula agama dapat dijadikan "alat" untuk menggapai tujuan tertentu. Agama tidak boleh dijadikan alasan untuk membenarkan adanya unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam kontestasi pesta pemilihan pemimpin dan wakil rakyat. Agama harus dijadikan fondasi iman dalam berpolitik. Dengan begitu, kesalahan faktual tentang kepemimpinan yang berlawanan dengan syariat agama tidak akan terjadi.

Sejatinya, antara agama dan politik di Indonesia terdapat tembok pembatas berupa kesadaran bernegara tentang nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan agama tertentu. Oleh sebab itu, isu agama hendaknya tidak dijadikan sebagai "alat" politik. Melainkan, agama harus dijadikan sebagai landasan moral untuk membangun negara melalui mekanisme politik yang baik.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0830 seconds (0.1#10.140)