Pilkada (Semestinya) Asyik
A
A
A
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi Universitas Padjadjaran
HINGAR-bingar menjelang pemilihan kepala daerah serentak sudah mulai terasa. Lihat saja, spanduk dan baliho semakin bersemangat mengepung ibu kota provinsi, kota, dan kabupaten. Tempelan-tempelan foto kandidat melekat naif di pohon-pohon pinggir jalan sampai pelosok-pelosok kota.
Beda tipis, bahkan seolah berlomba dengan iklan sedot WC atau pijat tunanetra panggilan, misalnya. Headline dan judul-judul berita sudah mulai banyak yang bernuansa kritik deklaratif alias mengkritik untuk memperlihatkan niat pencalonan kandidat. Solusi-solusi berbagai persoalan seolah melekat di tiap kandidat, persis seperti malaikat-malaikat yang mendadak muncul ke pelataran publik.
Sekalipun sebenarnya terkadang mirip tukang obat yang mendadak buka tikar di trotoar, lalu berteriak pakai toa menjajakan berbagai jenis obat panu dan kudis dengan pembukaan sulap kelas recehan. Lantas, apakah semua itu menambah meriahnya kehidupan daerah? Di mata saya, jawabannya tidak. Justru situasi kota semakin kehilangan jiwa dan roh.
Beberapa hari saya sempatkan diri untuk berkeliling beberapa daerah, saya merasa bahwa lokasi-lokasi di mana pilkada serentak akan dilangsungkan terasa semakin kurang asyik menjelang pemilihan.
Dengan bacot lain, daerah semakin kehilangan daya magis edukatif intelektualnya.
Ternyata selama ini, demokrasi elektoral hanya sebatas itu dimaknai oleh banyak tokoh politik lokal. Perang baliho, perang foto, ataupun adu lantang dalam deklarasi, justru makin membuat saya berintrospeksi diri, ada jiwa dan roh politik demokrasi yang hilang.
Misalnya, banyak yang mengaku calon muda, pembaru, tapi justru ikut membuat suasana menjelang pilkada makin tidak asyik, makin tidak mendidik, tidak muda, dan makin hambar nilai. Narasi politik semakin tidak berwibawa. Aktor-aktor politik justru masih menganggap demokrasi elektoral hanya sebatas itu.
Risikonya, polah semacam ini hanya membangun citra bahwa demokrasi adalah barang mahal. Arti lainnya, kepemimpinan menjadi berbanding lurus dengan keuangan dan kekayaan. Dan arti naifnya, tidak ada yang benar-benar layak menjadi pemimpin karena semuanya ternyata hanya dipoles dengan angka-angka tertentu.
Barang siapa yang mampu mencumbui mata publik dengan baliho-baliho, maka layak dianggap sebagai salah satu kandidat potensial. Barang siapa yang mampu bertingkah aneh dan lucu, berani one man show berlagak seperti malaikat tanpa sayap, kemudian menjadi headline media-media, maka dianggap sudah memenuhi kriteria.
Walhasil, demokrasi elektoral hanya sebatas itu. Bahkan yang bergelar akademis ini itu, yang akhirnya memutuskan untuk ikut terlibat kontestasi, tidak membawa dampak psikologis apa pun kepada publik, bahkan gagal membuat demokrasi elektoral di daerah menjadi sebuah proses politik yang asyik, menarik, dan menggugah hati pemilih.
Dalam perspektif elektoral umum, sebagaimana dituliskan oleh pakar pemilihan Harvard University, Profesor Pippa Noris, pemilihan sejatinya dilakukan hanya untuk dua hal. Pertama untuk memajukan atau menempatkan calon-calon pemimpin terbaik plus berkualitas ke pentas kekuasaan.
Kedua untuk menggantikan pemimpin dan pemegang kekuasaan yang tidak berkualitas bin tidak berbuat apa-apa selama duduk di panggung kekuasaan. Bahkan untuk fungsi yang kedua, Pippa Noris menulis dengan kesan yang sangat kuat, yakni “To kick the rascals out“ alias untuk menendang para bajingan agar keluar dari pentas politik.
Jadi, jika menurut Anda ada calon yang lebih baik, berkualitas, dan mampu memenuhi harapan ketimbang yang sedang bercokol saat ini, maka perjuangkanlah beliau untuk menggantikan yang sudah ada. Tapi jika menurut Anda yang sudah ada alias yang sedang berkuasa masih yang terbaik, maka silakan perjuangkan beliau untuk tetap stay tuned di posisi semula.
Namun, mari bangun prosesnya dengan cara dan dinamika yang membanggakan. Bangun prosesnya yang menyadarkan publik bahwa kedaulatan yang sebenarnya adalah ada di tangan publik, bukan di tangan para elite yang senangnya menari-nari atau malah memilih diam dalam seribu citra buatan.
Jadi saya kira, menjadi tugas kita bersama untuk membuat prosesnya menjadi asyik. Menjadi tugas kita untuk memastikan semua pelaku berada dalam level playing field yang sama, dan membuat semua step prosesnya menjadi step-step yang menggugah hati publik untuk terlibat lebih jauh, bukan malah memperkecil keterlibatan publik (men-downsizing partisipasi publik).
Proses politik demokrasi elektoral yang diniatkan untuk mengecilkan tingkat partisipasi publik, agar hanya segmen tertentu yang menguasai panggung pemilih adalah kesengajaan yang tidak bermoral di dalam demokrasi. Jangan bangga dengan pemimpin yang lahir dari tingkat partisipasi yang rendah karena secara prinsipiil, kualitas legitimasinya pun tentu sangat lemah pula.
Dan, tidak perlu memolakan persepsi publik bahwa urusan kepemimpinan hanya urusan bagaimana seorang pemimpin menonjolkan kepribadiannya. Seorang pemimpin politik terikat dengan semua masyarakat yang dipimpinnya, bukan hanya dengan pemilih yang mencoblosnya di kotak suara. Bahkan yang lebih berat, seorang pemimpin harus punya kapasitas untuk mengorkestrasi masyarakatnya, kemudian menjadikannya sebagai satu kesatuan kekuatan untuk membangun.
Mengapa saya katakan urusan kepemimpinan bukan sekadar urusan pribadi si A yang baik atau kepribadian si B yang menarik? Karena begitu urgen dan signifikannya urusan keterikatan moral dan interkoneksi politik seorang pemimpin dengan masyarakatnya. Yang lebih penting dari urusan kepribadian adalah bahwa seorang pemimpin politik harus memiliki tiga kapasitas sekaligus, yakni mobilisasi, orkestrasi, dan konsolidasi (Stanley A Renson, Journal of Political Quarterly, 2008 ).
Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai energi lebih untuk menggerakkan (mobilisation) masyarakatnya menuju visi, misi, dan tujuan sang pemimpin, bukan punya energi lebih untuk berurusan dengan kepribadiannya sendiri. Seorang pemimpin kemudian harus mampu menyelaraskan serta mengharmoniskan semua perbedaan yang ada, kekuatan dan kelemahan yang ada di dalam masyarakatnya (orchestration), bukan malah mempertinggi sekat-sekat perbedaan di dalam masyarakat. Dan yang terakhir, seorang pemimpin harus mampu menyatukan semua itu ke dalam satu kesepahaman untuk menggapai tujuan bersama (consolidation).
Terakhir, secara profesional, pemilihan harus diletakkan di atas pelataran kompetisi yang baik dan sehat. Kompetisi yang baik tentu akan menghasilkan pemimpin yang bermutu bin benar-benar teruji, bukan pemimpin yang hanya ingin terlihat teruji.
Dan, kompetisi yang baik adalah kompetisi yang membentangkan persaingan kualitas kepemimpinan, mulai rekam jejak, integritas, kapasitas intelektual, dan kapasitas responsif politiknya terhadap kepentingan publik alias bukan kontes selebritas berbalut pencitraan kelas makcomblang, tapi tak berisi.
Kompetisi yang baik tidak berarti tidak boleh saling kritik, apalagi kepada petahana. Jangan terlalu mendramatisir pemeo “naikan saja layangan kita, jangan ganggu layangan orang lain”. Bagaimana mungkin kita bisa berkata bahwa pilkada adalah ajang kompetisi kemampuan, jika kemampuan masing-masing tidak disandingkan, ide masing-masing tidak dibenturkan, rekam jejak masing-masing tidak dibanding-bandingkan.
Pilkada bukan ajang mencari Miss Indonesia yang akhirnya hanya untuk promo ini dan itu atau menjadi simbol dari aktivitas charity tertentu. Pilkada adalah ajang untuk mencari pemimpin. Dan untuk melahirkan pemimpin, arena harus dibangun sedemikian rupa agar semua kemampuan dan kelemahannya tersandingkan dengan transparan.
Sederhana tujuannya, yakni agar semua pemilih memiliki akses yang lengkap kepada semua informasi yang dibutuhkan. Jika si A tidak teruji lebih baik di mata pemilih ketimbang si B, lantas mengapa harus si A yang jadi pemimpin. Perkaranya setelah itu adalah soal aturan kompetisi. Mana jurus yang boleh, mana yang tidak boleh. Semisal, tidak boleh tendang kelamin kompetitor, tidak boleh gigit telinga kompetitor layaknya Tyson, tidak boleh memfitnah kompetitor, dan lain-lain.
Jadi ayolah, kalau takut layangan tidak naik, ya tidak usah main layangan. Kalau takut layangannya diganggu orang, ya tidak usah main layangan. Dan kalau tidak pede untuk ikut kompetisi layangan, ya sekali lagi, tidak usah main layangan.
Nonton layangan juga asyik kok. Come on, jangan menjadi kandidat-kandidat yang kurang asyik. Ajari pemilih bahwa pilkada bukan bertarung dengan cara-cara yang keji, tapi bertarung dengan cara-cara yang mendidik publik, dengan cara-cara yang beretika, dan dengan cara-cara yang membuat pemilih menikmati segala proses pilkada layaknya makan di restoran ternikmat di daerah tersebut, bukan malah seperti makan “kotoran kambing yang dipaksa ditelan secara bulat-bulat”.
Doktor Sosiologi Universitas Padjadjaran
HINGAR-bingar menjelang pemilihan kepala daerah serentak sudah mulai terasa. Lihat saja, spanduk dan baliho semakin bersemangat mengepung ibu kota provinsi, kota, dan kabupaten. Tempelan-tempelan foto kandidat melekat naif di pohon-pohon pinggir jalan sampai pelosok-pelosok kota.
Beda tipis, bahkan seolah berlomba dengan iklan sedot WC atau pijat tunanetra panggilan, misalnya. Headline dan judul-judul berita sudah mulai banyak yang bernuansa kritik deklaratif alias mengkritik untuk memperlihatkan niat pencalonan kandidat. Solusi-solusi berbagai persoalan seolah melekat di tiap kandidat, persis seperti malaikat-malaikat yang mendadak muncul ke pelataran publik.
Sekalipun sebenarnya terkadang mirip tukang obat yang mendadak buka tikar di trotoar, lalu berteriak pakai toa menjajakan berbagai jenis obat panu dan kudis dengan pembukaan sulap kelas recehan. Lantas, apakah semua itu menambah meriahnya kehidupan daerah? Di mata saya, jawabannya tidak. Justru situasi kota semakin kehilangan jiwa dan roh.
Beberapa hari saya sempatkan diri untuk berkeliling beberapa daerah, saya merasa bahwa lokasi-lokasi di mana pilkada serentak akan dilangsungkan terasa semakin kurang asyik menjelang pemilihan.
Dengan bacot lain, daerah semakin kehilangan daya magis edukatif intelektualnya.
Ternyata selama ini, demokrasi elektoral hanya sebatas itu dimaknai oleh banyak tokoh politik lokal. Perang baliho, perang foto, ataupun adu lantang dalam deklarasi, justru makin membuat saya berintrospeksi diri, ada jiwa dan roh politik demokrasi yang hilang.
Misalnya, banyak yang mengaku calon muda, pembaru, tapi justru ikut membuat suasana menjelang pilkada makin tidak asyik, makin tidak mendidik, tidak muda, dan makin hambar nilai. Narasi politik semakin tidak berwibawa. Aktor-aktor politik justru masih menganggap demokrasi elektoral hanya sebatas itu.
Risikonya, polah semacam ini hanya membangun citra bahwa demokrasi adalah barang mahal. Arti lainnya, kepemimpinan menjadi berbanding lurus dengan keuangan dan kekayaan. Dan arti naifnya, tidak ada yang benar-benar layak menjadi pemimpin karena semuanya ternyata hanya dipoles dengan angka-angka tertentu.
Barang siapa yang mampu mencumbui mata publik dengan baliho-baliho, maka layak dianggap sebagai salah satu kandidat potensial. Barang siapa yang mampu bertingkah aneh dan lucu, berani one man show berlagak seperti malaikat tanpa sayap, kemudian menjadi headline media-media, maka dianggap sudah memenuhi kriteria.
Walhasil, demokrasi elektoral hanya sebatas itu. Bahkan yang bergelar akademis ini itu, yang akhirnya memutuskan untuk ikut terlibat kontestasi, tidak membawa dampak psikologis apa pun kepada publik, bahkan gagal membuat demokrasi elektoral di daerah menjadi sebuah proses politik yang asyik, menarik, dan menggugah hati pemilih.
Dalam perspektif elektoral umum, sebagaimana dituliskan oleh pakar pemilihan Harvard University, Profesor Pippa Noris, pemilihan sejatinya dilakukan hanya untuk dua hal. Pertama untuk memajukan atau menempatkan calon-calon pemimpin terbaik plus berkualitas ke pentas kekuasaan.
Kedua untuk menggantikan pemimpin dan pemegang kekuasaan yang tidak berkualitas bin tidak berbuat apa-apa selama duduk di panggung kekuasaan. Bahkan untuk fungsi yang kedua, Pippa Noris menulis dengan kesan yang sangat kuat, yakni “To kick the rascals out“ alias untuk menendang para bajingan agar keluar dari pentas politik.
Jadi, jika menurut Anda ada calon yang lebih baik, berkualitas, dan mampu memenuhi harapan ketimbang yang sedang bercokol saat ini, maka perjuangkanlah beliau untuk menggantikan yang sudah ada. Tapi jika menurut Anda yang sudah ada alias yang sedang berkuasa masih yang terbaik, maka silakan perjuangkan beliau untuk tetap stay tuned di posisi semula.
Namun, mari bangun prosesnya dengan cara dan dinamika yang membanggakan. Bangun prosesnya yang menyadarkan publik bahwa kedaulatan yang sebenarnya adalah ada di tangan publik, bukan di tangan para elite yang senangnya menari-nari atau malah memilih diam dalam seribu citra buatan.
Jadi saya kira, menjadi tugas kita bersama untuk membuat prosesnya menjadi asyik. Menjadi tugas kita untuk memastikan semua pelaku berada dalam level playing field yang sama, dan membuat semua step prosesnya menjadi step-step yang menggugah hati publik untuk terlibat lebih jauh, bukan malah memperkecil keterlibatan publik (men-downsizing partisipasi publik).
Proses politik demokrasi elektoral yang diniatkan untuk mengecilkan tingkat partisipasi publik, agar hanya segmen tertentu yang menguasai panggung pemilih adalah kesengajaan yang tidak bermoral di dalam demokrasi. Jangan bangga dengan pemimpin yang lahir dari tingkat partisipasi yang rendah karena secara prinsipiil, kualitas legitimasinya pun tentu sangat lemah pula.
Dan, tidak perlu memolakan persepsi publik bahwa urusan kepemimpinan hanya urusan bagaimana seorang pemimpin menonjolkan kepribadiannya. Seorang pemimpin politik terikat dengan semua masyarakat yang dipimpinnya, bukan hanya dengan pemilih yang mencoblosnya di kotak suara. Bahkan yang lebih berat, seorang pemimpin harus punya kapasitas untuk mengorkestrasi masyarakatnya, kemudian menjadikannya sebagai satu kesatuan kekuatan untuk membangun.
Mengapa saya katakan urusan kepemimpinan bukan sekadar urusan pribadi si A yang baik atau kepribadian si B yang menarik? Karena begitu urgen dan signifikannya urusan keterikatan moral dan interkoneksi politik seorang pemimpin dengan masyarakatnya. Yang lebih penting dari urusan kepribadian adalah bahwa seorang pemimpin politik harus memiliki tiga kapasitas sekaligus, yakni mobilisasi, orkestrasi, dan konsolidasi (Stanley A Renson, Journal of Political Quarterly, 2008 ).
Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai energi lebih untuk menggerakkan (mobilisation) masyarakatnya menuju visi, misi, dan tujuan sang pemimpin, bukan punya energi lebih untuk berurusan dengan kepribadiannya sendiri. Seorang pemimpin kemudian harus mampu menyelaraskan serta mengharmoniskan semua perbedaan yang ada, kekuatan dan kelemahan yang ada di dalam masyarakatnya (orchestration), bukan malah mempertinggi sekat-sekat perbedaan di dalam masyarakat. Dan yang terakhir, seorang pemimpin harus mampu menyatukan semua itu ke dalam satu kesepahaman untuk menggapai tujuan bersama (consolidation).
Terakhir, secara profesional, pemilihan harus diletakkan di atas pelataran kompetisi yang baik dan sehat. Kompetisi yang baik tentu akan menghasilkan pemimpin yang bermutu bin benar-benar teruji, bukan pemimpin yang hanya ingin terlihat teruji.
Dan, kompetisi yang baik adalah kompetisi yang membentangkan persaingan kualitas kepemimpinan, mulai rekam jejak, integritas, kapasitas intelektual, dan kapasitas responsif politiknya terhadap kepentingan publik alias bukan kontes selebritas berbalut pencitraan kelas makcomblang, tapi tak berisi.
Kompetisi yang baik tidak berarti tidak boleh saling kritik, apalagi kepada petahana. Jangan terlalu mendramatisir pemeo “naikan saja layangan kita, jangan ganggu layangan orang lain”. Bagaimana mungkin kita bisa berkata bahwa pilkada adalah ajang kompetisi kemampuan, jika kemampuan masing-masing tidak disandingkan, ide masing-masing tidak dibenturkan, rekam jejak masing-masing tidak dibanding-bandingkan.
Pilkada bukan ajang mencari Miss Indonesia yang akhirnya hanya untuk promo ini dan itu atau menjadi simbol dari aktivitas charity tertentu. Pilkada adalah ajang untuk mencari pemimpin. Dan untuk melahirkan pemimpin, arena harus dibangun sedemikian rupa agar semua kemampuan dan kelemahannya tersandingkan dengan transparan.
Sederhana tujuannya, yakni agar semua pemilih memiliki akses yang lengkap kepada semua informasi yang dibutuhkan. Jika si A tidak teruji lebih baik di mata pemilih ketimbang si B, lantas mengapa harus si A yang jadi pemimpin. Perkaranya setelah itu adalah soal aturan kompetisi. Mana jurus yang boleh, mana yang tidak boleh. Semisal, tidak boleh tendang kelamin kompetitor, tidak boleh gigit telinga kompetitor layaknya Tyson, tidak boleh memfitnah kompetitor, dan lain-lain.
Jadi ayolah, kalau takut layangan tidak naik, ya tidak usah main layangan. Kalau takut layangannya diganggu orang, ya tidak usah main layangan. Dan kalau tidak pede untuk ikut kompetisi layangan, ya sekali lagi, tidak usah main layangan.
Nonton layangan juga asyik kok. Come on, jangan menjadi kandidat-kandidat yang kurang asyik. Ajari pemilih bahwa pilkada bukan bertarung dengan cara-cara yang keji, tapi bertarung dengan cara-cara yang mendidik publik, dengan cara-cara yang beretika, dan dengan cara-cara yang membuat pemilih menikmati segala proses pilkada layaknya makan di restoran ternikmat di daerah tersebut, bukan malah seperti makan “kotoran kambing yang dipaksa ditelan secara bulat-bulat”.
(whb)