Teknologi Tepat Guna dan Sistem Pembayaran
A
A
A
Achmad Deni Daruri
Presiden Dire ktur Center for Banking Crisis
Negara yang berhasil menghindari perangkap pendapatan rendah dan menengah adalah negara yang mampu menciptakan teknologi tepat guna dengan dukungan sistem pembayaran yang stabil.
Lihat misalnya Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Singapura bahkan mengimpor sebagian besar sistem pembayaran.
Teknologi tepat guna itu sendiri memiliki beragam arti. Teknologi tepat guna di sini adalah teknologi tinggi yang mampu membuat sebuah negara mengekspor produk-produk dengan teknologi tinggi.
Tidak ada negara yang berhasil melakukan tahap ekspor itu tanpa dukungan sistem pembayaran yang andal. Baik sistem pembayaran skala besar maupun skala kecil.
Teknologi tepat guna juga menyangkut semua produk, jasa, dan proses yang mendayagunakan bahan ramah lingkungan dan sumber energi terbarukan, mampu mengurangi penggunaan sumber daya alam secara drastis, dan mengurangi atau mengeliminasi emisi gas dan sampah.
Dengan kata lain adalah teknologi yang terkait dengan aktivitas hierarki sampah (daur ulang, penggunaan kembali), energi terbarukan (semisal tenaga surya), dan teknologi serta proses praktis lain yang terkait dengan konservasi energi dan tidak mencemari lingkungan seperti daur ulang air kelabu, penanganan sampah dengan pengomposan, dan teknologi mobil hibrida atau mobil listrik.
Keberadaan teknologi ini ditujukan untuk menciptakan sumber daya dan energi baru dengan meminimalisasi polusi. Meski teknologi ini mahal dari segi investasi, dengan sistem kredit karbon investasi bisa kembali dengan cepat jika suatu negara telah meratifikasi Kyoto Clean Development Mechanism.
Saat ini persyaratan teknologi tepat guna yang bermanfaat bagi sistem pembayaran juga sangat tergantung pada industri 4.0, bukan lagi pada industri 3.0, apalagi industri 2.0. Industri 4.0 sangat terkait dengan teknologi digitalisasi yang berkaitan erat dengan teknologi informasi dan menjadi suatu sistem informasi. Sistem informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang berguna bagi para pemakainya.
Data yang diolah saja tidak cukup dapat dikatakan sebagai suatu informasi. Untuk dapat berguna, informasi harus didukung tiga pilar sebagai berikut: tepat kepada orangnya atau relevan (relevance), tepat waktu (timeliness), dan tepat nilainya atau akurat (accurate).
Keluaran yang tidak didukung tiga pilar ini tidak dapat dikatakan sebagai informasi yang berguna, tetapi merupakan sampah (garbage).
Komponen prosedur dalam sistem informasi berkaitan dengan prosedur manual dan prosedur berbasis komputer serta standar untuk mengolah data menjadi informasi yang berguna.
Suatu prosedur adalah urutan langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan satu atau lebih aktivitas pengolahan informasi. Pengolahan informasi ini dapat dikerjakan dengan pengguna atau kombinasi pengguna dan staf teknologi informasi.
Suatu bisnis terdiri atas berbagai macam prosedur yang digabungkan secara logis untuk membentuk suatu sistem. Ketika Korea Selatan mengembangkan teknologi tepat gunanya, mereka mengandalkan industri 2.0 ataupun industri 3.0. Saat ini Korsel juga mengembangkan teknologi tepat guna dengan industri 4.0.
Sementara sistem pembayaran juga semakin bergeser dari sistem industri 3.0 menuju industri 4.0. Misalnya sistem Target 2 mulai menerapkan teknologi tepat guna berbasis industri 4.0.
Pengembangan industri 4.0 pada prinsipnya menekankan tahapan-tahapan pengembangan suatu perangkat lunak, yakni analisis, desain, implementasi, testing, dan maintenance.
Pada tahap yang lebih luas, rekayasa ini mengacu pada manajemen proyek pengembangan perangkat itu sendiri dengan tetap memperhatikan tahapan-tahapan pengembangan sebelumnya. Dalam pengembangannya industri 4.0 memiliki berbagai model.
Model water fall (model konvensional) adalah model terdahulu yang dikembangkan. Lalu ada model prototipe, model sekuensial linear, rapid application model, serta formal method model.
Industri 4.0 berakar dari elektronika, matematika, dan linguistik. Dalam tiga dekade terakhir dari abad ke-20, industri 4.0 telah menjadi suatu disiplin ilmu baru dan telah mengembangkan metode dan istilah sendiri.
Bergantung pada sudut pandang dan pendekatan seorang peneliti, linguistik sering kali digolongkan ke dalam ilmu kognitif, psikologi, dan antropologi.
Teknologi tepat guna akan semakin tergantung pada ilmu kognitif. Faktor yang memengaruhi kesulitan dan kecepatan pemilihan dan pelaksanaan respons adalah kompleksitas keputusan, perkiraan terhadap respons, tradeoff kecepatan dan akurasi, serta feedback yang diperoleh (Groover, 2007).
Kompleksitas keputusan dipengaruhi jumlah tindakan yang mungkin dipilih, yang juga berpengaruh terhadap lamanya waktu pengambilan keputusan. Perkiraan terhadap respons dipengaruhi informasi yang diterima.
Jika informasi yang diterima telah diperkirakan sebelumnya, pemrosesan informasi akan lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak diperkirakan. Tradeoff antara kecepatan dan akurasi merupakan korelasi negatif antara keduanya pada pemilihan dan pelaksanaan respons.
Dalam beberapa situasi, semakin cepat seseorang memilih respons, kemungkinan kesalahan terjadi meningkat. Feedback merupakan efek yang diketahui seseorang sebagai verifikasi atas tindakan yang dilakukannya.
Rentang waktu antara tindakan dengan feedback harus diminimalkan. Sementara itu industri 4.0 juga memerlukan antropologi untuk lebih memahami dan mengapresiasi manusia sebagai entitas biologis homo sapiens dan makhluk sosial dalam kerangka kerja yang interdisipliner dan komprehensif.
Jelas sekali bahwa teknologi tepat guna menggabungkan beragam ilmu dan tentunya bersandar pada ilmu sosial. Karena itu negara-negara yang maju sistem pembayarannya memiliki sistem pendidikan yang komprehensif berorientasi industri 4.0 tanpa mengabaikan ilmu-ilmu sosial.
Presiden Dire ktur Center for Banking Crisis
Negara yang berhasil menghindari perangkap pendapatan rendah dan menengah adalah negara yang mampu menciptakan teknologi tepat guna dengan dukungan sistem pembayaran yang stabil.
Lihat misalnya Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Singapura bahkan mengimpor sebagian besar sistem pembayaran.
Teknologi tepat guna itu sendiri memiliki beragam arti. Teknologi tepat guna di sini adalah teknologi tinggi yang mampu membuat sebuah negara mengekspor produk-produk dengan teknologi tinggi.
Tidak ada negara yang berhasil melakukan tahap ekspor itu tanpa dukungan sistem pembayaran yang andal. Baik sistem pembayaran skala besar maupun skala kecil.
Teknologi tepat guna juga menyangkut semua produk, jasa, dan proses yang mendayagunakan bahan ramah lingkungan dan sumber energi terbarukan, mampu mengurangi penggunaan sumber daya alam secara drastis, dan mengurangi atau mengeliminasi emisi gas dan sampah.
Dengan kata lain adalah teknologi yang terkait dengan aktivitas hierarki sampah (daur ulang, penggunaan kembali), energi terbarukan (semisal tenaga surya), dan teknologi serta proses praktis lain yang terkait dengan konservasi energi dan tidak mencemari lingkungan seperti daur ulang air kelabu, penanganan sampah dengan pengomposan, dan teknologi mobil hibrida atau mobil listrik.
Keberadaan teknologi ini ditujukan untuk menciptakan sumber daya dan energi baru dengan meminimalisasi polusi. Meski teknologi ini mahal dari segi investasi, dengan sistem kredit karbon investasi bisa kembali dengan cepat jika suatu negara telah meratifikasi Kyoto Clean Development Mechanism.
Saat ini persyaratan teknologi tepat guna yang bermanfaat bagi sistem pembayaran juga sangat tergantung pada industri 4.0, bukan lagi pada industri 3.0, apalagi industri 2.0. Industri 4.0 sangat terkait dengan teknologi digitalisasi yang berkaitan erat dengan teknologi informasi dan menjadi suatu sistem informasi. Sistem informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang berguna bagi para pemakainya.
Data yang diolah saja tidak cukup dapat dikatakan sebagai suatu informasi. Untuk dapat berguna, informasi harus didukung tiga pilar sebagai berikut: tepat kepada orangnya atau relevan (relevance), tepat waktu (timeliness), dan tepat nilainya atau akurat (accurate).
Keluaran yang tidak didukung tiga pilar ini tidak dapat dikatakan sebagai informasi yang berguna, tetapi merupakan sampah (garbage).
Komponen prosedur dalam sistem informasi berkaitan dengan prosedur manual dan prosedur berbasis komputer serta standar untuk mengolah data menjadi informasi yang berguna.
Suatu prosedur adalah urutan langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan satu atau lebih aktivitas pengolahan informasi. Pengolahan informasi ini dapat dikerjakan dengan pengguna atau kombinasi pengguna dan staf teknologi informasi.
Suatu bisnis terdiri atas berbagai macam prosedur yang digabungkan secara logis untuk membentuk suatu sistem. Ketika Korea Selatan mengembangkan teknologi tepat gunanya, mereka mengandalkan industri 2.0 ataupun industri 3.0. Saat ini Korsel juga mengembangkan teknologi tepat guna dengan industri 4.0.
Sementara sistem pembayaran juga semakin bergeser dari sistem industri 3.0 menuju industri 4.0. Misalnya sistem Target 2 mulai menerapkan teknologi tepat guna berbasis industri 4.0.
Pengembangan industri 4.0 pada prinsipnya menekankan tahapan-tahapan pengembangan suatu perangkat lunak, yakni analisis, desain, implementasi, testing, dan maintenance.
Pada tahap yang lebih luas, rekayasa ini mengacu pada manajemen proyek pengembangan perangkat itu sendiri dengan tetap memperhatikan tahapan-tahapan pengembangan sebelumnya. Dalam pengembangannya industri 4.0 memiliki berbagai model.
Model water fall (model konvensional) adalah model terdahulu yang dikembangkan. Lalu ada model prototipe, model sekuensial linear, rapid application model, serta formal method model.
Industri 4.0 berakar dari elektronika, matematika, dan linguistik. Dalam tiga dekade terakhir dari abad ke-20, industri 4.0 telah menjadi suatu disiplin ilmu baru dan telah mengembangkan metode dan istilah sendiri.
Bergantung pada sudut pandang dan pendekatan seorang peneliti, linguistik sering kali digolongkan ke dalam ilmu kognitif, psikologi, dan antropologi.
Teknologi tepat guna akan semakin tergantung pada ilmu kognitif. Faktor yang memengaruhi kesulitan dan kecepatan pemilihan dan pelaksanaan respons adalah kompleksitas keputusan, perkiraan terhadap respons, tradeoff kecepatan dan akurasi, serta feedback yang diperoleh (Groover, 2007).
Kompleksitas keputusan dipengaruhi jumlah tindakan yang mungkin dipilih, yang juga berpengaruh terhadap lamanya waktu pengambilan keputusan. Perkiraan terhadap respons dipengaruhi informasi yang diterima.
Jika informasi yang diterima telah diperkirakan sebelumnya, pemrosesan informasi akan lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak diperkirakan. Tradeoff antara kecepatan dan akurasi merupakan korelasi negatif antara keduanya pada pemilihan dan pelaksanaan respons.
Dalam beberapa situasi, semakin cepat seseorang memilih respons, kemungkinan kesalahan terjadi meningkat. Feedback merupakan efek yang diketahui seseorang sebagai verifikasi atas tindakan yang dilakukannya.
Rentang waktu antara tindakan dengan feedback harus diminimalkan. Sementara itu industri 4.0 juga memerlukan antropologi untuk lebih memahami dan mengapresiasi manusia sebagai entitas biologis homo sapiens dan makhluk sosial dalam kerangka kerja yang interdisipliner dan komprehensif.
Jelas sekali bahwa teknologi tepat guna menggabungkan beragam ilmu dan tentunya bersandar pada ilmu sosial. Karena itu negara-negara yang maju sistem pembayarannya memiliki sistem pendidikan yang komprehensif berorientasi industri 4.0 tanpa mengabaikan ilmu-ilmu sosial.
(nag)