Antisipasi Perubahan Raskin ke Bantuan Nontunai

Jum'at, 09 Juni 2017 - 08:29 WIB
Antisipasi Perubahan...
Antisipasi Perubahan Raskin ke Bantuan Nontunai
A A A
Bustanul Arifin
Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila dan Ekonom Senior Indef

Sebagaimana dimaklumi, tahun 2017 ini pemerintah telah resmi melaksanakan kebijakan bantuan pangan nontunai (BPNT) di 44 kabupaten/kota menggunakan voucher atau kartu pintar, sebagai proses transisi perubahan kebijakan subsidi beras untuk keluarga miskin (raskin). Sempat beredar kabar bahwa pemerintah akan melaksanakan penyaluran BPNT untuk seluruh Indonesia pada awal Juli 2017. Tapi, spekulasi kabar tersebut belum tentu benar, walau konon merupakan hasil rapat terbatas Kabinet Kerja. Pemerintah berencana akan melaksanakan penyaluran penuh pada awal 2018. Diskusi kebijakan dan debat publik memadai masih amat diperlukan sambil pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan penyaluran BPNT di 44 kota tersebut. Untuk daerah-daerah yang berada di lokasi jauh (remote ) dan tidak terjangkau internet atau koneksi data, perlakuan khusus masih akan dilakukan. Mekanisme bantuan kepada keluarga miskin atau prasejahtera masih akan menggunakan bentuk natura (beras) seperti biasa.

Desain kebijakan BPNT ini sebenarnya cukup sederhana. Rumah tangga sasaran (RTS) diberi voucher senilai Rp110.000 per bulan. Voucher dapat ditebus untuk membeli beras dan telur pada harga pasar di pedagang pasar tradisional dan warung yang telah teregistrasi. Tujuannya untuk memberikan pangan bergizi seimbang (beras karbohidrat dan telur protein) kepada keluarga miskin. Kebijakan BPNT ini untuk memberikan banyak pilihan kepada masyarakat miskin, tidak hanya beras, tapi juga protein, sekaligus untuk mendorong usaha ritel rakyat dan warung masyarakat untuk tumbuh dan berkembang dan melayani masyarakat miskin. Secara perlahan, kebijakan BPNT ini menggeser peran Bulog dalam penyaluran raskin kepada sejumlah usaha ritel dan warung yang tersebar di setiap permukiman.

Untuk pilot project 44 kota pada tahun 2017 ini sekitar 1,3 juta RTS (kini berubah istilah menjadi keluarga penerima mafaat/KPM) atau hampir 8,5% dari 15,5 juta total penerima raskin, akan dilayani oleh pengecer yang telah dilengkapi perangkat EDC (electronic data capture). Sekitar 14.000 toko dan pengecer kebutuhan pokok terlibat dalam program BPNT ini, tidak terkecuali Rumah Pangan Kita, toko jaringan pengecer yang dikelola Bulog. Bulog menjalin kerja sama dengan sejumlah bank milik ne­gara (BUMN) untuk mengantisi­pasi pelaksanaan BPNT ini kelak. Kementerian Pertanian juga mengembangkan konsep Toko Tani Indonesia (TTI) yang juga menjual bahan kebutuhan po­kok dengan harga yang disubsidi, walau belum jelas, apakah kelak akan juga didaftarkan sebagai jaringan pelaksana BPNT.

Kebijakan raskin telah berumur hampir 20 tahun, berawal dari program operasi pasar khusus (OPK) pada 1998 untuk mebantu mengurangi dampak krisis ekonomi Asia. Raskin secara resmi diluncurkan pada 2002, menjelang perubahan status Bulog dari lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) menjadi BUMN berbentuk perusahaan umum (perum). Justifikasi ilmiah program raskin cukup kuat, karena 65% pangsa pengeluaran keluarga miskin dialokasikan untuk konsumsi pangan. Sekitar 26% pangsa pengeluaran mereka dibelanjakan untuk beras sehingga membuat keluarga miskin Indonesia amat rentan terhadap kenaikan harga beras. Ketika pemerintah mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang juga diikuti peningkatan harga eceran beras, angka kemiskinan sempat meningkat menjadi 28,59 juta (11,22%) pada Maret 2015, dari 27,73 juta (10,96) pada Septem­ber 2014. Angka kemiskinan memang berhasil diturunkan menjadi 27,76 juta (10,7%) pada September 2016, walau dengan laju yang semakin me­lambat.

Selama hampir 20 tahun ini program raskin yang telah men­jadi bagian tugas publik (PSO) Bulog telah dicoba berkali-kali untuk dihentikan, tetapi belum berhasil. Misalnya, raskin pernah dituding menjadi penyebab turunnya harga beras atau ga­bah di tingkat petani sehingga mengurangi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksinya. Sekian temuan tentang ketidakefektifan Raskin, termasuk yang dilaporkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2014. Raskin tidak sepenuhnya memenuhi enam tepat: tepat harga, sasaran, waktu, jumlah, kualitas, dan administrasi, terutama karena ekses atau unsur implementasi kebijakan. Program Raskin terlalu sulit untuk dihilangkan begitu saja karena konstitusi mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar wajib dipelihara negara. Bukti empiris menunjukkan bahwa keterlambatan penyaluran raskin berdampak pada peningkatan harga beras, sebagaimana yang terjadi terakhir pada awal 2015.

Pada 2017 ini Bulog masih ditugasi untuk menyalurkan 1,5 juta ton beras kepada 14,2 juta atau 91,5 % dari keluarga miskin (RTS) selama ini, karena 1, 3 juta (8,5 %) telah menjadi keluarga penerima manfaat (KPM) program BPNT. Program raskin tidak langsung dihilangkan, tapi diubah dari kebijakan stabilisasi harga beras dan perlindungan sosial menjadi hanya kebijakan perlindungan sosial. Suatu hasil evaluasi inter­nal di lima sampel kota pelaksana BPNT menunjukkan bahwa data KPM tidak sesuai dengan Pedoman Umum (Pedum) BPNT Tahun 2017. Pencairan voucher bulan Januari-Februari menggunakan data program perlindungan sosial (PPLS) Tahun 2011. Penyaluran BPNT dilakukan untuk waktu dua bulan sekaligus atau dirapel. Kesiapan toko ecer­an yang ditunjuk atau e-warung belum optimal, karena jumlah e-warung masih amat terbatas. Badan Pusat Statistik telah melakukan Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015 yang seharusnya digunakan sebagai acuan penentuan KPM yang lebih objektif.

Jika program BPNT nanti beroperasi, pemerintah wajib mengantisipasi hal-hal berikut ini. Pertama, skema penyaluran beras dari hasil serapan gabah oleh Bulog, termasuk sandi khusus Sergab, jika Bulog masih tetap ditugaskan untuk melakukan stabilisasi harga pangan. Skema pembiayaan baru perlu diciptakan untuk meningkatkan cadangan beras pemerintah (CBP) dari 300.000 ton selama ini menjadi 2,5 juta ton sebagai­mana selama ini disalurkan melalui program raskin. Tentu terlalu riskan untuk menyerahkan urusan beras sepenuhnya pada mekanisme pasar karena negara seakan tidak hadir pada saat harga gabah jatuh di musim panen atau pada saat harga beras melambung pada kemarau nanti.

Kedua, mekanisme peng­amanan lonjakan harga beras di tingkat konsumen, yang tidak akan cukup hanya dengan harga acuan pembelian dan penjualan dalam Peraturan Menteri Per­dagangan Nomor 27/2017 tang­gal 5 Mei 2017. Jika seluruh 15,5 juta rumah tangga miskin harus “masuk pasar beras” tentu akan menambah permintaan baru, walaupun masih tergantung pada elas­tisitas pendapatan konsumen. Apalagi, jika masyarakat miskin beramai-ramai meningkatkan konsumsi beras kualitas tinggi, yang tidak selamanya dapat di­penuhi dari produksi domestik.

Ketiga, desain kebijakan perberasan baru yang sama sekali berbeda dengan kebijakan perberasan dalam Instruksi Presiden Nomor 5/2015. Instrumen kebijakan dan mekanisme pengadaan gabah dan beras harus berubah, apalagi karakter sistem produksi dan konsumsi beras berbeda antardaerah dan antarbudaya. Jika antisipasi ini gagal dilakukan, dampak yang akan ditanggung oleh sistem perekonomian akan sangat besar dan sulit terbayangkan sebelumnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6065 seconds (0.1#10.140)