Komputerisasi dan Sistem Pembayaran

Kamis, 06 Juli 2017 - 08:20 WIB
Komputerisasi dan Sistem Pembayaran
Komputerisasi dan Sistem Pembayaran
A A A
ACHMAD DENI DARURI
President Director Center for Bangkin Crisis

JANET Yellen yang juga gubernur bank sentral di Amerika Serikat mengingatkan bahwa kebutuhan komputer (teknologi) dalam sistem pembayaran tidak bisa dilepaskan dari adanya kompetisi di dalam sistem pembayaran itu sendiri.

Pergeseran yang sedang berlangsung dari sistem pembayaran tunai dan kertas ke sistem pembayaran elektronik berpotensi membawa manfaat ekonomi yang besar.

Namun, kartu pembayaran pada khususnya tetap mahal untuk pedagang dan regulasi mungkin memiliki konsekuensi tidak diinginkan. Tidak ada konsensus di antara para ekonom dan pembuat kebijakan tentang apa yang merupakan struktur biaya efisien untuk pembayaran berbasis kartu dan tidak jelas apakah kompetisi pembayaran mungkin melakukan trik.

Peraturan harus diarahkan untuk menghilangkan hambatan masuk di pasar pembayaran dan melarang pembatasan pedagang (harga). Diskusi ini membahas pengalaman beberapa negara yang terjadi baru-baru ini pada perkembangan mengenai semua bentuk pembayaran berbasis nonkertas, seperti kartu debit dan kredit serta pembayaran elektronik (melalui internet, ponsel, dan lainnya).

Banyak pelaku yang sedang menyelidiki pasar ini dan yurisdiksi Uni Eropa menerapkan arahan pembayaran layanan Uni Eropa bertujuan menyediakan pasar tunggal untuk pembayaran. Tentu dalam era komputer saat ini hal tersebut bukan hal mustahil. Apalagi didukung oleh superkomputer.

Superkomputer lebih unggul dalam kecepatan daripada komputer di rumah-rumah biasa. Komputer ini pada umumnya dikhususkan untuk penghitungan tertentu, biasanya penghitungan angka dan bukan untuk tugas umum.

Hierarki memorinya didesain secara hati-hati untuk memastikan prosesornya tetap menerima data dan instruksi setiap saat. Sistemnya juga didesain supaya bisa mendukung bandwidth yang lebar. Seperti dengan sistem paralel pada umumnya, hukum Amdahl berlaku. Superkomputer didesain menghilangkan kelemahan susunan seri dan menggunakan sistem hardware paralel untuk mempercepat dari kelemahan sempitnya bandwidth.

Dengan berkembangnya superkomputer di dunia, diperlukan sistem komputerisasi jaringan terpadu. Jaringan ini pada dasarnya adalah sebuah infrastruktur menghubungkan sebuah komputer dengan komputer lain di seluruh dunia. Tujuannya melakukan suatu komputasi yang rumit sehingga suatu proyek rumit dan memakan waktu lama oleh satu superkomputer hanya membutuhkan waktu lebih sedikit jika dilakukan dengan sistem komputasi terdistribusi.

Tujuannya adalah menyatukan kemampuan dari sumber daya (sumber komputasi atau sumber informasi) yang terpisah secara fisik ke dalam suatu sistem gabungan terkoordinasi dengan kapasitas jauh melebihi dari kapasitas individual komponen-komponennya. Tujuan lain yang ingin dicapai adalah transparansi.

Kenyataan bahwa sumber daya yang dipakai pengguna sistem terdistribusi berada pada lokasi fisik terpisah, tidak perlu diketahui pengguna tersebut. Transparansi ini memungkinkan pengguna sistem terdistribusi untuk melihat sumber daya yang terpisah tersebut seolah-olah sebagai satu sistem komputer tunggal seperti yang biasa digunakannya.

Pada tingkat lebih rendah, penghubungan beberapa komputer dengan menggunakan jaringan sangat dibutuhkan. Pada tingkat lebih tinggi menghubungkan proses yang berjalan dalam komputer tersebut dengan sistem komunikasi juga dibutuhkan. Karena itu, diperlukan kesiapan sumber daya manusia untuk mendukung komputerisasi dalam sistem pembayaran.

Ada baiknya Indonesia belajar dari sistem pendidikan negara yang maju dalam teknologi tinggi seperti Jerman. Kebanyakan universitas di Jerman fokus pada pengajaran daripada penelitian.

Penelitian dilakukan oleh institut independen yang bekerja pada bidang akademik, seperti Max Planck, Fraunhofer, Leibniz, dan Helmholtz. Institut spesialisasi ini tidak disertakan dalam peringkat akademik sehingga menjadikan universitas-universitas di Jerman tampak berperingkat rendah (seperti peringkat ARWU).

Beberapa institut teknologi di Jerman pun mulai mengalihkan fokus mereka ke penelitian. Jelas sekali bahwa sistem pendidikan di Indonesia harus mampu memfokuskan pada penelitian. Selain itu, pendidikan liberal arts juga harus dikembangkan.

Ada banyak sekali institusi budaya di Jerman. Ada 240 teater yang disubsidi pemerintah, ratusan simfoni orkestra, ribuan museum, dan lebih dari 25.000 perpustakaan tersebar di negara ini. Pengunjung dan penikmatnya pun banyak, yakni lebih dari 91 juta pengunjung museum tiap tahunnya, 20 juta pengunjung teater dan opera, dan 3,6 juta pengunjung orkestra simfoni.

Dengan demikian pengambangan penelitian harus sejalan dengan perkembangan kebudayaan.
Jerman juga menjadi negara dari banyak penemu dan insinyur, seperti Johannes Gutenberg (penemu mesin cetak), Hans Geiger (penemu pencacah Geiger), dan Konrad Zuse (pembuat komputer digital otomatis pertama).

Salah satu masalah yang dihadapi Jerman dalam usaha menyatukan sumber daya yang terpisah ini antara lain adalah skalabilitas, bisa atau tidaknya sistem tersebut dikembangkan lebih jauh untuk mencakup sumber daya komputasi yang lebih banyak.

Itu langkah idealnya. Bagi negara yang sedang berkembang tentu mencapai hal tersebut memerlukan perencanaan yang matang dan serius. Seperti halnya kesulitan negara sedang berkembang dalam membangun sektor industri, membangun sistem pembayaran yang kompetitif berbasis komputer, juga bukan hal mudah.

Namun, sejarah telah mencatat bahwa negara yang berhasil dengan industrialisasi juga memiliki keunggulan dalam sistem pembayaran berbasis teknologi informatika, contohnya Taiwan.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4123 seconds (0.1#10.140)