Memperluas Cakupan Kejahatan Seksual
A
A
A
Seto Mulyadi
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia,
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
PRESIDEN Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mempunyai Nawacita. Tercantum pada rincian poin keempat Nawacita, perlindungan anak merupakan salah satu agenda prioritas pemerintahan Jokowi-JK. Dari Istana Jokowi menyebut kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia segendang-sepenarian. Lembaga tersebut mencanangkan Indonesia darurat kejahatan seksual terhadap anak. Status menggelegar yang seolah ingin mengatakan bahwa Indonesia telah gagal melindungi anak-anak, sekaligus menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak aman bagi anak-anak.
Nawacita, penetapan kejahatan luar biasa, dan pengumuman situasi darurat, semuanya serta-merta membangkitkan bayangan tentang anak-anak yang nelangsa. Anak dianiaya secara seksual, jadi korban kesadisan, baik oleh orang asing maupun orang yang dikenal baik, dizalimi hingga luka parah, dicabut nyawanya, distigma kotor, dan rentetan kepedihan lain. Pertanyaannya, mengapa kejahatan seksual terasosiasi hanya dengan cedera dan darah?
Ada satu ketidaksenonohan seksual terhadap anak yang bisa dibilang terpinggirkan. Perlakuan keji secara seksual yang memang tidak mengakibatkan cucuran darah, apalagi lepasnya nyawa dari raga, namun tidak kalah kadar keburukannya. Hal dimaksud yaitu penyesatan orientasi seksual anak.
Manusia, yang fitrahnya adalah pencinta lawan jenis kelamin, justru sejak dini telah dikondisikan untuk menerima bahkan menghidupkan orientasi seksual menyimpang. Kodrat heteroseksual dirusak sedemikian rupa, termasuk dengan cara-cara lunak, agar manusia sejak kanak-kanak mengembangkan kecenderungan homoseksual.
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia memiliki sejumlah pengalaman disertakan Polri untuk menyoroti serta menangani masalah serius yang satu ini.
Kebejatan itulah yang tidak membuat anak kesakitan akibat luka badan, namun sejatinya merusak anak secara psikis dan seksual. Kekejian itulah yang seyogianya juga terbayangkan, bahkan seharusnya kita sepakati bersama sebagai salah satu bentuk kejahatan seksual terhadap anak.
Kaum lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) mengampanyekan orientasi seksual menyimpang mereka secara masif, terorganisasi, penuh strategi. Kejahatan sedemikian rupa tidak bisa diredam dengan pendekatan hit and run. Butuh napas panjang untuk bertarung melawan kampanye LGBT.
Sayangnya, betapa pun kita sudah satu suara bahwa kampanye orientasi seksual menyimpang adalah marabahaya, silakan tengok masing-masing: seberapa sering mimbar di rumah-rumah ibadah mengingatkan umat beragama tentang kengerian itu? Seberapa gencar forum-forum kepengasuhan mengingatkan para ayah dan ibu akan kerusakan itu?
Seberapa berani masyarakat dan otoritas penegakan hukum bekerja terpadu mencegah maupun menghentikan kegiatan-kegiatan yang memuat kampanye LGBT? Padahal, sebagai sebuah gerakan berskala lintas negara, kelompok-kelompok LGBT di Tanah Air juga akan menyasar anak-anak Indonesia sebagai incaran dalam rangka perluasan jumlah komunitas mereka.
Inti kampanye mereka adalah menyimpangkan persepsi khalayak luas bahwa sejak usia sangat belia pun anak-anak sudah bisa memiliki kecenderungan ketertarikan seksual terhadap sesama jenis kelamin. Dan, karena anak-anak adalah manusia yang bersih dari dosa, maka bertumbuh kembangnya kecenderungan sedari dini tersebut akan dikatakan sebagai kondisi yang normal belaka.
Atas dasar itu, mari sekali lagi kita dudukkan perilaku manusia dalam bingkai pemahaman yang jernih. Psikologi berteori, perilaku adalah hasil interaksi antara faktor bawaan (disposisi, genetik) dan faktor lingkungan (termasuk belajar sosial). Selanjutnya, fondasi berpikir itu dipakai untuk mencermati fenomena kaum homoseksual, sekaligus menimbang-nimbang apa yang sepatutnya dikenakan terhadap mereka.
Temuan mutakhir yang dilakukan oleh Michael Bailey (2013) menemukan adanya jejak genetik yang dimiliki para lelaki homoseksual, yaitu sebuah bagian dari kromosom yang diberi kode Xq28. Bailey juga menyimpulkan bahwa pengaruh faktor disposisi (genetika) itu terhadap pembentukan orientasi homoseksual adalah maksimal 40%.
Mengacu pada hasil riset tersebut, berarti masih ada sedikitnya 60% lagi, yaitu faktor stimulasi lingkungan, yang juga memengaruhi, bahkan lebih dominan terhadap pembentukan orientasi seksual menyimpang tersebut. Temuan Bailey mematahkan seluruh klaim bahwa menjadi homoseksual adalah sesuatu yang terkodratkan (given).
Dalih bahwa Tuhan yang mengukir garis tangan seseorang untuk berketertarikan seksual terhadap sesama jenis kelamin, dengan demikian sah dianggap sebagai sampah. Sampah karena itu sama saja dengan mengambinghitamkan Tuhan sebagai biang keladi kebejatan manusia.
Menjadi orang dengan orientasi seksual yang salah, antara lain homoseksual, ternyata lebih ditentukan oleh proses belajar sosial. Dengan demikian, siapa pun yang ingin melakukan proses belajar ulang pasti dapat menjadi heteroseksual. Mengapa pasti? Tak lain karena menjadi heteroseksual adalah satu-satunya kodrat ketertarikan yang Tuhan tanam ke dalam hati insan, dan kodrat itu niscaya adalah kebaikan. Alhasil, tidak ada alasan untuk bertahan pada orientasi homoseksual.
Dengan demikian, isunya sekarang adalah pada kepercayaan diri masyarakat Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa untuk menentang homoseksual. Termasuk kepercayaan diri untuk memidanakan mereka secara berjenjang. Pertama, jika orang homoseksual diam sehingga kita tidak mengetahui abnormalitas mereka, maka apa boleh buat. Kedua, apabila mereka angkat suara dan ingin dibantu menjadi heteroseksual, negara akan mendukung sebagaimana bantuan diberikan bagi para penyalah guna narkoba yang menyerahkan diri. Namun ketiga manakala mereka bersuara dan mengampanyekan LGBT sebagai sesuatu yang normal, mereka harus dilawan dengan cara-cara sesuai hukum.
Di luar ranah hukum, Himpunan Psikologi Indonesia harus tampil lebih percaya diri, menegakkan kepala, membidangkan bahu. Kenapa begitu? Karena, tak lain, organisasi itulah yang berada pada posisi sangat strategis menangkal penyebaran paradigma-paradigma yang menormalkan LGBT dari kelas-kelas psikologi ke ruang publik.
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia,
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
PRESIDEN Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mempunyai Nawacita. Tercantum pada rincian poin keempat Nawacita, perlindungan anak merupakan salah satu agenda prioritas pemerintahan Jokowi-JK. Dari Istana Jokowi menyebut kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia segendang-sepenarian. Lembaga tersebut mencanangkan Indonesia darurat kejahatan seksual terhadap anak. Status menggelegar yang seolah ingin mengatakan bahwa Indonesia telah gagal melindungi anak-anak, sekaligus menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak aman bagi anak-anak.
Nawacita, penetapan kejahatan luar biasa, dan pengumuman situasi darurat, semuanya serta-merta membangkitkan bayangan tentang anak-anak yang nelangsa. Anak dianiaya secara seksual, jadi korban kesadisan, baik oleh orang asing maupun orang yang dikenal baik, dizalimi hingga luka parah, dicabut nyawanya, distigma kotor, dan rentetan kepedihan lain. Pertanyaannya, mengapa kejahatan seksual terasosiasi hanya dengan cedera dan darah?
Ada satu ketidaksenonohan seksual terhadap anak yang bisa dibilang terpinggirkan. Perlakuan keji secara seksual yang memang tidak mengakibatkan cucuran darah, apalagi lepasnya nyawa dari raga, namun tidak kalah kadar keburukannya. Hal dimaksud yaitu penyesatan orientasi seksual anak.
Manusia, yang fitrahnya adalah pencinta lawan jenis kelamin, justru sejak dini telah dikondisikan untuk menerima bahkan menghidupkan orientasi seksual menyimpang. Kodrat heteroseksual dirusak sedemikian rupa, termasuk dengan cara-cara lunak, agar manusia sejak kanak-kanak mengembangkan kecenderungan homoseksual.
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia memiliki sejumlah pengalaman disertakan Polri untuk menyoroti serta menangani masalah serius yang satu ini.
Kebejatan itulah yang tidak membuat anak kesakitan akibat luka badan, namun sejatinya merusak anak secara psikis dan seksual. Kekejian itulah yang seyogianya juga terbayangkan, bahkan seharusnya kita sepakati bersama sebagai salah satu bentuk kejahatan seksual terhadap anak.
Kaum lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) mengampanyekan orientasi seksual menyimpang mereka secara masif, terorganisasi, penuh strategi. Kejahatan sedemikian rupa tidak bisa diredam dengan pendekatan hit and run. Butuh napas panjang untuk bertarung melawan kampanye LGBT.
Sayangnya, betapa pun kita sudah satu suara bahwa kampanye orientasi seksual menyimpang adalah marabahaya, silakan tengok masing-masing: seberapa sering mimbar di rumah-rumah ibadah mengingatkan umat beragama tentang kengerian itu? Seberapa gencar forum-forum kepengasuhan mengingatkan para ayah dan ibu akan kerusakan itu?
Seberapa berani masyarakat dan otoritas penegakan hukum bekerja terpadu mencegah maupun menghentikan kegiatan-kegiatan yang memuat kampanye LGBT? Padahal, sebagai sebuah gerakan berskala lintas negara, kelompok-kelompok LGBT di Tanah Air juga akan menyasar anak-anak Indonesia sebagai incaran dalam rangka perluasan jumlah komunitas mereka.
Inti kampanye mereka adalah menyimpangkan persepsi khalayak luas bahwa sejak usia sangat belia pun anak-anak sudah bisa memiliki kecenderungan ketertarikan seksual terhadap sesama jenis kelamin. Dan, karena anak-anak adalah manusia yang bersih dari dosa, maka bertumbuh kembangnya kecenderungan sedari dini tersebut akan dikatakan sebagai kondisi yang normal belaka.
Atas dasar itu, mari sekali lagi kita dudukkan perilaku manusia dalam bingkai pemahaman yang jernih. Psikologi berteori, perilaku adalah hasil interaksi antara faktor bawaan (disposisi, genetik) dan faktor lingkungan (termasuk belajar sosial). Selanjutnya, fondasi berpikir itu dipakai untuk mencermati fenomena kaum homoseksual, sekaligus menimbang-nimbang apa yang sepatutnya dikenakan terhadap mereka.
Temuan mutakhir yang dilakukan oleh Michael Bailey (2013) menemukan adanya jejak genetik yang dimiliki para lelaki homoseksual, yaitu sebuah bagian dari kromosom yang diberi kode Xq28. Bailey juga menyimpulkan bahwa pengaruh faktor disposisi (genetika) itu terhadap pembentukan orientasi homoseksual adalah maksimal 40%.
Mengacu pada hasil riset tersebut, berarti masih ada sedikitnya 60% lagi, yaitu faktor stimulasi lingkungan, yang juga memengaruhi, bahkan lebih dominan terhadap pembentukan orientasi seksual menyimpang tersebut. Temuan Bailey mematahkan seluruh klaim bahwa menjadi homoseksual adalah sesuatu yang terkodratkan (given).
Dalih bahwa Tuhan yang mengukir garis tangan seseorang untuk berketertarikan seksual terhadap sesama jenis kelamin, dengan demikian sah dianggap sebagai sampah. Sampah karena itu sama saja dengan mengambinghitamkan Tuhan sebagai biang keladi kebejatan manusia.
Menjadi orang dengan orientasi seksual yang salah, antara lain homoseksual, ternyata lebih ditentukan oleh proses belajar sosial. Dengan demikian, siapa pun yang ingin melakukan proses belajar ulang pasti dapat menjadi heteroseksual. Mengapa pasti? Tak lain karena menjadi heteroseksual adalah satu-satunya kodrat ketertarikan yang Tuhan tanam ke dalam hati insan, dan kodrat itu niscaya adalah kebaikan. Alhasil, tidak ada alasan untuk bertahan pada orientasi homoseksual.
Dengan demikian, isunya sekarang adalah pada kepercayaan diri masyarakat Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa untuk menentang homoseksual. Termasuk kepercayaan diri untuk memidanakan mereka secara berjenjang. Pertama, jika orang homoseksual diam sehingga kita tidak mengetahui abnormalitas mereka, maka apa boleh buat. Kedua, apabila mereka angkat suara dan ingin dibantu menjadi heteroseksual, negara akan mendukung sebagaimana bantuan diberikan bagi para penyalah guna narkoba yang menyerahkan diri. Namun ketiga manakala mereka bersuara dan mengampanyekan LGBT sebagai sesuatu yang normal, mereka harus dilawan dengan cara-cara sesuai hukum.
Di luar ranah hukum, Himpunan Psikologi Indonesia harus tampil lebih percaya diri, menegakkan kepala, membidangkan bahu. Kenapa begitu? Karena, tak lain, organisasi itulah yang berada pada posisi sangat strategis menangkal penyebaran paradigma-paradigma yang menormalkan LGBT dari kelas-kelas psikologi ke ruang publik.
(kri)