Menyehatkan Wacana Publik
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
BELAKANGAN ini wacana publik berkembang tidak sehat. Penuh cacian dan ekspresi subjektif yang lebih mengedepankan emosi. Bukan hasil perenungan dan penalaran demi kepentingan bersama.
Sejak ditemukan teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet, setiap orang bebas, bahkan bisa seenaknya, ikut mengisi wacana publik. Terdapat perbedaan mencolok kualitas dan arah wacana publik pada masa sebelum dan sesudah ditemukan media sosial (medsos) yang berbasis internet. Mari kita amati bersama.
Dulu yang menjadi opinion maker dan opinion leader itu para elite pemimpin, intelektual, dan tokoh-tokoh masyarakat yang terseleksi, melalui media televisi, surat kabar atau mimbar ceramah. Pidato Presiden dan jajarannya akan dijadikan rujukan masyarakat, sementara pejabat di bawahnya akan menjadi penyambung lidah kebijakan atasan.
Kemudian peran televisi dan surat kabar juga terkontrol. Oleh karenanya yang mendominasi wacana publik bukan sembarang orang. Di samping pejabat tinggi negara, hanya figur-figur yang dianggap memiliki reputasi intelektual dan berpendidikan tinggi yang pendapatnya quotable, dikutip, dan disebarkan oleh media massa.
Sekarang era itu telah berakhir, suasana batin masyarakat mengalami perubahan, khususnya mereka yang masuk komunitas netizen. Dengan handphone, seseorang bisa jadi produsen berita dan opini serta konsumen sekaligus yang dengan mudah dan murah ikut menyebarkan berita maupun gambar melalui WhatsApp, Twitter atau program lain dalam waktu yang cepat dan singkat. Arah dan semangat yang mendominasi ruang publik sangat dipengaruhi peristiwa sosial yang sedang jadi tren.
Bagi pencinta sepak bola, misalnya, ketika berlangsung Piala Dunia, topik bola menjadi tema wacana publik yang mengasyikkan. Tapi belakangan ini peristiwa politik Pilkada DKI telah melibatkan partisipasi tidak saja sebatas warga Jakarta, tetapi juga berskala nasional untuk menyampaikan sikap politiknya.
Peristiwa itu sesungguhnya mengungkapkan banyak hal, tidak semata pemilihan gubernur DKI. Di antaranya perasaan dan pikiran privat yang bersifat sangat pribadi dan subjektif lalu muncul dan mendominasi ruang publik tanpa ada kriteria, standar, dan seleksi kepantasan dari sisi isi maupun etika.
Semuanya bisa dilempar dan ditumpahkan ke ruang publik hanya melalui handphone, kapan saja, dari mana saja, dengan jumlah pengguna yang selalu berkembang. Setiap orang bisa menjadi penulis, pembaca, dan analis tanpa seleksi dan moderator.
Dari pengamatan sementara, bahasa yang tampil di medsos akhir-akhir ini mungkin pengaruh dari Pilkada DKI, lebih mengemuka ekspresi like or dislike, senang atau tidak senang ketimbang ungkapan-ungkapan "salah-benar" hasil pengamatan dan penalaran kritis-kontemplatif.
Kalau sikap politik "senang-tidak senang", argumen lawan secanggih apa pun tidak digubris. Orang pun terbiasa berpikir pendek, bacaannya pendek-pendek berupa postingan sehingga emosinya bersumbu pendek.
Anehnya, wacana publik yang memikirkan kebangsaan di atas segregasi sosial malah tidak muncul atau tidak laku. Pemikiran kritis dan objektif dikalahkan oleh semangat dan emosi "suka dan tidak suka" terhadap kelompoknya.
Jika sentimen identitas etnis dan agama ini berkelanjutan dan melebar ke mana-mana, pada urutannya hal itu akan mengkhianati amanat para pendiri bangsa yang mencanangkan moto Bhinneka Tunggal Ika. Kohesi sosial rapuh, ikatan berbangsa pun kendur, bahkan bisa putus. Yang namanya Indonesia seperti yang dicitakan para pejuang kemerdekaan akan tinggal nama tanpa substansi.
Yang juga menarik perhatian kita, perkembangan teknologi transportasi dan informasi yang berkembang sangat cepat berpengaruh sangat dahsyat dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi sehingga mayoritas rakyat tidak sanggup memahami, mengikuti, dan menyesuaikan diri.
Untuk mayoritas rakyat yang tingkat pendidikan dan ekonominya rendah, yang dirasakan adalah kebingungan, tidak paham apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Tidak tahu siapa sesungguhnya panutan bangsa ini.
Mereka tidak tahu mana berita dan omongan yang benar dan salah, mana yang palsu (hoax) dan yang asli. Suasana batin masyarakat semakin tidak menentu lagi ketika melihat para elite politik dan agama bertengkar dan masing-masing menggunakan dalil keagamaan.
Mereka bingung meskipun agamanya sama, tetapi saling mencaci, menganggap yang lain munafik, bahkan kafir hanya karena berbeda mazhab atau beda pilihan jagonya dalam pilkada atau pemilu. Agama bukannya menyatukan, tetapi memecah. Agama bukan menenteramkan, tetapi membuat panas.
Ketika masyarakat bingung dan tidak mampu mengikuti perubahan yang sedemikian cepat, muncul crowd mentality. Mental kerumunan untuk mendapatkan rasa aman karena kehilangan kepercayaan diri dan gamang.
Mereka memilih berkumpul dengan kelompok yang memiliki identitas sama entah identitas etnis, agama, mazhab atau sekadar seragam bajunya. Salah satu yang paling efektif sebagai tempat perlindungan untuk mendapatkan comfort zone adalah identitas agama karena agama diyakini sebagai ruang sakral, kebenarannya diyakini absolut, dan berada pada pihak Tuhan, padahal konstruksi pemikiran keagamaan itu hasil pikiran manusia yang nisbi.
Keyakinan agama cenderung close ended, beda dengan penalaran ilmiah yang bersifat open ended. Tapi jika peran agama hanya sebagai tempat berlindung bagi mereka yang memiliki crowd mentality, agama akan kehilangan fungsi dan misinya sebagai motor dan pilar peradaban, pilar perdamaian, dan sumber kecerdasan. Para aktivis intelektual dan agamawan yang independen serta bijak bestari mesti aktif ikut mengisi wacana publik agar berkembang sehat, konstruktif, dan produktif.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
BELAKANGAN ini wacana publik berkembang tidak sehat. Penuh cacian dan ekspresi subjektif yang lebih mengedepankan emosi. Bukan hasil perenungan dan penalaran demi kepentingan bersama.
Sejak ditemukan teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet, setiap orang bebas, bahkan bisa seenaknya, ikut mengisi wacana publik. Terdapat perbedaan mencolok kualitas dan arah wacana publik pada masa sebelum dan sesudah ditemukan media sosial (medsos) yang berbasis internet. Mari kita amati bersama.
Dulu yang menjadi opinion maker dan opinion leader itu para elite pemimpin, intelektual, dan tokoh-tokoh masyarakat yang terseleksi, melalui media televisi, surat kabar atau mimbar ceramah. Pidato Presiden dan jajarannya akan dijadikan rujukan masyarakat, sementara pejabat di bawahnya akan menjadi penyambung lidah kebijakan atasan.
Kemudian peran televisi dan surat kabar juga terkontrol. Oleh karenanya yang mendominasi wacana publik bukan sembarang orang. Di samping pejabat tinggi negara, hanya figur-figur yang dianggap memiliki reputasi intelektual dan berpendidikan tinggi yang pendapatnya quotable, dikutip, dan disebarkan oleh media massa.
Sekarang era itu telah berakhir, suasana batin masyarakat mengalami perubahan, khususnya mereka yang masuk komunitas netizen. Dengan handphone, seseorang bisa jadi produsen berita dan opini serta konsumen sekaligus yang dengan mudah dan murah ikut menyebarkan berita maupun gambar melalui WhatsApp, Twitter atau program lain dalam waktu yang cepat dan singkat. Arah dan semangat yang mendominasi ruang publik sangat dipengaruhi peristiwa sosial yang sedang jadi tren.
Bagi pencinta sepak bola, misalnya, ketika berlangsung Piala Dunia, topik bola menjadi tema wacana publik yang mengasyikkan. Tapi belakangan ini peristiwa politik Pilkada DKI telah melibatkan partisipasi tidak saja sebatas warga Jakarta, tetapi juga berskala nasional untuk menyampaikan sikap politiknya.
Peristiwa itu sesungguhnya mengungkapkan banyak hal, tidak semata pemilihan gubernur DKI. Di antaranya perasaan dan pikiran privat yang bersifat sangat pribadi dan subjektif lalu muncul dan mendominasi ruang publik tanpa ada kriteria, standar, dan seleksi kepantasan dari sisi isi maupun etika.
Semuanya bisa dilempar dan ditumpahkan ke ruang publik hanya melalui handphone, kapan saja, dari mana saja, dengan jumlah pengguna yang selalu berkembang. Setiap orang bisa menjadi penulis, pembaca, dan analis tanpa seleksi dan moderator.
Dari pengamatan sementara, bahasa yang tampil di medsos akhir-akhir ini mungkin pengaruh dari Pilkada DKI, lebih mengemuka ekspresi like or dislike, senang atau tidak senang ketimbang ungkapan-ungkapan "salah-benar" hasil pengamatan dan penalaran kritis-kontemplatif.
Kalau sikap politik "senang-tidak senang", argumen lawan secanggih apa pun tidak digubris. Orang pun terbiasa berpikir pendek, bacaannya pendek-pendek berupa postingan sehingga emosinya bersumbu pendek.
Anehnya, wacana publik yang memikirkan kebangsaan di atas segregasi sosial malah tidak muncul atau tidak laku. Pemikiran kritis dan objektif dikalahkan oleh semangat dan emosi "suka dan tidak suka" terhadap kelompoknya.
Jika sentimen identitas etnis dan agama ini berkelanjutan dan melebar ke mana-mana, pada urutannya hal itu akan mengkhianati amanat para pendiri bangsa yang mencanangkan moto Bhinneka Tunggal Ika. Kohesi sosial rapuh, ikatan berbangsa pun kendur, bahkan bisa putus. Yang namanya Indonesia seperti yang dicitakan para pejuang kemerdekaan akan tinggal nama tanpa substansi.
Yang juga menarik perhatian kita, perkembangan teknologi transportasi dan informasi yang berkembang sangat cepat berpengaruh sangat dahsyat dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi sehingga mayoritas rakyat tidak sanggup memahami, mengikuti, dan menyesuaikan diri.
Untuk mayoritas rakyat yang tingkat pendidikan dan ekonominya rendah, yang dirasakan adalah kebingungan, tidak paham apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Tidak tahu siapa sesungguhnya panutan bangsa ini.
Mereka tidak tahu mana berita dan omongan yang benar dan salah, mana yang palsu (hoax) dan yang asli. Suasana batin masyarakat semakin tidak menentu lagi ketika melihat para elite politik dan agama bertengkar dan masing-masing menggunakan dalil keagamaan.
Mereka bingung meskipun agamanya sama, tetapi saling mencaci, menganggap yang lain munafik, bahkan kafir hanya karena berbeda mazhab atau beda pilihan jagonya dalam pilkada atau pemilu. Agama bukannya menyatukan, tetapi memecah. Agama bukan menenteramkan, tetapi membuat panas.
Ketika masyarakat bingung dan tidak mampu mengikuti perubahan yang sedemikian cepat, muncul crowd mentality. Mental kerumunan untuk mendapatkan rasa aman karena kehilangan kepercayaan diri dan gamang.
Mereka memilih berkumpul dengan kelompok yang memiliki identitas sama entah identitas etnis, agama, mazhab atau sekadar seragam bajunya. Salah satu yang paling efektif sebagai tempat perlindungan untuk mendapatkan comfort zone adalah identitas agama karena agama diyakini sebagai ruang sakral, kebenarannya diyakini absolut, dan berada pada pihak Tuhan, padahal konstruksi pemikiran keagamaan itu hasil pikiran manusia yang nisbi.
Keyakinan agama cenderung close ended, beda dengan penalaran ilmiah yang bersifat open ended. Tapi jika peran agama hanya sebagai tempat berlindung bagi mereka yang memiliki crowd mentality, agama akan kehilangan fungsi dan misinya sebagai motor dan pilar peradaban, pilar perdamaian, dan sumber kecerdasan. Para aktivis intelektual dan agamawan yang independen serta bijak bestari mesti aktif ikut mengisi wacana publik agar berkembang sehat, konstruktif, dan produktif.
(poe)