Rohingya dan Tanggung Jawab Kemanusiaan Kita

Kamis, 14 September 2017 - 06:26 WIB
Rohingya dan Tanggung Jawab Kemanusiaan Kita
Rohingya dan Tanggung Jawab Kemanusiaan Kita
A A A
Jazuli Juwaini
Ketua Fraksi PKS DPR RI

ROHINGYA
adalah tragedi kemanusiaan paling memilukan yang terjadi di hadapan kita. Begitu pernyataan saya ketika diminta tanggapan oleh sejumlah wartawan soal isu ini di sela-sela Forum Parlemen Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan di Nusa Dua Bali pada 7-8 September lalu.

Bagaimana tidak, kita menyaksikan viral media sosial terkait warga Rohingya dibunuh, disiksa, dibakar, bahkan sebagian mereka adalah perempuan, ibu-ibu, dan anak-anak yang tidak berdosa.

Derita Rohingya etnis yang disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai kelompok etnis paling teraniaya dan menderita di dunia seakan tak ada habis-habisnya. Tragedi hari ini adalah rangkaian panjang dari tragedi bertahun-tahun sebelumnya.

Tentu masih segar dalam ingatan peristiwa 2015 silam ketika sekitar 700 pengungsi Rohingya terdampar di Perairan Aceh serta sekitar 2.000 lainnya di pantai barat Malaysia dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Hal ini tentu mengetuk pintu nurani kemanusiaan kita.

Akar Masalah Rohingya

Problem etnis Rohingya harus dilihat secara komprehensif. Etnis Rohingya sejatinya pernah menikmati kehidupan yang layak sebagai warga negara Myanmar (ketika itu Burma) dalam periode era demokrasi tahun 1948-1962.

Akar masalah etnis Rohingya bermula seiring dengan berkuasanya pemerintahan junta militer Myanmar sejak tahun 1962. Melalui UU Keimigrasian tahun 1974, Pemerintah Myanmar tidak memberikan registrasi kependudukan kepada etnis Rohingya. Mereka justru diberikan Sertifikat Terdaftar Orang Asing (Foreign Registration Cards).

Kebijakan tersebut menjadi dasar dalam UU Kewarganegaraan tahun 1982 dengan tidak memasukkan etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Sejak itu, etnis Rohingya resmi dikategorikan sebagai kelompok stateless (tanpa kewarganegaraan). Dengan status tersebut, penindasan terhadap etnis Rohingya oleh rezim junta militer seolah mendapatkan legitimasi.

Jika mengacu pada kronologis tersebut, jelas bahwa selama ini etnis Rohingya mengalami kekerasan kemanusiaan yang bersifat struktural dan sistematis. Bahkan terindikasi kuat mengarah pada terjadinya genosida atau pemusnahan sistematis yang disengaja.

Dari sudut pandang ini, maka problem etnis Rohingya tidak lagi menjadi sekadar isu domestik Myanmar, melainkan telah menjadi isu regional ASEAN dan isu internasional secara umum.

Landasan untuk Bersikap


Langkah dan kebijakan Indonesia sangat dinantikan untuk turut serta mencari solusi terbaik bagi problem Rohingya ini. Setidaknya ada tiga landasan bagi Indonesia untuk bersikap proaktif.

Pertama, partisipasi aktif Indonesia dalam isu-isu luar negeri bukanlah semata karena didorong oleh perlunya respons terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi.

Lebih dari itu, Pembukaan UUD 1945 alinea keempat mengamatkan pemerintah Indonesia untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagai salah satu tujuan kemerdekaan kita.

Dengan kata lain, sikap proaktif Indonesia untuk membantu penyelesaian problem Rohingya adalah amanat konstitusi yang wajib ditunaikan. Kedua, amanat Piagam ASEAN yang mulai berlaku sejak 15 Desember 2008, di mana Indonesia telah meratifikasinya menjadi Undang-Undang Nomor 38/2008.

Piagam ASEAN menyatakan bahwa setiap negara anggota memiliki keterikatan untuk memajukan dan menghormati HAM serta bekerja sama untuk tidak mengalihkan beban pada sesama negara anggota lain, tetapi bekerja sama untuk mencari solusi.

Karenanya, Indonesia perlu mengambil inisiatif regional dalam kerangka ASEAN untuk menyelesaikan problem Rohingya. Ketiga, Indonesia memang belum meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) di Jenewa ataupun Protokol PBB tahun 1967.

Namun demikian, melalui Konvensi Penghapusan Penyiksaan (Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman, Degrading Treatment, or Punishment) tahun 1984 yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1998, menjadikan problem pengungsi Rohingya menjadi salah satu tanggung jawab Indonesia.

Konvensi tersebut menyatakan larangan bagi negara anggota untuk mengusir atau mengembalikan ataupun mengekstradisikan ke negara lain seseorang atau sekelompok orang yang memiliki cukup alasan bahwa dia berada dalam ancaman penyiksaan atau kekerasan. Dari konteks ini, kebijakan untuk menerima dan membantu para pengungsi Rohingya yang terdampar di Indonesia beberapa waktu silam sudah tepat.

Sikap Proaktif dan Pendekatan Indonesia

Dari pemaparan di atas, problem Rohingya ini harus diselesaikan melalui sikap proaktif dan pendekatan politik kemanusiaan yang berjalan beriringan agar menjadi solusi komprehensif. Pendekatan kemanusiaan (human security dan HAM) perlu dikedepankan dalam upaya menangani nasib para pengungsi Rohingya.

Karenanya, kita mendukung dan mengapresiasi sikap pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri yang dengan sigap melakukan komunikasi dan diplomasi langsung kepada pejabat berwenang di Myanmar, yaitu dengan State Counsellor Daw Aung San Suu Kyi, Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Min Aung Hlaing, dan pejabat terkait lainnya.

Kita berharap langkah pemerintah kita dan solidaritas kemanusiaan yang ditunjukkan rakyat Indonesia direspons serius oleh Pemerintah Myanmar dengan upaya nyata menghentikan kekerasan dan selanjutnya merumuskan penyelesaian yang lebih komprehensif.

Penulis melihat penyelesaian krisis kemanusiaan Rohingya secara komprehensif bisa direalisasikan jika masyarakat internasional mendorong langkah-langkah berikut ini dilakukan segera; pertama, penghentian segera kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, dan pembantaian atas warga Rohingya.

Karena hal itu merupakan bentuk kejahatan atas kemanusiaan yang sangat serius bahkan terindikasi sebagai pembersihan etnis dan genosida. Kedua, penghormatan dan pemulihan hak-hak kemanusiaan warga Rohingya yang di dalamnya mencakup hak untuk hidup dan mendapatkan perlakuan adil dan beradab.

Bukankah itu nilai-nilai universal yang kita pedomani bersama dan menjadi ajaran semua agama? Ketiga, penghentian segala bentuk perlakuan diskriminatif terhadap warga Rohigya sekaligus mendorong Pemerintah Myanmar untuk memberikan pengakuan kewarganegaraan kepada warga Rohingya dan menerimanya sebagai warga sebangsa yang dapat hidup berdampingan secara damai.

Keempat, memastikan tegaknya hukum dan keadilan terhadap pihak-pihak yang melakukan tindak kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, dan pembantaian warga Rohingya agar memberikan efek jera dan memastikan perbuatan keji itu tidak terjadi lagi.

Dengan langkah-langkah di atas, kita berharap dapat menyelamatkan nyawa dan harkat kemanusiaan saudara-saudara kita di Rohingya. Inilah tanggung jawab kemanusiaan kita sebagai bangsa yang bermartabat dan sesungguhnya menjadi tanggung jawab bersama seluruh warga dunia. Jika bukan kita siapa lagi, jika tidak sekarang kapan lagi?
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6199 seconds (0.1#10.140)