Ibadah Haji

Selasa, 15 Agustus 2017 - 09:07 WIB
Ibadah Haji
Ibadah Haji
A A A
Prof Dr Sudjito, SH, MSi
Guru Besar Ilmu Hukum,
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM 2013-2015

SAYA berlindung ke hadirat Allah SWT dari perbuatan riya. Ditulisnya artikel ini, tiada maksud lain kecuali untuk syiar Islam dan upaya berbagi pengalaman, agar dapat di­ambil manfaat oleh saudaraku yang sedang mempersiapkan diri untuk berhaji.

Saya berhaji pada 1994, ketika berumur 40 tahun. Pada umur tersebut bukannya kondisi badanku sehat, kuat, perkasa, melainkan sakit-sakitan. Badanku kurus. Tensi di antara 50-90. Faktor-faktor fisik dan psikis, diduga menjadi sebabnya. Dalam kondisi demikian, senantiasa terpikir bahwa kematian bisa datang setiap waktu. Alangkah menyesalnya, bila kematian tiba, rukun Islam yang jumlahnya lima itu, belum semuanya kujalani. Bilangan lima sungguh tidak banyak. Empat di antaranya, sekalipun dalam kadar elementary, sudah kujalani. Tinggal haji yang belum. Kuterus berdoa dan berusaha, sebatas kemampuan.

Tekad berhaji, kuiringi dengan menabung. Kala itu, terkumpullah uang Rp150.000. Tanpa ada waiting list, tabungan kuambil, dan segera mendaftarkan diri. Kapan berangkat? Tergantung kesanggupan melunasi kekurangan pembiayaannya. Kala itu biaya haji reguler Rp4.500.000. Kekurangan masih banyak. Tidak apa. Diajarkan para ustaz, siapa pun niat berhaji sudah bulat, tetapi urung berangkat karena sesuatu hal, misal karena kematian, niat haji itu akan dicatat dengan tinta emas oleh malaikat, dan kelak akan dibalas dengan surga. Ilmu Islam ini benar-benar memotivasiku berhaji.

Kuceritakan niat dan awal proses berhaji kepada istri. ”Masih kayak gitu kok mau haji. Jangan bikin malu. Perbaiki dulu salat dan ibadah lainnya. Lagi pula biayanya dari mana?” Itulah perasaan kaget dan penasaran seorang istri. Saya menundukkan muka. Hatiku menangis, malu. Berhari-hari kucoba yakinkan padanya bahwa niat berhajiku betul-betul karena Allah SWT. Segala kekurangan, lahir-batin, perihal peribadatan, ataupun bekal, pasti Allah SWT mencukupkannya. Istriku mulai mendukung, dan men­doakannya sepenuh hati.

Ujian keimanan dan kesabaran, menimpaku. Di jalan raya, saya diserempet pengendara motor, dia marah-marah. Pak RT ketika kumintai surat kelengkapan administrasi haji, dipahaminya sebagai urusan gaji. Maklum, saya pegawai negeri, gajinya masih rendah. Dikiranya ada masalah soal gaji rendah itu. Akan tetapi bukti kebenaran ayat-ayat Allah segera tercurah padaku. Banyak orang memberikan uang, baik langsung ataupun melalui pekerjaan, dan cara lain.

”Mas Djito, besok sore ke rumah ya, saya ada real sisa haji kemarin, silakan untuk sangu”. Begitulah tangan Allah menghampiriku. Semacam itu, bertubi-tubi, datang bak hujan deras. Dalam rentang waktu singkat, kekurangan biaya haji terpenuhi. Subhanallah.

Manasik haji segera kujalani. Setiap regu berjumlah sepuluh orang. Dibimbing oleh guru berpengalaman berhaji. Diajarkanlah berbagai persiapan mental-spiritual, maupun hal-hal lain demi kemabruran haji. Dari situlah ilmu haji dikhatamkan. Tak perlu panik seandainya terpisah dari regunya.

Living cost, kala itu cukup untuk makan-minum selama berhaji. Dengan model masak bersama-sama setiap regu, pengeluaran sangat irit. Sisa living cost mencukupi untuk beli karpet, sajadah, kurma, jam tangan, dan berbagai oleh-oleh lain.

Pengalaman spiritual-religius amat berharga, antara lain pertama, segala ayat-ayat Allah SWT diperlihatkan kebenarannya. Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semua amalan dibalas kontan. Contoh, penyakit pada diriku diangkat. Dokter menyatakan semua organ normal. Kesehatan prima. Berhaji menjadi nikmat, luar biasa. Semangat beribadah pun dapat dimaksimalkan. Setiap salat wajib dapat ditegakkan di masjid. Sela-sela waktu dapat digunakan untuk menolong orang lain.

Kedua, suatu ketika berada di depan pintu Kakbah, sebelah sumur zamzam, pikiran nakal melintas. ”Ya Allah, kok kebanyakan orang berhaji sudah tua”. Seketika di hadapanku hadir remaja putri amat cantik, didampingi remaja putra amat ganteng. Keduanya tersenyum padaku. Sekian lama tak mau beranjak. Bingung, malu, dan merasa berdosa karena kenakalan pikiranku.

Aku beristigfar berulang-ulang. Setelah kusampaikan padanya salam, keduanya menghilang. Sejak saat itu, di mata saya, sekitar Kakbah dikelilingi putri cantik begitu banyak. Ketika kuceritakan peristiwa ini, seorang ustaz memberi nasihat, jangan bersedih, itu rezekimu, nanti di surga lebih elok dari peristiwa itu.

Ketiga, ada anggota legislatif dan keluarganya tersesat. Terlunta-lunta, kepanasan, pingsan, tak makan, tak minum, berhari-hari. Uang berjuta-juta berasal dari gratifikasi, ternyata penyebab datangnya musibah. Di Makkah, siapa pun tak bersedia menerima uangnya. Seketika uang dibuang, terdengarlah suara azan dan taksi mengantarkannya ke masjid, gratis. Diceritakan segalanya dengan penuh penyesalan.

Keempat, doa-doa pribadi, seperti minta jodoh, berhenti merokok, membangun mesjid, diberikan anak keturunan, atau materi duniawi lainnya, begitu mudah Allah mengabulkannya. Sungguh rugi bila hanya itu permohonannya. Berdoalah, rabbana aatina fiddunyaa hasanah wafil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzabanaar.

Kelima, setiba di rumah, pengamalan berhaji kuceritakan kepada istri dan anak. Mereka minta didoakan agar bisa berhaji juga. Tahun 1997, kami sekeluarga plus mertua, diizinkan berhaji. Dalam waktu sedemikian singkat, bekal dicukupkan Allah. Anak berumur 10 tahun bukan beban, justru menambah kenikmatan haji.

Indikator haji mabrur terlihat dari sikap, perilaku, serta amalannya, semakin sopan santun, saleh, dermawan, condong ke akhirat daripada dunianya. Raihlah kenikmatan dan kemabruran hajimu. Sebaik-baik bekal haji adalah takwa. Wallahu’alam.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5863 seconds (0.1#10.140)