Revolusi Konstitusional dan Rekonsiliasi Nasional

Rabu, 19 Juli 2017 - 08:03 WIB
Revolusi Konstitusional...
Revolusi Konstitusional dan Rekonsiliasi Nasional
A A A
Prof Dr Sudjito, SH, MSi
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM 2013 -2015

KATA “Revolusi Konstitusional” muncul pada 27 Juni 2017, saat pertemuan Presidium Alumni 212, di Yogyakarta. Revolusi Konstitusional melalui jalur Komnas HAM dan DPR RI sebagai bagian dari “Resolusi Yogya” dipandang menjadi opsi paling tepat untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran, perpecahan, dan konflik horizontal, bila rekonsiliasi atau dialog nasional gagal diselenggarakan karena persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh Presidium Alumni 212 ditolak pemerintah.

Saya, sejujurnya, gagap terhadap ide, bentuk, operasional, dan seluk-beluk revolusi konstitusional yang dimaksud. Sebatas pengetahuan tekstual, revolusi secara harfiah berarti “perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata)”. Dulu, di negeri ini, kata “revolusi”, sering digunakan oleh Bung Karno dalam kerangka pergerakan nasional.

Bung Karno merumuskan arti dan hakikat revolusi sebagai “perombakan, penjebolan, penghancuran, pembinasaan dari semua yang tidak kita sukai, dan membangun apa yang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan keadaan yang tua untuk melahirkan keadaan yang baru”. Dikatakan pula, “Kaum sosialis adalah revolusioner, bukan karena bertingkah laku keras, tapi karena anggapan mereka tentang tumbuhnya cara produksi, yakni: di dalam pertumbuhan itu harus ditimbulkan pengertian-pengertian dan bentuk baru tentang milik dan produksi.”

Dalam analisa saya, revolusi konstitusional memiliki kesamaan dengan revolusi ala Bung Karno, cuma berbeda penekanan pada pelakunya, yakni Komnas HAM dan DPR RI, bukan rakyat secara keseluruhan. Bila peran Komnas HAM dan DPR RI ternyata gagal, barulah ditempuh opsi lain, yakni people power, sebagai solusi terakhir. Alternatif mana pun pilihannya, dipastikan dikawal secara damai, aman, dan konstitusional.

Saya ragu, apakah bangsa Indonesia saat ini dapat dikategorikan sebagai masyarakat revolusioner, dan dapat digerakkan secara revolutif untuk mencapai perubahan kehidupan yang lebih baik? Tokoh aliran studi hukum kritis dari Amerika, Roberto M Unger, dalam bukunya Law and Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory (1976), memberikan penjelasan menarik perihal masyarakat revolusioner di era modern.

Sifat paling mencolok masyarakat revolusioner adalah upayanya untuk mempertemukan industrial, birokrasi, dan kekuatan nasional dengan mencapai ideal komunitas persaudaraan atau egaliter. Pengambilalihan “sarana produksi”, hanyalah satu dari sekian banyak tanda dan alat program komunitarian, walaupun mungkin yang paling mendasar.

Dalam konteks Indonesia saat ini, sungguh tidak mudah mewujudkan komunitas persaudaraan atau egaliter antar-berbagai elemen masyarakat sebagaimana diidealkan Unger tersebut. Paling tidak, Presidium Alumni 212 merasakan ada masalah serius, yakni ketidakadilan pemerintah dalam perlakuan atas sesama komponen bangsa.

Umat Islam, secara sistemik, distigmakan sebagai komponen antitoleransi, anti­kebhinnekaan, bahkan dituduh tidak Pancasilais. Tokoh-tokoh politik dan ulama dikriminalisasikan, dicari-cari kesalahannya, dikaitkaitkan dengan korupsi.

Teroris cenderung diidentikkan sebagai perilaku umat Islam yang sesat, dan tanpa pembuktian terlebih dulu, langsung diciduk, ditangkap, bahkan ditembak. Hal lain, bahwa “sarana produksi” maupun perekonomian nasional, telah dikuasai oleh sekelompok orang nonpribumi, yang diduga telah berjasa mendudukkan politisi atau birokrat pada posisi strategis dalam pemerintahan; sementara itu mayoritas penduduk yang nota bene umat Islam, dipaksa menjadi buruh-buruh atau obyek penderita lainnya. Disadari atau tidak, mayoritas penduduk telah dijebak dalam berbagai perpecahan dan konflik horizontal.

Dalam terminologi hukum kritis, agar masyarakat revolusioner eksis, manifes, dan efektif, diperlukan kesadaran atas dua hal, yakni: pertama, kesadaran adanya tindakan radikal dan tidak kenal belas kasihan terhadap masyarakat ataupun pengelolaan sumber daya alam oleh rezim penguasa dan pengusaha. Kedua, kesadaran pentingnya keutamaan-keutamaan ikatan kolektif, agar pengorbanan, kriminalisasi, atau pembusukan individual dapat dihentikan.

Tak kalah pentingnya adalah peran tokoh nasional berjiwa revolusioner, berjuang tanpa pamrih pribadi, kelompok, atau kepartaian. Presidium Alumni 212, diharapkan merupakan representasi kelompok tokoh-tokoh revolusioner militan, bijak dalam bertindak, santun dalam berinteraksi dan berkomunikasi.
Pada dimensi hukum, sepak terjang masyarakat revolusioner akan bersentuhan dengan dua jenis hukum, yakni perintah birokrasi dan regulasi otonom.

Hukum birokrasi diberlakukan secara represif, masif, dan sistemik; sementara itu regulasi otonom yang sarat perlindungan hak asasi manusia (HAM) teramat sering diabaikan. Komnas HAM mestinya berperan mengontrol pemberlakuan regulasi otonom yang lembek itu, tetapi nyatanya, Komnas HAM tidak berdaya. Barangkali, berangkat dari situasi inilah, maka revolusi konstitusional berpadu dengan pemberdayaan Komnas HAM dan DPR RI (sebagai representasi masyarakat revolusioner).

Di luar jenis hukum di atas, masih ada hukum agama dan quasi hukum adat. Kekuatan hukum agama dan quasi hukum adat, secara sosiologis kurang berarti, namun ketika kasus-kasusnya sampai di pengadilan, maka di tangan hakim-hakim progresif, kekuatan hukum agama dan quasi hukum adat bisa sangat signifikan serta mengalahkan hukum negara. Kita berharap, di negeri ini banyak hakim-hakim progresif revolusioner itu.

Revolusi konstitusional bukanlah ancaman, melainkan koreksi terhadap anomali tatanan dan perilaku bernegara, demi terwujudnya keharmonisan dan keadilan sosial, selaras dengan Pancasila dan UUD 1945. Semoga, dialog nasional dan rekonsiliasi terselenggara tanpa revolusi konstitusional. Wallahu’alam .
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0888 seconds (0.1#10.140)