Ujaran Kebencian
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder; Director, Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu
SEORANG pengunjuk rasa mengendarai dan menabrak dengan sengaja kerumunan aksi pengunjuk rasa anti-white supremacy atau anti-neo nazi di Charlottesville Virgina Amerika Serikat. Tindakan tersebut menewaskan Heather Heyer berusia 32 tahun dan mencederai 19 orang lainnya.
Masyarakat sangat menghargai pernyataan Gubernur Virginia Terry McAuliffe yang berbicara pada Minggu di sebuah unjuk rasa berbentuk doa bersama di Charlottesville ketika ia menegaskan, seruannya untuk kelompok yang mengatasnamakan supremasi kulit putih agar meninggalkan kota setelah terjadi kekerasan tersebut. Sementara itu, Presiden Donald Trump justru menimbulkan kekecewaan karena mengatakan kejadian tersebut diakibatkan oleh semua pihak.
Apa yang terjadi di Charlottesville memunculkan perdebatan tentang hak kebebasan berbicara di sebuah negara. Beberapa hari setelah aksi tersebut, masyarakat bertanya tentang apakah ujaran kebencian adalah termasuk bagian dari hak kebebasan berbicara yang dilindungi undang-undang.
Dalam kasus di Amerika Serikat, Amandemen Pertama terhadap Konstitusi Amerika Serikat melarang pembuatan undang-undang apa pun untuk menghormati pendirian agama, memastikan bahwa tidak ada larangan pelaksanaan agama secara bebas, mengurangi kebebasan berbicara, melanggar kebebasan pers, mencampuri hak untuk berkumpul secara damai, atau melarang petisi untuk mendapatkan ganti rugi atas keluhan pemerintah.
Terjadi sebuah perdebatan setelah kasus di Charlottesville, apakah ujaran kebencian dilindungi amandemen tersebut? Perdebatan agak mirip dengan kontroversi yang lahir setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. Inti kontroversinya sama, yaitu apakah produk hukum itu akan mencederai demokrasi atau tidak di masa depan.
Pandangan yang dominan menyatakan ujaran kebencian (hate speech) pun dilindungi Amandemen Pertama dalam Konstitusi AS. Seburuk apa pun perkataan seseorang telah membuat orang lain tersinggung bukanlah kejahatan.
Kita di Indonesia mungkin sulit menerima bahwa ada hak untuk mengungkapkan pemikiran jahat dan menjijikkan dilindungi oleh konstitusi namun hal itu terjadi di AS. Tugas dari pejabat terpilih dan penegak hukum adalah mencegah terjadinya kekerasan, baik oleh mereka menyuarakan kebencian ataupun reaksi dari kelompok yang mendengarkan ujaran tersebut.
Amandemen Pertama AS tidak membatasi seberapa banyak orang mengatakan “saya menyukai anda”. Demikian pula dengan mereka yang mengatakan “saya membenci anda”.
Amandemen Pertama dianggap justru melindungi mereka yang mengatakan “saya membenci anda”, terutama ketika mereka mengajukan kritik atau ketidakpuasan. Oleh sebab itu, ujaran kebencian dianggap definisi karet karena tanggapan setiap orang berbeda-beda.
Meski demikian, Amandemen Pertama AS tidak melindungi kalimat-kalimat yang mengandung kata-kata, seperti pelecehan seksual, pencemaran nama baik (termasuk fitnah), pornografi anak, sumpah palsu, kalimat yang mengandung pemerasan atau ancaman untuk melakukan kejahatan, “fighting words” atau kata-kata yang bisa memancing kontak fisik, serta pelanggaran hak intelektual termasuk komersial.
Amandemen Pertama ini sangat penting dan bahkan jantung dari demokrasi di AS. Salah satu penjelasan antara lain, karena penduduk AS dalam sejarahnya adalah pendatang. Mereka menaklukkan masyarakat adat Indian dan membangun sistem ekonomi dan politik baru.
Para pendatang berasal dari segala penjuru mulai dari Inggris, Irlandia, Skotlandia, Jerman, Belanda, Prancis, masyarakat Asia, hingga tidak tertinggal warga kulit hitam yang pernah menjadi budak. Heterogenitas ini membuat sistem ekonomi-politik AS menjadi kuat.
Kebebasan berbicara dan berpendapat menjadi penting dalam masyarakat. Bagaimana dengan masyarakat asli yang relatif homogen?
Di Eropa, tidak semua negara mengikuti secara kaku kebiasaan yang terjadi di AS. AS menyatakan simbol-simbol yang dianggap bisa menimbulkan kebencian (seperti logo Nazi) masih dilindungi Amandemen Pertama.
Sementara di Eropa, seperti Jerman atau Prancis, simbol-simbol itu bisa dianggap ujaran kebencian karena sejarah mereka dengan Holocaust di masa Perang Dunia II. Belanda juga membatasi kebebasan berbicara apabila menyangkut kebencian terhadap sebuah kelompok. Contoh adalah Geert Wilders yang dianggap bersalah oleh pengadilan pada tahun 2009 atas komentarnya terhadap kaum Muslim.
Di Inggris, Kristen Ben dan Sharon Vogelenzang juga divonis bersalah karena menyebut Nabi Muhammad sebagai “panglima perang”, termasuk Harry Taylor, seorang atheis yang meletakkan gambar menyindir agama Kristen dan Islam di ruang salat bandara.
Eropa sangat serius dengan masalah ujaran kebencian ini. Karena ekonomi mereka, khususnya angkatan kerja kerah biru atau manual, sangat tergantung dari imigran yang sebagian besar bukan beragama atau hidup dalam tradisi Kristen dan sekuler (khususnya Jerman).
Secara demografi, penduduk mereka sebagian besar adalah orang tua sementara keturunan mereka jarang menikah dan sedikit memiliki anak. Kaum imigran adalah angkatan buruh yang penting bagi kesinambungan kapitalisme mereka. Oleh sebab itu, tidak heran apabila Jerman sangat gencar mengusulkan pembatasan ujaran kebencian di media sosial.
Fakta-fakta tersebut dapat memberikan kita penjelasan bahwa akan menjadi persoalan, apabila kita menggunakan satu kerangka berpikir masyarakat tertentu untuk diterapkan dalam masyarakat lainnya. Karena itu, penting dalam diplomasi untuk tidak mengomentari atau perlu waspada mengomentari sesuatu yang terjadi di dalam negeri atau sebuah negara tanpa melakukan penyelidikan sangat mendalam.
Kesimpulan ini pun bukan hal baru. Dalam konteks penegakan hak asasi manusia, pendekatan universalitas versus pendekatan partikular masih berlangsung. Meski demikian, dunia semakin lama semakin terintegrasi yang mengharuskan kita mulai berpikir untuk menyusun kerangka kerja sama ke depan.
Masyarakat yang terintegrasi melalui globalisasi bukan berarti menghilangkan perbedaan, tetapi justru menciptakan sebuah realita atau kenyataan baru yang mungkin belum dipikirkan secara dalam oleh para pemimpin negara sebelumnya.
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder; Director, Atma Jaya Institute of Public Policy
@dinnawisnu
SEORANG pengunjuk rasa mengendarai dan menabrak dengan sengaja kerumunan aksi pengunjuk rasa anti-white supremacy atau anti-neo nazi di Charlottesville Virgina Amerika Serikat. Tindakan tersebut menewaskan Heather Heyer berusia 32 tahun dan mencederai 19 orang lainnya.
Masyarakat sangat menghargai pernyataan Gubernur Virginia Terry McAuliffe yang berbicara pada Minggu di sebuah unjuk rasa berbentuk doa bersama di Charlottesville ketika ia menegaskan, seruannya untuk kelompok yang mengatasnamakan supremasi kulit putih agar meninggalkan kota setelah terjadi kekerasan tersebut. Sementara itu, Presiden Donald Trump justru menimbulkan kekecewaan karena mengatakan kejadian tersebut diakibatkan oleh semua pihak.
Apa yang terjadi di Charlottesville memunculkan perdebatan tentang hak kebebasan berbicara di sebuah negara. Beberapa hari setelah aksi tersebut, masyarakat bertanya tentang apakah ujaran kebencian adalah termasuk bagian dari hak kebebasan berbicara yang dilindungi undang-undang.
Dalam kasus di Amerika Serikat, Amandemen Pertama terhadap Konstitusi Amerika Serikat melarang pembuatan undang-undang apa pun untuk menghormati pendirian agama, memastikan bahwa tidak ada larangan pelaksanaan agama secara bebas, mengurangi kebebasan berbicara, melanggar kebebasan pers, mencampuri hak untuk berkumpul secara damai, atau melarang petisi untuk mendapatkan ganti rugi atas keluhan pemerintah.
Terjadi sebuah perdebatan setelah kasus di Charlottesville, apakah ujaran kebencian dilindungi amandemen tersebut? Perdebatan agak mirip dengan kontroversi yang lahir setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. Inti kontroversinya sama, yaitu apakah produk hukum itu akan mencederai demokrasi atau tidak di masa depan.
Pandangan yang dominan menyatakan ujaran kebencian (hate speech) pun dilindungi Amandemen Pertama dalam Konstitusi AS. Seburuk apa pun perkataan seseorang telah membuat orang lain tersinggung bukanlah kejahatan.
Kita di Indonesia mungkin sulit menerima bahwa ada hak untuk mengungkapkan pemikiran jahat dan menjijikkan dilindungi oleh konstitusi namun hal itu terjadi di AS. Tugas dari pejabat terpilih dan penegak hukum adalah mencegah terjadinya kekerasan, baik oleh mereka menyuarakan kebencian ataupun reaksi dari kelompok yang mendengarkan ujaran tersebut.
Amandemen Pertama AS tidak membatasi seberapa banyak orang mengatakan “saya menyukai anda”. Demikian pula dengan mereka yang mengatakan “saya membenci anda”.
Amandemen Pertama dianggap justru melindungi mereka yang mengatakan “saya membenci anda”, terutama ketika mereka mengajukan kritik atau ketidakpuasan. Oleh sebab itu, ujaran kebencian dianggap definisi karet karena tanggapan setiap orang berbeda-beda.
Meski demikian, Amandemen Pertama AS tidak melindungi kalimat-kalimat yang mengandung kata-kata, seperti pelecehan seksual, pencemaran nama baik (termasuk fitnah), pornografi anak, sumpah palsu, kalimat yang mengandung pemerasan atau ancaman untuk melakukan kejahatan, “fighting words” atau kata-kata yang bisa memancing kontak fisik, serta pelanggaran hak intelektual termasuk komersial.
Amandemen Pertama ini sangat penting dan bahkan jantung dari demokrasi di AS. Salah satu penjelasan antara lain, karena penduduk AS dalam sejarahnya adalah pendatang. Mereka menaklukkan masyarakat adat Indian dan membangun sistem ekonomi dan politik baru.
Para pendatang berasal dari segala penjuru mulai dari Inggris, Irlandia, Skotlandia, Jerman, Belanda, Prancis, masyarakat Asia, hingga tidak tertinggal warga kulit hitam yang pernah menjadi budak. Heterogenitas ini membuat sistem ekonomi-politik AS menjadi kuat.
Kebebasan berbicara dan berpendapat menjadi penting dalam masyarakat. Bagaimana dengan masyarakat asli yang relatif homogen?
Di Eropa, tidak semua negara mengikuti secara kaku kebiasaan yang terjadi di AS. AS menyatakan simbol-simbol yang dianggap bisa menimbulkan kebencian (seperti logo Nazi) masih dilindungi Amandemen Pertama.
Sementara di Eropa, seperti Jerman atau Prancis, simbol-simbol itu bisa dianggap ujaran kebencian karena sejarah mereka dengan Holocaust di masa Perang Dunia II. Belanda juga membatasi kebebasan berbicara apabila menyangkut kebencian terhadap sebuah kelompok. Contoh adalah Geert Wilders yang dianggap bersalah oleh pengadilan pada tahun 2009 atas komentarnya terhadap kaum Muslim.
Di Inggris, Kristen Ben dan Sharon Vogelenzang juga divonis bersalah karena menyebut Nabi Muhammad sebagai “panglima perang”, termasuk Harry Taylor, seorang atheis yang meletakkan gambar menyindir agama Kristen dan Islam di ruang salat bandara.
Eropa sangat serius dengan masalah ujaran kebencian ini. Karena ekonomi mereka, khususnya angkatan kerja kerah biru atau manual, sangat tergantung dari imigran yang sebagian besar bukan beragama atau hidup dalam tradisi Kristen dan sekuler (khususnya Jerman).
Secara demografi, penduduk mereka sebagian besar adalah orang tua sementara keturunan mereka jarang menikah dan sedikit memiliki anak. Kaum imigran adalah angkatan buruh yang penting bagi kesinambungan kapitalisme mereka. Oleh sebab itu, tidak heran apabila Jerman sangat gencar mengusulkan pembatasan ujaran kebencian di media sosial.
Fakta-fakta tersebut dapat memberikan kita penjelasan bahwa akan menjadi persoalan, apabila kita menggunakan satu kerangka berpikir masyarakat tertentu untuk diterapkan dalam masyarakat lainnya. Karena itu, penting dalam diplomasi untuk tidak mengomentari atau perlu waspada mengomentari sesuatu yang terjadi di dalam negeri atau sebuah negara tanpa melakukan penyelidikan sangat mendalam.
Kesimpulan ini pun bukan hal baru. Dalam konteks penegakan hak asasi manusia, pendekatan universalitas versus pendekatan partikular masih berlangsung. Meski demikian, dunia semakin lama semakin terintegrasi yang mengharuskan kita mulai berpikir untuk menyusun kerangka kerja sama ke depan.
Masyarakat yang terintegrasi melalui globalisasi bukan berarti menghilangkan perbedaan, tetapi justru menciptakan sebuah realita atau kenyataan baru yang mungkin belum dipikirkan secara dalam oleh para pemimpin negara sebelumnya.
(poe)