Djibouti dan Pangkalan Militer Asing
A
A
A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder & Director Atma Jaya Institute of Public Policy
KEPUTUSAN politik luar negeri China untuk mengirimkan sekitar 700 bala tentara secara permanen ke Djibouti telah menimbulkan pertanyaan penting mengenai politik luar negeri negara komunis terbesar di dunia tersebut. Apakah China sudah akan bersiap-siap mengembangkan kebijakan outward-looking ataukah pengiriman tersebut hanya betul-betul sebatas menjaga perdamaian seperti yang dinyatakan oleh pejabat resmi mereka?
Bila memang China mulai mengubah kebijakan politik negeri untuk mengalokasikan militernya dalam menjaga kepentingan di luar negeri, keputusan ini mungkin menjadi salah satu yang akan mengubah geopolitik di Timur Tengah.
Djibouti adalah sebuah negara kecil di Benua Afrika yang berbatasan wilayah dengan Somalia, Etiopia, dan Eritrea. Negara bekas jajahan Prancis ini merdeka pada tanggal 27 Juni 1977.
Letak Djibouti yang berada di ujung Tanduk Afrika memudahkan akses yang strategis ke Selat Bab el-Mandeb. Selat tersebut, dengan ketinggian hanya 18 mil di titik tersempitnya, menghubungkan Laut Mediterania melalui Terusan Suez dan Laut Merah ke Teluk Aden dan Samudra Hindia.
Jalur-jalur itu termasuk jalur tersibuk dan terpenting di dunia. Jutaan barel minyak dan produk minyak bumi negara-negara Arab dan Afrika melewati selat itu setiap hari. Pelabuhan laut yang juga menjadi ibu kota Djibouti disebut sebagai “Hong Kong di Laut Merah” karena sangat sibuk dan gaya hidup metropolis penghuninya yang mencolok bila dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya.
Djibouti memiliki penduduk 923.000 jiwa dengan luas wilayah 23.200 kilometer persegi atau setengah luasnya dari Provinsi Jawa Barat. Negara ini adalah negara multietnis dengan mayoritas memeluk agama Islam (94%) dan Kristen (6%). Meski demikian, ada dua kelompok etnik yang dominan, yaitu Somalia (60%), Afar (35%), dan selebihnya adalah Arab Yaman, Eropa, dan Etiopia.
China bukanlah satu-satunya negara yang membangun pangkalan militer di sana. Letak yang strategis itu menjadi alasan beberapa negara untuk membangun pangkalan militer mereka di sana.
Amerika Serikat (AS) memiliki basis permanen militer terbesar di Djibouti yang bernama Camp Lemonnier. Kamp ini adalah bekas basis militer Prancis yang kemudian disewakan ke AS. Kamp tersebut menampung setidaknya 4.000 personel militer sejak tahun 2001.
Prancis juga memiliki pasukan sekitar 1.500–1.700 prajurit dan telah menandatangani persetujuan kerja sama dengan Djibouti sejak 2003. Negara Asia pertama yang mendirikan pangkalan ini adalah Jepang. Jepang mengirimkan 180 prajurit dan tinggal di lahan seluas 12 hektare yang letaknya dekat dengan Camp Lemonnier.
Beberapa alasan mengapa Djibouti menjadi tempat favorit untuk membangun pangkalan militer antara lain karena negara ini relatif stabil sehingga penting berada di sana untuk memantau situasi gejolak politik dan ekonomi di Timur Tengah. Jalur perdagangan di kawasan itu sering menjadi sasaran perompak dari kelompok-kelompok kriminal di Somalia.
Jalur ini juga sering digunakan oleh kelompok teroris, misalnya Al-Shabab Islamic, untuk menyuplai senjata-senjata di kawasan Timur Tengah. Dari Djibouti, AS banyak melakukan operasi-operasi militer, baik yang bersifat rahasia atau terbuka. Paling penting dari posisi Djibouti adalah kunci untuk mengumpulkan segala macam data intelijen yang berputar di kawasan tersebut dan melakukan pengawasan atas informasi itu.
China sendiri menjelaskan melalui media massa yang dikelola negara bahwa pembangunan basis militer di sana adalah untuk tujuan perdamaian. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan pada sebuah konferensi pers pada Rabu (12/7) bahwa basis dukungan China di Djibouti akan bermanfaat bagi China untuk memenuhi tanggung jawab internasionalnya terhadap konvoi pasukan perdamaian di Teluk Aden dan di perairan lepas pantai Somalia serta menawarkan bantuan kemanusiaan (Global Times, 2017).
Peran utama pangkalan tersebut adalah untuk mendukung kapal perang China yang beroperasi di wilayah tersebut dalam operasi anti-pembajakan dan operasi kemanusiaan. "Ini bukan tentang cara mengendalikan dunia," kata editorial media tersebut.
Basis militer itu juga akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional seperti menyediakan dukungan logistik bagi patroli anti-pembajakan angkatan laut di Teluk Aden, mengevakuasi orang-orang dalam kondisi krisis, dan memberikan dukungan logistik dalam pemeliharaan perdamaian.
Terlepas dari pernyataan resmi tersebut, saya menilai bahwa kehadiran pangkalan militer China di Djibouti adalah pilot project China untuk memperluas pengaruh. Pilihan Djibouti adalah pilihan yang strategis secara politik karena akan mengurangi gempa politik daripada bila dilakukan di negara lain.
Kehadiran China ini sebetulnya telah membuat Jepang khawatir ketika pembangunan infrastruktur dimulai pertama kalinya di bulan Februari 2016. Jepang memperpanjang sewa lahan untuk kamp militer dan menjanjikan bantuan USD30 juta untuk negara-negara di Benua Afrika. Jumlah itu sebetulnya baru setengah dari USD60 juta yang dikucurkan China ditambah dengan penghapusan utang beberapa negara Afrika.
Kehadiran militer selain untuk mengamankan jalur ekonomi dan perdagangan juga secara pasti memperkuat daya penggentar terhadap kekuatan lain. Lersch dan Sarti (2016) mengatakan bahwa pembentukan basis militer asing adalah kunci untuk memahami distribusi kekuasaan dalam ruang lingkup pengaruh di dunia.
Pembangunan basis militer di negara asing yang berdaulat adalah mekanisme awal untuk membangun jaringan massa dengan fungsi utama mempertahankan kontrol, terutama oleh kekuatan atau negara yang besar. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa jaringan itu tidak akan menjadi infrastruktur perang di masa datang atau ketika keadaan menentukan.
Pangkalan militer asing menjadi perangkat kepanjangan tangan organisasi yang paling penting seperti NATO dan Uni Eropa. Hal itu terjadi di Ukraina, Rusia, dan Krimea dan saat ini di Afrika.
Keberadaan pangkalan militer asing itu sendiri berubah setelah Perang Dunia II atau khususnya sesudah runtuhnya blok Soviet. Pangkalan militer dalam Perang Dingin adalah melanjutkan konstelasi perimbangan kekuatan pasca-Perang Dunia II.
Sementara itu pangkalan militer sesudah Perang Dingin atau khususnya setelah serangan teroris tahun 2001 di AS lebih fokus pada pemberantasan terorisme dan menjaga jalur perdagangan ekonomi. AS misalnya mengubah penguatan basisnya dari Eropa (peninggalan Perang Dingin) ke Timur Tengah dan Asia Tengah (karena alasan ini sumber dari gerakan terorisme). Di seluruh dunia, AS memiliki sekitar 700–800 pangkalan militer asing.
China awalnya hanya mengirimkan tenaga nonmiliter untuk misi-misi perdamaian yang memang telah disetujui PBB. China baru mengirimkan tenaga militer belakangan ini, yakni ke kawasan Sudan Selatan dan Mali. Itu pun dalam misi perdamaian PBB.
Hal itu dilakukan karena ada banyak pekerja dari daratan China yang bekerja di sana dan butuh untuk diselamatkan. Di luar itu, sepanjang catatan saya, China tidak pernah mengirimkan tenaga militer.
Oleh sebab itu, kehadiran militer China di Djibouti adalah lembaran baru kebijakan politik China yang terjadi seiring dengan semakin besarnya kepentingan negara tersebut di Afrika dan Timur Tengah. Hubungan ekonomi antara China dan Benua Afrika semakin mesra seiring dengan menguatnya perekonomian China.
China melampaui AS sebagai mitra dagang terbesar Afrika pada 2009. China adalah tujuan ekspor sebesar 15% sampai 16% ekspor Sub-Sahara Afrika dan sumber impor 14% sampai 21% dari impor wilayah tersebut, menurut perkiraan dari Thomson Reuters dan The World Bank (Eleanor Albert, 2017).
Saya mencoba berpikir positif bahwa kehadiran militer China di luar negeri adalah untuk tujuan baik. Mungkin dengan makin aktif dalam politik global di masa kini, China akan membuka mata terhadap pentingnya mengadopsi nilai-nilai universal seperti HAM, perdagangan yang berkeadilan, sikap terhadap nilai-nilai kemanusiaan ke dalam relasinya dengan negara-negara lain.
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder & Director Atma Jaya Institute of Public Policy
KEPUTUSAN politik luar negeri China untuk mengirimkan sekitar 700 bala tentara secara permanen ke Djibouti telah menimbulkan pertanyaan penting mengenai politik luar negeri negara komunis terbesar di dunia tersebut. Apakah China sudah akan bersiap-siap mengembangkan kebijakan outward-looking ataukah pengiriman tersebut hanya betul-betul sebatas menjaga perdamaian seperti yang dinyatakan oleh pejabat resmi mereka?
Bila memang China mulai mengubah kebijakan politik negeri untuk mengalokasikan militernya dalam menjaga kepentingan di luar negeri, keputusan ini mungkin menjadi salah satu yang akan mengubah geopolitik di Timur Tengah.
Djibouti adalah sebuah negara kecil di Benua Afrika yang berbatasan wilayah dengan Somalia, Etiopia, dan Eritrea. Negara bekas jajahan Prancis ini merdeka pada tanggal 27 Juni 1977.
Letak Djibouti yang berada di ujung Tanduk Afrika memudahkan akses yang strategis ke Selat Bab el-Mandeb. Selat tersebut, dengan ketinggian hanya 18 mil di titik tersempitnya, menghubungkan Laut Mediterania melalui Terusan Suez dan Laut Merah ke Teluk Aden dan Samudra Hindia.
Jalur-jalur itu termasuk jalur tersibuk dan terpenting di dunia. Jutaan barel minyak dan produk minyak bumi negara-negara Arab dan Afrika melewati selat itu setiap hari. Pelabuhan laut yang juga menjadi ibu kota Djibouti disebut sebagai “Hong Kong di Laut Merah” karena sangat sibuk dan gaya hidup metropolis penghuninya yang mencolok bila dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya.
Djibouti memiliki penduduk 923.000 jiwa dengan luas wilayah 23.200 kilometer persegi atau setengah luasnya dari Provinsi Jawa Barat. Negara ini adalah negara multietnis dengan mayoritas memeluk agama Islam (94%) dan Kristen (6%). Meski demikian, ada dua kelompok etnik yang dominan, yaitu Somalia (60%), Afar (35%), dan selebihnya adalah Arab Yaman, Eropa, dan Etiopia.
China bukanlah satu-satunya negara yang membangun pangkalan militer di sana. Letak yang strategis itu menjadi alasan beberapa negara untuk membangun pangkalan militer mereka di sana.
Amerika Serikat (AS) memiliki basis permanen militer terbesar di Djibouti yang bernama Camp Lemonnier. Kamp ini adalah bekas basis militer Prancis yang kemudian disewakan ke AS. Kamp tersebut menampung setidaknya 4.000 personel militer sejak tahun 2001.
Prancis juga memiliki pasukan sekitar 1.500–1.700 prajurit dan telah menandatangani persetujuan kerja sama dengan Djibouti sejak 2003. Negara Asia pertama yang mendirikan pangkalan ini adalah Jepang. Jepang mengirimkan 180 prajurit dan tinggal di lahan seluas 12 hektare yang letaknya dekat dengan Camp Lemonnier.
Beberapa alasan mengapa Djibouti menjadi tempat favorit untuk membangun pangkalan militer antara lain karena negara ini relatif stabil sehingga penting berada di sana untuk memantau situasi gejolak politik dan ekonomi di Timur Tengah. Jalur perdagangan di kawasan itu sering menjadi sasaran perompak dari kelompok-kelompok kriminal di Somalia.
Jalur ini juga sering digunakan oleh kelompok teroris, misalnya Al-Shabab Islamic, untuk menyuplai senjata-senjata di kawasan Timur Tengah. Dari Djibouti, AS banyak melakukan operasi-operasi militer, baik yang bersifat rahasia atau terbuka. Paling penting dari posisi Djibouti adalah kunci untuk mengumpulkan segala macam data intelijen yang berputar di kawasan tersebut dan melakukan pengawasan atas informasi itu.
China sendiri menjelaskan melalui media massa yang dikelola negara bahwa pembangunan basis militer di sana adalah untuk tujuan perdamaian. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan pada sebuah konferensi pers pada Rabu (12/7) bahwa basis dukungan China di Djibouti akan bermanfaat bagi China untuk memenuhi tanggung jawab internasionalnya terhadap konvoi pasukan perdamaian di Teluk Aden dan di perairan lepas pantai Somalia serta menawarkan bantuan kemanusiaan (Global Times, 2017).
Peran utama pangkalan tersebut adalah untuk mendukung kapal perang China yang beroperasi di wilayah tersebut dalam operasi anti-pembajakan dan operasi kemanusiaan. "Ini bukan tentang cara mengendalikan dunia," kata editorial media tersebut.
Basis militer itu juga akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional seperti menyediakan dukungan logistik bagi patroli anti-pembajakan angkatan laut di Teluk Aden, mengevakuasi orang-orang dalam kondisi krisis, dan memberikan dukungan logistik dalam pemeliharaan perdamaian.
Terlepas dari pernyataan resmi tersebut, saya menilai bahwa kehadiran pangkalan militer China di Djibouti adalah pilot project China untuk memperluas pengaruh. Pilihan Djibouti adalah pilihan yang strategis secara politik karena akan mengurangi gempa politik daripada bila dilakukan di negara lain.
Kehadiran China ini sebetulnya telah membuat Jepang khawatir ketika pembangunan infrastruktur dimulai pertama kalinya di bulan Februari 2016. Jepang memperpanjang sewa lahan untuk kamp militer dan menjanjikan bantuan USD30 juta untuk negara-negara di Benua Afrika. Jumlah itu sebetulnya baru setengah dari USD60 juta yang dikucurkan China ditambah dengan penghapusan utang beberapa negara Afrika.
Kehadiran militer selain untuk mengamankan jalur ekonomi dan perdagangan juga secara pasti memperkuat daya penggentar terhadap kekuatan lain. Lersch dan Sarti (2016) mengatakan bahwa pembentukan basis militer asing adalah kunci untuk memahami distribusi kekuasaan dalam ruang lingkup pengaruh di dunia.
Pembangunan basis militer di negara asing yang berdaulat adalah mekanisme awal untuk membangun jaringan massa dengan fungsi utama mempertahankan kontrol, terutama oleh kekuatan atau negara yang besar. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa jaringan itu tidak akan menjadi infrastruktur perang di masa datang atau ketika keadaan menentukan.
Pangkalan militer asing menjadi perangkat kepanjangan tangan organisasi yang paling penting seperti NATO dan Uni Eropa. Hal itu terjadi di Ukraina, Rusia, dan Krimea dan saat ini di Afrika.
Keberadaan pangkalan militer asing itu sendiri berubah setelah Perang Dunia II atau khususnya sesudah runtuhnya blok Soviet. Pangkalan militer dalam Perang Dingin adalah melanjutkan konstelasi perimbangan kekuatan pasca-Perang Dunia II.
Sementara itu pangkalan militer sesudah Perang Dingin atau khususnya setelah serangan teroris tahun 2001 di AS lebih fokus pada pemberantasan terorisme dan menjaga jalur perdagangan ekonomi. AS misalnya mengubah penguatan basisnya dari Eropa (peninggalan Perang Dingin) ke Timur Tengah dan Asia Tengah (karena alasan ini sumber dari gerakan terorisme). Di seluruh dunia, AS memiliki sekitar 700–800 pangkalan militer asing.
China awalnya hanya mengirimkan tenaga nonmiliter untuk misi-misi perdamaian yang memang telah disetujui PBB. China baru mengirimkan tenaga militer belakangan ini, yakni ke kawasan Sudan Selatan dan Mali. Itu pun dalam misi perdamaian PBB.
Hal itu dilakukan karena ada banyak pekerja dari daratan China yang bekerja di sana dan butuh untuk diselamatkan. Di luar itu, sepanjang catatan saya, China tidak pernah mengirimkan tenaga militer.
Oleh sebab itu, kehadiran militer China di Djibouti adalah lembaran baru kebijakan politik China yang terjadi seiring dengan semakin besarnya kepentingan negara tersebut di Afrika dan Timur Tengah. Hubungan ekonomi antara China dan Benua Afrika semakin mesra seiring dengan menguatnya perekonomian China.
China melampaui AS sebagai mitra dagang terbesar Afrika pada 2009. China adalah tujuan ekspor sebesar 15% sampai 16% ekspor Sub-Sahara Afrika dan sumber impor 14% sampai 21% dari impor wilayah tersebut, menurut perkiraan dari Thomson Reuters dan The World Bank (Eleanor Albert, 2017).
Saya mencoba berpikir positif bahwa kehadiran militer China di luar negeri adalah untuk tujuan baik. Mungkin dengan makin aktif dalam politik global di masa kini, China akan membuka mata terhadap pentingnya mengadopsi nilai-nilai universal seperti HAM, perdagangan yang berkeadilan, sikap terhadap nilai-nilai kemanusiaan ke dalam relasinya dengan negara-negara lain.
(poe)