Rekrutmen Calon Hakim: Momentum Reformasi Peradilan

Senin, 07 Agustus 2017 - 08:05 WIB
Rekrutmen Calon Hakim:...
Rekrutmen Calon Hakim: Momentum Reformasi Peradilan
A A A
Sudarsono, Hakim Yustisial MA RI

Nurul Ghufron,
Dekan FH UNEJ

SEJAK kemarin mulai dari tanggal 1 hingga 26 Agustus 2017, negara akan melakukan penerimaan pendaftaran calon hakim (cakim) yang jumlahnya mencapai 1.684 orang. Penerimaan cakim terbesar dalam sejarah republik ini. Jumlah tersebut terakumulasi karena tujuh tahun sama sekali tidak ada rekrutmen hakim.

Membandingkan jumlah hakim tingkat pertama (PN) seluruh Indonesia berjumlah 4.200 orang dengan beban pengadilan tingkat pertama sejumlah 380 PN sehingga tidak kurang ada 35 PN berhakim hanya empat orang di tengah menumpukkan perkara berjibun.

Urgensi Hakim
Konstitusi UUD NKRI 1945 telah menegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Indonesia Negara Berdasarkan Hukum. Dalam keluarga sistem hukum civil law, menghendaki semua hal harus diatur oleh hukum tertulis demi terwujudnya kepastian dan perlindungan hukum. Dus, alami hukum selalu kalah cepat dari perkembangan masyarakat, Portalis (penyusun code civil) mengatakan: "UU langsung ketinggalan zaman sejak palu pengesahan UU tersebut diketok!".

Karena pembentuk hukum tidak akan pernah mampu menggambarkan secara sempurna dan lengkap permasalahan yang terjadi di lapangan pada masa kini dan pada kemudian hari. Di situlah ruang interpretasi diperlukan. Norma yang umum memang sengaja dibuat untuk menjaga fleksibilitas. Sementara ketika fleksibel yang dipilih, maka kepastiannya akan kurang. Ditambah lagi, dengan semakin banyak UU dibentuk, semakin besar kemungkinan timbul konflik norma (antinomi) di antara peraturan perundang-undangan tersebut.

Terhadap semua hal yang disebabkan tidak mungkinnya kesempurnaan peraturan perundang-undangan tersebut, hakimlah yang harus menyelesaikannya. Hakim secara personal selain harus menguasai hukum, ia juga dituntut bernalar hukum dengan baik untuk menghidupkan hukum in concreto. Hakimlah yang menghidupkan hukum dalam kehidupan bernegara. Karena itu, hakim adalah salah satu tiang utama dari negara.

Hakim bukan sekadar "corong UU" (bounche de la loi ), tapi ia harus mampu menafsirkan (menginterpretasi), menemukan hukumnya jika ada kekosongan hukum (rechtsvinding ), dan menyelaraskannya jika terdapat konflik norma antarperaturan perundang-undangan (preferensi hukum). Demi keadilan, hakim berwenang pula membatalkan suatu peraturan perundang-undangan melalui judicial review.

Hakim dalam kasus konkret dapat mengesampingkan penerapan peraturan perundang-undangan yang dirasa mencederai keadilan, seperti dalam Putusan PTUN Jakarta yang mengesampingkan Pasal 33 huruf h Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1/1984 menjadi dasar pembredelan pers pada masa lalu. Hakim adalah tonggak dari hukum.

Sementara kalau kita bandingkan dengan berbagai jabatan utama negara, Presiden, MPR, DPR, DPD, kementerian, bahkan pemerintah daerah dan lainnya, pengaturannya telah diatur dan diubah beberapa kali hampir tiap lima tahun melalui UU. Kemudian pengaturan pengisian jabatan hakim masih belum pernah diatur dalam undang-undang.

Mandeknya rekrutmen hakim salah satunya karena perdebatan makna dan aturan "jabatan hakim" itu, apakah tergolong pejabat negara, pejabat negara tertentu, ataukah PNS. Perdebatan itu belum usai, sampai saat ini sedang dibahas rancangan undang-undang jabatan hakim (RUU-JH). Sementara ini diputuskan menggunakan jalur CPNS.

Independen dan Imparsial
Bagi seorang hakim independensi dan imparsialitas adalah conditio sine qua non agar hakim bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Independensi hakim bermakna hakim dalam memutus suatu kasus tidak boleh diintervensi oleh apa pun dan siapa pun. Imparsialitas hakim bermakna hakim dalam memutus suatu kasus tidak boleh memihak, harus fair, mendengar semua pihak secara berimbang (audi et alteram partem ), dan tidak boleh memiliki kepentingan dengan suatu kasus.

Berdasarkan asas independensi dan imparsialitas ini, fokus hakim dalam memeriksa suatu kasus adalah menetapkan apa yang hukum dalam kasus dimaksud, bukan hal lainnya. Dalam hukum positif Indonesia, asas independensi dan imparsialitas ini telah dinormakan dalam UU Kekuasaan Kehakiman maupun dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kesalahan kita merekrut cakim pada yang tidak kapabel merupakan penyebab awal struktural tidak tegaknya keadilan.

Rekrutmen cakim dalam jumlah spektakuler ini harus menjadi momen reformasi peradilan Indonesia. Bayangkan 1.684 cakim dari 4.200 tersebut adalah lebih dari 40% hakim Indonesia. Wajah hukum Indonesia akan sedikit banyak berwajah sebagaimana hasil rekrutmen cakim saat ini. Aspek penegakan hukum sejauh ini dipandang sisi suram bangsa yang dianggap paling lambat reformasinya sejak tuntutan reformasi 1998.

Rekrutmen hakim harus memberikan harapan melalui proses yang tepat, yakni transparan, akuntabel, dan sesuai kapabilitasnya. Tanpa itu, proses rekrutmen yang besar ini hanya akan menjadi bagian dari pelanggengan kronis hukum atau bahkan memperburuk wajah hukum ke depan.

Merekrut hakim bukanlah sekadar merekrut karyawan negara pada umumnya, mengingat hakim adalah manusia setengah dewa yang diberi wewenang membubarkan kebahagiaan dan kebersamaan antara anak dengan orang tuanya, suami dengan istrinya, bahkan di palunya nyawa seseorang digantungkan.

Hakimlah manusia yang diberi wewenang Tuhan di dunia untuk mencabut hak dasar anugerah tuhan. Bagaimana tidak, tulisan karya hakim adalah karya manusia yang distempel dan diatasnamakan kuasa Tuhan. Hakim harus melewati batas-batas manusia biasa yang memiliki interes keduniaan begitu besar.

Oleh karena itu, tak cukup hakim direkrut dengan metode rekrutmen SDM perusahaan ataupun negara biasa. Indonesia menunggu dan berharap bahwa 1.684 calon hakim yang terseleksi pada tahun ini akan menjadi hakim yang sadar bahwa mata saat memeriksa, lisan saat bertanya disidang, dan tangan yang menulis putusan adalah mata, lisan, dan tangan Tuhan. Hanya pada mereka Indonesia bisa berharap mentari keadilan akan segera terbit.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1690 seconds (0.1#10.140)