Problema yang Mencerdaskan
A
A
A
Prof Dr Ir KH Mohammad Nuh
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
DIKISAHKAN, suatu hari rombongan peneliti berjalan dalam hutan dan melihat sebuah lubang. Di dasar lubang itu ternyata ada batu-batuan yang sangat mengkilap, memantulkan cahaya yang luar biasa indahnya.
Sebagai peneliti, naluri keingin tahuannya, sebagai bagian dari kepenasaranan intelektual muncul seketika. Salah seorang di antara mereka bergegas mencondongkan badannya dan berusaha mengambil batu-batuan tersebut, tapi lubangnya terlalu dalam.
Ia mencondongkan badannya lagi dan menjulurkan tangannya, tapi masih saja tak mampu menjangkaunya. Lalu, ia mengeluh, “Lubangnya terlalu dalam, lubangnya terlalu dalam …!”
Lalu kawannya berkata “Minggir, saya akan tunjukkan kepadamu apa masalahnya.”Ia mengambil sebatang galah yang dilengkapi penjepit. “Masalahnya bukan lubangnya yang terlalu dalam, tapi tanganmu yang terlalu pendek!” Ia menjulurkan galah di tangannya, dan berhasil lah mengambil batu-batuan tersebut.
Itulah karakteristik seseorang dalam menghadapi persoalan. Ada yang hobinya mempersoalkan atau mempersalahkan persoalan. Menyalahkan orang lain atau lingkungan, bukan karena keterbatasan dirinya.
Dengan mengatakan lubangnya yang terlalu dalam! Padahal, persoalan tidak butuh dipersoalkan, yang dibutuhkan adalah jawaban. Dan ada yang memahami bahwa persoalannya ada pada keterbatasan dirinya, dan segera mencari solusinya, tanpa harus mempersalahkan persoalan.
Dalam kaidah persoalan dan jawaban (problem-solving Priciples), apabila kita dihadapkan pada suatu persoalan, maka kita pilah mana yang tetap (fixed) – sebagai konstante yang tidak berubah dan mana yang bisa berubah- sebagai variabel. Dalam kasus ini yang tetap adalah posisi batu-batuan yang akan diambil.
Sedangkan yang bisa berubah adalah pengambil yaitu tangan kita yang harus aktif dalam berperan. Kita yang harus ‘menyesuaikan' dengan persoalan, bukan persoalan yang harus menyesuaikan dengan kita.
Dalam kehidupan, kita tidak akan bisa lari dari persoalan. Begitu kita melarikan diri dari persoalan, kita akan masuk pada persoalan baru. Yang harus kita siapkan adalah kemampuan untuk menjawab persoalan disertai kemampuan memilah dan memilih persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Kompleksitas Persoalan
Pada Juli 2016, Price Water Coopers (PwC) merilis hasil survei yang telah dilakukan terhadap 2.106 senior executives dunia. Dari survei tersebut menunjukkan bahwa, sofistikasi (kompleksitas) persoalan akan semakin meningkat sejalan dengan waktu dan waktu untuk menyelesaikannya harus semakin cepat.
Bisa dibayangkan, kalau kita sedang ujian. Dengan tingkat kesulitan lebih tinggi, tapi waktu yang diberikan lebih pendek !. Hasil survei tersebut sejalan dengan studi yang telah dilakukan oleh Yves Morieux (Six Simple Rules, How to Manage Complexity Without Getting Complicated, 2014).
Kompleksitas persoalan tersebut diakibatkan oleh jumlah manusia yang semakin bertambah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban. Studi yang dilakukan oleh Ian Goldin (Age of Discovery, 2016) menunjukkan bahwa, laju kompleksitas persoalan sosial (socio complexity) lebih cepat dibanding kemampuan pemahaman (cognitive capacity), sehingga semakin banyak misteri atau wilayah kehidupan yang masih gelap (blind zone).
Dalam perspektif kehidupan, fenomena ini sungguh sangat wajar, karena kalau semakin lama persoalan kehidupan semakin mudah, berarti kita mengalami proses ‘pembodohan’ atau siklus negatif. Tetapi sebaliknya, kalau derajat kompleksitas semakin tinggi, menjadi tantangan bagi kita untuk melakukan proses percerdasan atau membangun peradaban bersiklus positif.
Melihat kecenderungan masa depan yang semakin kompleks, maka tidak ada pilihan kecuali kita harus meningkatkan kapasitas berpikir orde tinggi (higher order thinking), lebih kreatif dan instuisi yang semakin tajam (intuition sharpness).
Tentu hal ini berbeda dalam tradisi profetik. Seorang Nabi atau Rasul, pengetahuan yang dimilikinya melampaui batas waktu kehidupan. Karena mendapatkan ‘wahyu’ dari Sang Maha Pencipta Kehidupan. Bagi orang yang beriman, keyakinan akan kehidupan setelah kematian bukanlah sebuah khayalan tentang masa depan (self fulfilling prophecy), tetapi sebuah kepastian dan kebenaran.
Keyakinan tersebut tidak harus dibuktikan, karena pernah mengalaminya. Analoginya tidak terlalu sulit. Bagi kita yang pernah membeli mobil baru, pasti dealer nya berpesan, nanti jangan lupa ya, kalau sudah mencapai x km, diganti oli dan seterusnya. Mengapa kita percaya dan kita ikuti?. Karena informasinya bersumber dari yang membuat mobil.
Orang yang Cerdas
Dalam kehidupan itu tidak bisa dilepaskan dari persoalan. Maka Allah Yang Maha Pencipta, dengan sifat Kasih Sayang-Nya, melengkapi dan menyediakan setiap masalah (kesulitan) tersedia banyak jawaban (kemudahan). Setiap penyakit ada obatnya (likulli daa-in dawaa-in). Dan kualitas seseorang salah satu ukurannya adalah berapa banyak masalah yang telah diselesaikan.
Kehidupan itu seperti orang kuliah, setiap masalah itu punya bobot SKS (Satuan Kredit Semester). Semakin banyak SKS yang diselesaikan dan semakin baik nilai per SKS nya, semakin banyak ‘credit point’ kita kumpulkan, maka kinerja kita semakin baik. Oleh karena itu, bagi orang yang cerdas, permasalahan yang dihadapi justeru dijadikannya sebagai tantangan dan kesempatan.
Falsafah syukur dan sabar dijadikan sebagai instrumen dalam menghadapi segala macam persoalan. Manfaatkan seluruh sumberdaya, potensi dan kesempatan (syukur). Ubah potensi jadi kekuatan, dengan kekuatan itulah digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Tidak ada jaminan, semua masalah langsung bisa diselesaikan, ada kemungkinan berhasil dan ada kemungkinan gagal. Di antara dua ekstrimitas yaitu berhasil dan gagal itulah wilayah ikhtiar kita, termasuk di dalamnya memohon pertolongan Allah dalam penyelesaian masalah tersebut.
Tidakkah melalui persoalan yang kita hadapi, hakikatnya Allah menguji, apakah kita sudah bersungguh-sungguh dalam berikhtiar dan tetap berada dalam dimensi kesabaran.
Memang, dari sisi epistimologi, kata ”problem” (masalah) berasal dari bahasa Yunani, proballein, mengandung makna yang sangat positif. Pro berarti forward atau maju. Sedangkan ballein berarti to drive atau to throw.
Problem berarti bergerak maju, kesempatan untuk maju dan berkembang. Oleh karena itu, problem dan kemajuan ibarat dua sisi mata uang. Kemajuan akan diperoleh setelah melalui serangkaian penyelesaian masalah.
Kemajuan tidak akan diperoleh tanpa menghadapi dan menyelesaikan masalah persoalan. Masalahnya adalah, bagaimana kita bisa menghadapi berbagai masalah tersebut secara cerdas, dengan efisien dan cost effectiveness yang rendah baik secara sosial, politik dan ekonomi.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
DIKISAHKAN, suatu hari rombongan peneliti berjalan dalam hutan dan melihat sebuah lubang. Di dasar lubang itu ternyata ada batu-batuan yang sangat mengkilap, memantulkan cahaya yang luar biasa indahnya.
Sebagai peneliti, naluri keingin tahuannya, sebagai bagian dari kepenasaranan intelektual muncul seketika. Salah seorang di antara mereka bergegas mencondongkan badannya dan berusaha mengambil batu-batuan tersebut, tapi lubangnya terlalu dalam.
Ia mencondongkan badannya lagi dan menjulurkan tangannya, tapi masih saja tak mampu menjangkaunya. Lalu, ia mengeluh, “Lubangnya terlalu dalam, lubangnya terlalu dalam …!”
Lalu kawannya berkata “Minggir, saya akan tunjukkan kepadamu apa masalahnya.”Ia mengambil sebatang galah yang dilengkapi penjepit. “Masalahnya bukan lubangnya yang terlalu dalam, tapi tanganmu yang terlalu pendek!” Ia menjulurkan galah di tangannya, dan berhasil lah mengambil batu-batuan tersebut.
Itulah karakteristik seseorang dalam menghadapi persoalan. Ada yang hobinya mempersoalkan atau mempersalahkan persoalan. Menyalahkan orang lain atau lingkungan, bukan karena keterbatasan dirinya.
Dengan mengatakan lubangnya yang terlalu dalam! Padahal, persoalan tidak butuh dipersoalkan, yang dibutuhkan adalah jawaban. Dan ada yang memahami bahwa persoalannya ada pada keterbatasan dirinya, dan segera mencari solusinya, tanpa harus mempersalahkan persoalan.
Dalam kaidah persoalan dan jawaban (problem-solving Priciples), apabila kita dihadapkan pada suatu persoalan, maka kita pilah mana yang tetap (fixed) – sebagai konstante yang tidak berubah dan mana yang bisa berubah- sebagai variabel. Dalam kasus ini yang tetap adalah posisi batu-batuan yang akan diambil.
Sedangkan yang bisa berubah adalah pengambil yaitu tangan kita yang harus aktif dalam berperan. Kita yang harus ‘menyesuaikan' dengan persoalan, bukan persoalan yang harus menyesuaikan dengan kita.
Dalam kehidupan, kita tidak akan bisa lari dari persoalan. Begitu kita melarikan diri dari persoalan, kita akan masuk pada persoalan baru. Yang harus kita siapkan adalah kemampuan untuk menjawab persoalan disertai kemampuan memilah dan memilih persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Kompleksitas Persoalan
Pada Juli 2016, Price Water Coopers (PwC) merilis hasil survei yang telah dilakukan terhadap 2.106 senior executives dunia. Dari survei tersebut menunjukkan bahwa, sofistikasi (kompleksitas) persoalan akan semakin meningkat sejalan dengan waktu dan waktu untuk menyelesaikannya harus semakin cepat.
Bisa dibayangkan, kalau kita sedang ujian. Dengan tingkat kesulitan lebih tinggi, tapi waktu yang diberikan lebih pendek !. Hasil survei tersebut sejalan dengan studi yang telah dilakukan oleh Yves Morieux (Six Simple Rules, How to Manage Complexity Without Getting Complicated, 2014).
Kompleksitas persoalan tersebut diakibatkan oleh jumlah manusia yang semakin bertambah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban. Studi yang dilakukan oleh Ian Goldin (Age of Discovery, 2016) menunjukkan bahwa, laju kompleksitas persoalan sosial (socio complexity) lebih cepat dibanding kemampuan pemahaman (cognitive capacity), sehingga semakin banyak misteri atau wilayah kehidupan yang masih gelap (blind zone).
Dalam perspektif kehidupan, fenomena ini sungguh sangat wajar, karena kalau semakin lama persoalan kehidupan semakin mudah, berarti kita mengalami proses ‘pembodohan’ atau siklus negatif. Tetapi sebaliknya, kalau derajat kompleksitas semakin tinggi, menjadi tantangan bagi kita untuk melakukan proses percerdasan atau membangun peradaban bersiklus positif.
Melihat kecenderungan masa depan yang semakin kompleks, maka tidak ada pilihan kecuali kita harus meningkatkan kapasitas berpikir orde tinggi (higher order thinking), lebih kreatif dan instuisi yang semakin tajam (intuition sharpness).
Tentu hal ini berbeda dalam tradisi profetik. Seorang Nabi atau Rasul, pengetahuan yang dimilikinya melampaui batas waktu kehidupan. Karena mendapatkan ‘wahyu’ dari Sang Maha Pencipta Kehidupan. Bagi orang yang beriman, keyakinan akan kehidupan setelah kematian bukanlah sebuah khayalan tentang masa depan (self fulfilling prophecy), tetapi sebuah kepastian dan kebenaran.
Keyakinan tersebut tidak harus dibuktikan, karena pernah mengalaminya. Analoginya tidak terlalu sulit. Bagi kita yang pernah membeli mobil baru, pasti dealer nya berpesan, nanti jangan lupa ya, kalau sudah mencapai x km, diganti oli dan seterusnya. Mengapa kita percaya dan kita ikuti?. Karena informasinya bersumber dari yang membuat mobil.
Orang yang Cerdas
Dalam kehidupan itu tidak bisa dilepaskan dari persoalan. Maka Allah Yang Maha Pencipta, dengan sifat Kasih Sayang-Nya, melengkapi dan menyediakan setiap masalah (kesulitan) tersedia banyak jawaban (kemudahan). Setiap penyakit ada obatnya (likulli daa-in dawaa-in). Dan kualitas seseorang salah satu ukurannya adalah berapa banyak masalah yang telah diselesaikan.
Kehidupan itu seperti orang kuliah, setiap masalah itu punya bobot SKS (Satuan Kredit Semester). Semakin banyak SKS yang diselesaikan dan semakin baik nilai per SKS nya, semakin banyak ‘credit point’ kita kumpulkan, maka kinerja kita semakin baik. Oleh karena itu, bagi orang yang cerdas, permasalahan yang dihadapi justeru dijadikannya sebagai tantangan dan kesempatan.
Falsafah syukur dan sabar dijadikan sebagai instrumen dalam menghadapi segala macam persoalan. Manfaatkan seluruh sumberdaya, potensi dan kesempatan (syukur). Ubah potensi jadi kekuatan, dengan kekuatan itulah digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Tidak ada jaminan, semua masalah langsung bisa diselesaikan, ada kemungkinan berhasil dan ada kemungkinan gagal. Di antara dua ekstrimitas yaitu berhasil dan gagal itulah wilayah ikhtiar kita, termasuk di dalamnya memohon pertolongan Allah dalam penyelesaian masalah tersebut.
Tidakkah melalui persoalan yang kita hadapi, hakikatnya Allah menguji, apakah kita sudah bersungguh-sungguh dalam berikhtiar dan tetap berada dalam dimensi kesabaran.
Memang, dari sisi epistimologi, kata ”problem” (masalah) berasal dari bahasa Yunani, proballein, mengandung makna yang sangat positif. Pro berarti forward atau maju. Sedangkan ballein berarti to drive atau to throw.
Problem berarti bergerak maju, kesempatan untuk maju dan berkembang. Oleh karena itu, problem dan kemajuan ibarat dua sisi mata uang. Kemajuan akan diperoleh setelah melalui serangkaian penyelesaian masalah.
Kemajuan tidak akan diperoleh tanpa menghadapi dan menyelesaikan masalah persoalan. Masalahnya adalah, bagaimana kita bisa menghadapi berbagai masalah tersebut secara cerdas, dengan efisien dan cost effectiveness yang rendah baik secara sosial, politik dan ekonomi.
(whb)