Agus Dilaporkan Korupsi, Hehehe
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
BANYAK yang terkejut ketika tiba-tiba ada berita, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dilaporkan ke Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi dalam proyek KTP Elektronik atau e-KTP. Berita ini terasa gila dan sensasional karena dua hal.
Pertama, Agus adalah Ketua KPK, sebuah lembaga antikorupsi yang oleh masyarakat kita dan dunia internasional dikenal kredibel dan mendapat indeks kepercayaan yang tertinggi. Kedua, KPK yang diketuai oleh Agus ini sekarang justru sedang menangani perkara korupsi e-KTP sebagai korupsi yang besar, baik jumlah uangnya maupun anggota “jamaah koruptor” yang diduga terlibat dalam korupsi triliunan itu.
Masak, sih, Agus terlibat dalam korupsi yang ditanganinya itu? Itu sangat janggal dan mengejutkan. Makanya, selain ada yang terjebak percaya dan marah, ada juga yang meragukan dan tidak percaya.
Meskipun saya setuju agar Kejaksaan Agung terus mendalami kasus itu sebagai keharusan profesionalisme, saya sendiri tidak percaya Agus ikut korupsi dalam proyek e-KTP. Sudah lama (dikutip media, 15 Maret 2017) saya mengatakan bahwa kalau hanya karena diundang sebagai Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) ketika Kemendagri mempresentasikan rencana proyek e-KTP, maka Agus tidak bisa dianggap korupsi.
Kalau hanya karena itu Agus dianggap ikut korupsi, pejabat-pejabat lain yang terkait bisa juga dianggap korupsi. Sebab, mereka juga diundang dalam forum yang sama. Ceritanya kan jelas. Agus dan pejabat-pejabat lain yang terkait diundang untuk ikut mendengar dan memberi pendapat tentang proyek e-KTP, tetapi tidak ikut memutuskan proyek itu.
Ketika Kemendagri memproyekkan pembuatan e-KTP yang katanya berteknologi canggih itu, diundanglah beberapa pejabat terkait untuk diminta penilaian dan pandangannya. Agus salah satunya, dan bukan satu-satunya yang diundang.
Mantan Mendagri Gamawan Fauzi menyebut banyak pejabat lain yang juga diundang karena secara institusional mempunyai kaitan, seperti Kejaksaan Agung, Polri, Kemenkeu, Bappenas, BPKP, KPK, dan lain-lain.
Saat itu Agus Raharjo yang diundang sebagai Kepala LKPP sudah memberikan pendapatnya dan tidak ikut mengambil keputusan. Pendapat-pendapat dan usul Agus sendiri menyangkut teknis dan perusahaan yang dianggap bisa melakukannya, sudah ditampung tetapi tidak diterima oleh panitia (Kemendagri).
Kemendagri justru memilih jalan yang tidak sesuai dengan hal-hal yang diusulkan oleh Agus. Dan terjadilah korupsi yang kemudian dibongkar ketika Agus sudah menjadi Ketua KPK itu.
Sungguh sangat aneh jika setelah itu Agus dituduh ikut korupsi. Bukankah Agus tidak ikut memutuskan? Bukankah Agus sudah memberi saran tetapi sarannya tidak diindahkan sehingga korupsi itu terjadi? Bukankah banyak pejabat lain yang diundang dan Agus tidak sendirian?
Mengapa yang dilaporkan diduga korupsi hanya Agus? Bagaimana logikanya, orang diminta saran dan sarannya tidak diterima dan yang bersangkutan tidak ikut memutuskan proyek tersebut, kok, diduga korupsi?
Apa pun memang bisa terjadi di luar dugaan kita, seperti halnya keterlibatan Gamawan Fauzi dan Diah Anggraini yang juga sebelumnya sama sekali tidak kita duga. Kita tunggu saja apa saja bukti dugaan korupsi yang dilakukan Agus itu dengan catatan, Agus sendiri tidak perlu grogi.
Agus bersama KPK harus terus tegar memburu para korupsi e-KTP ini. Jangan mau ditakut-takuti.
Seruan untuk terus berani ini perlu disuntikkan kepada Agus dan KPK. Sebab, boleh jadi pelaporan ini bisa dijadikan penghambat bagi KPK oleh para koruptor e-KTP agar penanganannya berhenti.
Bisa saja sebentar lagi akan ada seruan liar, “Hentikan proses e-KTP karena ketua KPK terlibat”. Seruan tidak masuk akal seperti itu bisa saja terjadi sebab pernyataan yang tidak masuk akal memang sudah pernah terjadi, misalnya, pernyataan bahwa korupsi e-KTP itu hanya ilusinya KPK dan tak pernah ada.
Korupsi e-KTP itu menurut fakta logisnya sudah benar-benar terjadi dan bukan ilusi. Bukti logisnya banyak.
Pertama, sudah ada dua orang yang dihukum oleh pengadilan tipikor dan beberapa yang sudah menjadi tersangka. Kedua, banyak (kalau tak salah ada 14 orang) yang terbirit-birit mengembalikan uang yang diduga dari proyek e-KTP ke KPK begitu kasus ini disidik.
Ketiga, uang negara sudah keluar dari APBN tetapi blangko KTP-nya tidak cukup karena kontraktornya belum dibayar lunas sehingga tidak mau mencetaknya. Akibatnya, banyak warga negara yang tidak mendapatkan KTP elektronik itu. Biadab, kan?
Ingat, ya, kasus e-KTP ini disidik karena laporan Mendagri Tjahjo Kumolo ke KPK. Menurut Tjahjo, awal dirinya menjadi menteri ada pengusaha menagih uang e-KTP senilai 70 juta dolar Amerika, padahal dana untuk e-KTP sudah dikeluarkan semua sesuai dengan APBN.
Menteri Tjahjo diajak nego dengan potongan-potongan di bawah tangan, tetapi sang menteri menolak dan malah melaporkan masalah itu ke KPK. Itu bagusnya Tjahjo. Itulah sebabnya mengapa KPK melanjutkan menggarap kasus yang sudah lama tercium ini. Masak ada yang tega-teganya bilang tidak ada korupsi e-KTP?
Presiden saja bilang begini, “Masak hanya mengganti KTP dari kertas menjadi plastik menghabiskan biaya sampai triliunan?”. Bagi rakyat, perubahan dari kertas ke plastik dengan harga triliunan dan tanpa fungsi canggih itu adalah korupsi belaka. Keterlaluan kalau dibilang tidak ada korupsi.
Oleh sebab itu, di jagat medsos banyak yang menertawai sinis (bukan mempercayai) ketika ada postingan berita, “Agus Raharjo dilaporkan dalam Dugaan Korupsi e-KTP” atau berita “Korupsi e-KTP Hanya Khayalan KPK”. Netizen yang sudah cerdas-cerdas banyak yang mengomentari dengan pendek, “Hahahaha” atau “Wkwkwkwkwk”.
Ketika akun saya mendapat kiriman berita bahwa Agus dilaporkan ke kejaksaan saya pun hanya memposting komentar “Hehehe” untuk melengkapi cara orang menertawakan berita yang bisa dianggap sampah. Begitulah, hehehe, hahaha, wkwkwkwkw.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
BANYAK yang terkejut ketika tiba-tiba ada berita, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dilaporkan ke Kejaksaan Agung atas dugaan korupsi dalam proyek KTP Elektronik atau e-KTP. Berita ini terasa gila dan sensasional karena dua hal.
Pertama, Agus adalah Ketua KPK, sebuah lembaga antikorupsi yang oleh masyarakat kita dan dunia internasional dikenal kredibel dan mendapat indeks kepercayaan yang tertinggi. Kedua, KPK yang diketuai oleh Agus ini sekarang justru sedang menangani perkara korupsi e-KTP sebagai korupsi yang besar, baik jumlah uangnya maupun anggota “jamaah koruptor” yang diduga terlibat dalam korupsi triliunan itu.
Masak, sih, Agus terlibat dalam korupsi yang ditanganinya itu? Itu sangat janggal dan mengejutkan. Makanya, selain ada yang terjebak percaya dan marah, ada juga yang meragukan dan tidak percaya.
Meskipun saya setuju agar Kejaksaan Agung terus mendalami kasus itu sebagai keharusan profesionalisme, saya sendiri tidak percaya Agus ikut korupsi dalam proyek e-KTP. Sudah lama (dikutip media, 15 Maret 2017) saya mengatakan bahwa kalau hanya karena diundang sebagai Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) ketika Kemendagri mempresentasikan rencana proyek e-KTP, maka Agus tidak bisa dianggap korupsi.
Kalau hanya karena itu Agus dianggap ikut korupsi, pejabat-pejabat lain yang terkait bisa juga dianggap korupsi. Sebab, mereka juga diundang dalam forum yang sama. Ceritanya kan jelas. Agus dan pejabat-pejabat lain yang terkait diundang untuk ikut mendengar dan memberi pendapat tentang proyek e-KTP, tetapi tidak ikut memutuskan proyek itu.
Ketika Kemendagri memproyekkan pembuatan e-KTP yang katanya berteknologi canggih itu, diundanglah beberapa pejabat terkait untuk diminta penilaian dan pandangannya. Agus salah satunya, dan bukan satu-satunya yang diundang.
Mantan Mendagri Gamawan Fauzi menyebut banyak pejabat lain yang juga diundang karena secara institusional mempunyai kaitan, seperti Kejaksaan Agung, Polri, Kemenkeu, Bappenas, BPKP, KPK, dan lain-lain.
Saat itu Agus Raharjo yang diundang sebagai Kepala LKPP sudah memberikan pendapatnya dan tidak ikut mengambil keputusan. Pendapat-pendapat dan usul Agus sendiri menyangkut teknis dan perusahaan yang dianggap bisa melakukannya, sudah ditampung tetapi tidak diterima oleh panitia (Kemendagri).
Kemendagri justru memilih jalan yang tidak sesuai dengan hal-hal yang diusulkan oleh Agus. Dan terjadilah korupsi yang kemudian dibongkar ketika Agus sudah menjadi Ketua KPK itu.
Sungguh sangat aneh jika setelah itu Agus dituduh ikut korupsi. Bukankah Agus tidak ikut memutuskan? Bukankah Agus sudah memberi saran tetapi sarannya tidak diindahkan sehingga korupsi itu terjadi? Bukankah banyak pejabat lain yang diundang dan Agus tidak sendirian?
Mengapa yang dilaporkan diduga korupsi hanya Agus? Bagaimana logikanya, orang diminta saran dan sarannya tidak diterima dan yang bersangkutan tidak ikut memutuskan proyek tersebut, kok, diduga korupsi?
Apa pun memang bisa terjadi di luar dugaan kita, seperti halnya keterlibatan Gamawan Fauzi dan Diah Anggraini yang juga sebelumnya sama sekali tidak kita duga. Kita tunggu saja apa saja bukti dugaan korupsi yang dilakukan Agus itu dengan catatan, Agus sendiri tidak perlu grogi.
Agus bersama KPK harus terus tegar memburu para korupsi e-KTP ini. Jangan mau ditakut-takuti.
Seruan untuk terus berani ini perlu disuntikkan kepada Agus dan KPK. Sebab, boleh jadi pelaporan ini bisa dijadikan penghambat bagi KPK oleh para koruptor e-KTP agar penanganannya berhenti.
Bisa saja sebentar lagi akan ada seruan liar, “Hentikan proses e-KTP karena ketua KPK terlibat”. Seruan tidak masuk akal seperti itu bisa saja terjadi sebab pernyataan yang tidak masuk akal memang sudah pernah terjadi, misalnya, pernyataan bahwa korupsi e-KTP itu hanya ilusinya KPK dan tak pernah ada.
Korupsi e-KTP itu menurut fakta logisnya sudah benar-benar terjadi dan bukan ilusi. Bukti logisnya banyak.
Pertama, sudah ada dua orang yang dihukum oleh pengadilan tipikor dan beberapa yang sudah menjadi tersangka. Kedua, banyak (kalau tak salah ada 14 orang) yang terbirit-birit mengembalikan uang yang diduga dari proyek e-KTP ke KPK begitu kasus ini disidik.
Ketiga, uang negara sudah keluar dari APBN tetapi blangko KTP-nya tidak cukup karena kontraktornya belum dibayar lunas sehingga tidak mau mencetaknya. Akibatnya, banyak warga negara yang tidak mendapatkan KTP elektronik itu. Biadab, kan?
Ingat, ya, kasus e-KTP ini disidik karena laporan Mendagri Tjahjo Kumolo ke KPK. Menurut Tjahjo, awal dirinya menjadi menteri ada pengusaha menagih uang e-KTP senilai 70 juta dolar Amerika, padahal dana untuk e-KTP sudah dikeluarkan semua sesuai dengan APBN.
Menteri Tjahjo diajak nego dengan potongan-potongan di bawah tangan, tetapi sang menteri menolak dan malah melaporkan masalah itu ke KPK. Itu bagusnya Tjahjo. Itulah sebabnya mengapa KPK melanjutkan menggarap kasus yang sudah lama tercium ini. Masak ada yang tega-teganya bilang tidak ada korupsi e-KTP?
Presiden saja bilang begini, “Masak hanya mengganti KTP dari kertas menjadi plastik menghabiskan biaya sampai triliunan?”. Bagi rakyat, perubahan dari kertas ke plastik dengan harga triliunan dan tanpa fungsi canggih itu adalah korupsi belaka. Keterlaluan kalau dibilang tidak ada korupsi.
Oleh sebab itu, di jagat medsos banyak yang menertawai sinis (bukan mempercayai) ketika ada postingan berita, “Agus Raharjo dilaporkan dalam Dugaan Korupsi e-KTP” atau berita “Korupsi e-KTP Hanya Khayalan KPK”. Netizen yang sudah cerdas-cerdas banyak yang mengomentari dengan pendek, “Hahahaha” atau “Wkwkwkwkwk”.
Ketika akun saya mendapat kiriman berita bahwa Agus dilaporkan ke kejaksaan saya pun hanya memposting komentar “Hehehe” untuk melengkapi cara orang menertawakan berita yang bisa dianggap sampah. Begitulah, hehehe, hahaha, wkwkwkwkw.
(poe)