Rumah Suci Rumah Tuhan

Sabtu, 29 April 2017 - 08:30 WIB
Rumah Suci Rumah Tuhan
Rumah Suci Rumah Tuhan
A A A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]

Kita menyebutnya rumah suci, dengan segenap rasa hormat, disertai sikap menunduk, dalam-dalam, karena kita sendiri merasa diri kita yang hina-dina ini sama sekali tidak suci. Kita, orang-orang beriman, yang menyukai amal saleh juga menyebut rumah suci itu rumah Tuhan. Ini rumah Tuhan di bumi: sebuah rumah metaforis yang menggetarkan.

Tuhan tidak butuh apa-apa. Tapi kita menyediakan bagi-Nya rumah. Kita juga menyebut rumah ini rumah ibadah. Kita membuatkan-Nya rumah bukan karena cemas Tuhan akan kehujanan atau kedinginan, bukan, bukan. Tapi karena cinta. Semata karena cinta kitalah yang menggerakkan kita untuk membuatkan-Nya rumah tadi.

Kita masuk ke rumah ini dengan bersih-bersih diri lebih dulu: mandi, berpakaian bersih, syukur berwarna putih, dan disunahkan agar yang sudah bersih dan putih itu disemprot minyak wangi, tak peduli kita membelinya di Tanah Abang maupun di Tanah Suci. Sebenarnya Tuhan juga tidak kepincut dengan minyak itu, dari Tanah Suci sekalipun benda itu dibeli. Mungkin baik sekali diulangi kembali di sini: Tuhan tidak butuh apa-apa. Rumah suci, rumah Tuhan, rumah ibadah, itu kelihatannya lebih merupakan kebutuhan kita.

Rumah ibadah itu dengan sendirinya representasi dari rumah keluhuran. Di sana kita, dalam citra sejati umat beriman, berhadapan dengan Tuhan, dengan Allah. Di sana, kalau kita tak mampu melihat-Nya-dan niscaya memang tak mungkin mampu-, kita diminta sadar bahwa kita dilihat-Nya. Lalu dengan kerendahan hati seorang hamba yang fana, tapi khusuk lahir maupun batin, dalam kesadaran kosmologis fi dunya wal akhirah, kita memuji dan memuji dan memuji. Kita berdialog, bagaikan "bermuka-muka" dengan Allah, untuk memuji tadi. Tapi bisa juga bersyukur dan memohon. Ini barangkali momentum penyatuan kita, yang hidup dalam kefanaan ini, dengan Tuhan dalam keabadian-Nya.

Yang fana telah menyatu dengan yang Abadi, menyatu dalam jiwa, dalam cita rasa, jauh dari alam sadar kita: sebuah suasana yang disebut Rumi "ma­buk", cinta dan anggur, dalam ungkapan metaforis yang membuat kita seolah mengambang antara langit dan bumi. Mungkin ini suasana ekstase terindah dan pengalaman istimewa yang diberikan Tuhan kepada mereka yang dikasihi-Nya. Kita yang fana lalu lenyap, bukan sok meniada tapi memang tiada, karena hakikatnya hanya Dia yang Maha Ada.

Di rumah suci, rumah Tuhan, rumah ibadah, masjid, benda-benda di sekitar kita yang tak suci itu, menyatu dengan apa yang dalam pemahaman kita suci. Pengeras suara, teknologi yang duniawi, dalam momentum itu bagaikan menjadi benda surgawi dan kita, yang lemah, bernoda, kotor, dan tak suci ini, dalam imajinasi iman kita berubah total: yang manusiawi itu juga sekaligus yang Ilahi. Yang duniawi, yang lemah, yang tak suci dan yang manusiawi hilang menjadi yang Ilahi. Dan sekali lagi, ini menjadi begini karena hanya yang Ilahi yang ada dan Maha Ada.

Pengalaman ini sangat personal sifatnya dan hanya terjadi dalam momen ketika kita amat sadar, kita bukan apa, bukan siapa-siapa, dan tak bisa apa-apa. Ini sejenis ekstase yang membuat kita "mengambang" di alam serbasuci itu bukan sebuah pencapaian, melainkan hadiah, berupa perkenan Tuhan supaya kita bisa mengalaminya dengan raga yang fana dan tidak suci ini. Kita tidak mencapai, tapi dibuat mencapai, dan bi idznillah, dengan izin Allah, kita mengalaminya.

Momentum rohaniah seperti ini membuat kita berada dalam imajinasi sufistis penyair Melayu Amir Hamzah yang mendamba: "...aku manusia, rindu rasa/rindu rupa ... kau pelik menarik ingin/bak gadis di balik tirai...." Dalam momentum seperti itu pula, mungkin kita menjadi seperti penyair Melayu lainnya, Sutardji Calzoum Bahri, yang merasa telah menemukan jalan, tapi bukan Tuhan (yang dirindukannya) dan dia pun dengan sendirinya berdegup jiwanya, gemetar, lalu bertanya: "...berapa abad lewat/berapa arloji pergi/ berapa jejak menapak/untuk sampai pada-Mu?

Di rumah suci, rumah Tuhan, rumah ibadah, masjid, apa tindakan yang paling mampu memuaskan kerinduan spiritual kita kepada Tuhan? Kita seperti penyair Chairil Anwar yang bergumam dalam kelu lidahnya: "Tuhan, biar dalam termangu/kusebut juga nama-Mu? Tuhan, di pintu-Mu aku mengetuk/aku tak bisa berpaling?" Dan seperti Rumi, tiap kehabisan kata untuk memuji, dia lalu menari: tari pemujaan sejati?

Dalam peristiwa Agung yang disebut "isra" itu, Gusti Kanjeng Nabi bukan atas kehendak sendiri berjalan dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa dalam momen singkat, begitu singkat hingga tanpa iman orang tak sudi memercayainya. Pada malam itu, Tuhan memperjalankan beliau, entah dengan kekuatan energi yang bagaimana, tahu-tahu beliau mengalaminya. Ini pengalaman transendental yang otentik, mungkin paling otentik, bila dibandingkan dengan begitu banyak pengalaman transendental yang lain.

Dalam "mikraj" pada detik-detik sesudahnya, beliau dinaikkan ke langit-mikraj itu sendiri berarti naik ke langit-hingga ke Sidratul Munthaha, juga bukan karena beliau bisa, melainkan karena dibikin bisa oleh Allah yang berkuasa atas segala sesuatu itu.

Dari suatu masjid ke masjid lain, dari suatu rumah Tuhan ke rumah Tuhan yang lain dan dari suatu rumah ibadah ke rumah ibadah yang lain, Rasulullah, Habibullah, bermikraj. Lalu nyanyian anak-anak di madrasah mengingatkan kita: "...sampai di Sidratul Munthaha/menerima perintah yang mulia/salat fardu waktu lima...." Ini peristiwa rohaniah yang kemudian menjadi tonggak sejarah tentang kewajiban salat lima waktu dan sesudah itu kelihatannya berhubungan langsung dengan lahirnya masjid-masjid yang kini bagaikan sebanyak bintang-bintang di langit yang begitu gemerlap di malam sunyi yang pekat ketika kita berada di tengah lautan yang tak terbatas.

Masjid, rumah suci, rumah Tuhan, rumah ibadah, dan mikraj itu memiliki hubungan historis, rohaniah, dan sekaligus hadiah Tuhan kepada kita yang juga hadiah metaforis yang bukan bendawi. Salat itu zikir akbar dan salat juga berarti kita melakukan mikraj. Selebihnya, salat Jumat pun dianggap substitusi kita naik ke langit, mikraj tadi. Pertanyaan apa yang sebaiknya dilakukan di rumah suci, rumah Tuhan, rumah ibadah, masjid, yang disebut di atas belum disediakan jawabannya. Maka biarlah kita sejenak menengok apa yang duniawi, yang kultural, dan bukan rohaniah sifatnya. Pengalaman pribadi mungkin bisa menjadi tangga ke arah yang rohaniah dan suci.

Tiap kali saya sowan kepada Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X di Keraton Yogyakarta, di rumah beliau di Menteng, Jakarta, atau di suatu rumah makan, hati dan jiwa saya membungkuk, sampai dengan punggung saya yang tak terlalu lentur, karena rasa hormat kepada beliau dan pada tatanan kultural yang harus dijunjung tinggi untuk menjadi bagian dari amalan hidup se­hari-hari. Saya juga berusaha berpakaian sebaik mungkin untuk menghormati beliau. Kepada sultan atau raja pun begitu keharusan kultural mengaturnya.

Saya mencoba memberi nuansa kejiwaan pada sikap membungkuk itu tadi, untuk tidak membungkuk sekadar bungkuknya punggung, tapi juga rasa hormat kepada raja, kepada yang sedikit lebih tua, dan pada tatanan yang kita hormati sebagai kemuliaan etis yang sebaiknya tak usah didebat. Itu di rumah raja, di hadapan raja. Bagaimana di rumah Maharaja Diraja, di hadapan Maharaja yang berkuasa atas segala sesuatu?

Kita boleh menyatakan kedalaman rindu kita seperti penyair Amir Hamzah. Kita bisa meniru keharuan cinta Sutardji Calzoum Bahri. Kita pun bisa menjadi seperti Chairil Anwar. Atau Rumi yang menari.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0702 seconds (0.1#10.140)