Mendidik Karakter (1)
A
A
A
Prof. Dr. Ir. KH. Mohammad Nuh
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
TRANSMISI nilai-nilai kebaikan adalah kerja peradaban. Sejarah mengingatkan kita bahwa perabadan tak selamanya tumbuh. Kadang bangkit, kadang runtuh. Ia meruntuh saat moral merosot—kala suatu masyarakat gagal mewariskan kebaikan-kebaikan utama—kekuatan karakternya—kepada generasi barunya. (Lance Morrow)
Pagi yang cerah, murid-murid kelas IV turun ke sawah untuk melihat proses pengolahan padi. Mulai dari menuai, merontokkan, menjemur, hingga menggiling padi. Mereka bersemangat dan bergembira, berjalan menyusuri pematang sawah, bertegur sapa dengan petani.
Ketika sampai di sawah, mereka membantu petani menuai padi dengan menggunakan sabit. Batang padi yang sudah dipotong dikumpulkan di pinggir sawah, lalu diangkut ke lapangan. Siswa melihat bagaimana petani merontokkan padi kering dalam karung berukuran kecil yang memungkinkan diangkut oleh siswa. Satu per satu mereka bergantian memanggul karung padi itu ke tempat penggilingan.
Saat berada di tempat penggilingan, spontan Akbar bertanya kepada gurunya. “Bu Guru, berarti kita harus melepaskan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik ya?”
“Memangnya kenapa, Akbar?” tanya guru menanggapi.
“Lihat, Bu, agar jadi beras yang bersih, yang siap dimasak menjadi nasi, padi harus melepaskan kulitnya. Kita harus seperti itu, Bu.”
Ibu guru tertegun dan bangga. Akbar yang baru kelas IV SD sudah bisa memetik nilai dari sebuah proses penggilingan padi. Sepulang dari sawah, Ibu Guru meminta siswa mengambil nilai-nilai yang mereka dapatkan.
“Kita harus bersyukur dengan rezeki yang diberikan Tuhan,” kata Gita sambil angkat tangan.
“Kita harus menghargai jerih payah petani,” tukas Hani.
Beberapa siswa lain pun menambahkan hasil refleksinya. Itu semua makna yang dapat diungkapkan dalam bahasa lisan. Namun, guru menemukan pelajaran paling berharga yang tak diungkapkan siswa lewat kata-kata. Sejak itu, tidak ada sebutir nasi pun yang tersisa di piring mereka ketika makan siang bersama di sekolah. Mereka sudah meninggalkan kesia-siaan atau kemubadziran.
Kisah tersebut bukan fiktif, melainkan aktivitas nyata anak-anak SD yang menerapkan pendidikan berbasis karakter sebagai bagian dari masukan waktu menyusun dan merumuskan Kurikulum 2013 yang mengintegrasikan kompetensi sikap, ketrampilan dan pengetahuan. Pagi itu mereka tengah belajar tentang empati: merasakan langsung bagaimana rasanya menjadi petani. Empati diyakini para ahli sebagai inti emosi moral yang membantu anak didik memahami perasaan orang lain. Empati membuat mereka peka terhadap kebutuhan orang lain dan mendorong mereka untuk saling menolong dan saling mengasihi.
Begitulah salah satu contoh praksis pendidikan moral atau karakter. Jangan bayangkan mereka harus menghafal setumpuk dalil dan teori tentang kebaikan, kejujuran, ketulusan, dan karakter luhur lainnya. Itu hanya menambah pengetahuan tentang kebaikan. Penting tapi tak cukup. “The dimensions of character are knowing, loving, and doing the good,” kata Thomas Lickona. Para pendidik bangsa saat dulu mendirikan sekolah agar anak-anak didik mereka mengetahui yang baik, mencintai yang baik, dan mengamalkan yang baik. Itulah etika (kebaikan). Tentu diajarkan pula tentang logika (kebenaran) dan estetika (keindahan).
Jadi, tak ada yang meragukan perlunya pembentukan karakter. Sebab, bila seseorang kehilangan karakternya, ia kehilangan sisi genuine-nya dan kehadirannya di publik akan kehilangan kemanfaatan bahkan menambah rumitnya kehidupan. Layaknya dalam pertunjukan sirkus, mereka yang tampil (sirkustor) telah mengalami de-i-sasi. Singa yang buas dan ditakuti jadi jinak dan tampak lucu. Ia mengalami proses de-singa-i-sasi. Begitu juga dengan hewan-hewan lain, semua telah kehilangan watak orisinalnya. Tentu saja hal itu mengagumkan dan menyenangkan bagi penonton. Semakin jauh dari karakter orisnilnya, semakin lucu dan menarik. Itulah dunia sirkus. Namun kehidupan ini sejatinya bukanlah sirkus, bukan lucu-lucuan, tetapi dalam kehidupan yang sejati, para pelaku harus memainkan masing-masing karakter orisilnya (genuine).
Bagaimana jika de-i-sasi itu terjadi dalam kehidupan nyata? Penegak hukum dengan keadilan sebagai karakter dan perilaku dasarnya ternyata harus diadili. Tokoh masyarakat yang berfungsi sebagai pencerah ternyata justeru menyesatkan dan harus dicerahkan. Wakil rakyat yang mestinya menyerap aspirasi rakyat dan memperjuangkannya, malah korupsi uang rakyat secara kolektif. Pendidik harus dididik. Demikian seterusnya. Pembicaraan mereka di ranah publik bisa saja mengagumkan, tapi manfaat nyata bagi perubahan masyarakat sulit diharapkan. Karena kehilangan karakternya. Mereka hanya jadi tontonan dan tak pernah jadi tuntunan. Itulah gambaran dari peribahasa Inggris, “When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost.”
Bangsa ini membutuhkan bukan saja orang-orang jenius dalam perspektif pengetahuan dan ketrampilan, tetapi juga membutuhkan orang yang santun dalam bertutur kata, menghargai, menghormati sesama dan memanusiakan manusia (humanizing the human being). Dalam bahasa Kurikulum 2013, yang kita bangun adalah generasi yang memiliki keutuhan kompetensi sikap (attitude), ketrampilan (skills) dan pengetahuan (knowledge). Keutuhan ketiga kompetensi tersebut menghantarkan menuju kesempurnaan. Itulah tradisi profetik dan tradisi pendiri bangsa yang menjadi sumber keteladanan bagi kita.
Sehubungan dengan itu, menarik sekali apa yang disampaikan oleh salah satu pendiri dan guru bangsa sekaligus pendiri NU, KH Hasyim Asy‘ari dalam karya klasiknya, Adabul ‘Alim wal Muta‘allim: semua amal ibadah, baik rohani maupun jasmani, perkataan maupun perbuatan, tidak akan dihitung kecuali disertai perilaku serta budi pekerti yang terpuji. Menghiasi amal di dunia dengan adab (karakter baik) menjadi tanda bahwa amal itu akan diterima kelak di akhirat.
Kini pertanyaannya: bagaimana caranya, dari mana harus memulai, dan kapan saat yang tepat untuk mendidik karakter baik ini?. Insha Allah akan diulas pada tulisan berikutnya. *
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
TRANSMISI nilai-nilai kebaikan adalah kerja peradaban. Sejarah mengingatkan kita bahwa perabadan tak selamanya tumbuh. Kadang bangkit, kadang runtuh. Ia meruntuh saat moral merosot—kala suatu masyarakat gagal mewariskan kebaikan-kebaikan utama—kekuatan karakternya—kepada generasi barunya. (Lance Morrow)
Pagi yang cerah, murid-murid kelas IV turun ke sawah untuk melihat proses pengolahan padi. Mulai dari menuai, merontokkan, menjemur, hingga menggiling padi. Mereka bersemangat dan bergembira, berjalan menyusuri pematang sawah, bertegur sapa dengan petani.
Ketika sampai di sawah, mereka membantu petani menuai padi dengan menggunakan sabit. Batang padi yang sudah dipotong dikumpulkan di pinggir sawah, lalu diangkut ke lapangan. Siswa melihat bagaimana petani merontokkan padi kering dalam karung berukuran kecil yang memungkinkan diangkut oleh siswa. Satu per satu mereka bergantian memanggul karung padi itu ke tempat penggilingan.
Saat berada di tempat penggilingan, spontan Akbar bertanya kepada gurunya. “Bu Guru, berarti kita harus melepaskan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik ya?”
“Memangnya kenapa, Akbar?” tanya guru menanggapi.
“Lihat, Bu, agar jadi beras yang bersih, yang siap dimasak menjadi nasi, padi harus melepaskan kulitnya. Kita harus seperti itu, Bu.”
Ibu guru tertegun dan bangga. Akbar yang baru kelas IV SD sudah bisa memetik nilai dari sebuah proses penggilingan padi. Sepulang dari sawah, Ibu Guru meminta siswa mengambil nilai-nilai yang mereka dapatkan.
“Kita harus bersyukur dengan rezeki yang diberikan Tuhan,” kata Gita sambil angkat tangan.
“Kita harus menghargai jerih payah petani,” tukas Hani.
Beberapa siswa lain pun menambahkan hasil refleksinya. Itu semua makna yang dapat diungkapkan dalam bahasa lisan. Namun, guru menemukan pelajaran paling berharga yang tak diungkapkan siswa lewat kata-kata. Sejak itu, tidak ada sebutir nasi pun yang tersisa di piring mereka ketika makan siang bersama di sekolah. Mereka sudah meninggalkan kesia-siaan atau kemubadziran.
Kisah tersebut bukan fiktif, melainkan aktivitas nyata anak-anak SD yang menerapkan pendidikan berbasis karakter sebagai bagian dari masukan waktu menyusun dan merumuskan Kurikulum 2013 yang mengintegrasikan kompetensi sikap, ketrampilan dan pengetahuan. Pagi itu mereka tengah belajar tentang empati: merasakan langsung bagaimana rasanya menjadi petani. Empati diyakini para ahli sebagai inti emosi moral yang membantu anak didik memahami perasaan orang lain. Empati membuat mereka peka terhadap kebutuhan orang lain dan mendorong mereka untuk saling menolong dan saling mengasihi.
Begitulah salah satu contoh praksis pendidikan moral atau karakter. Jangan bayangkan mereka harus menghafal setumpuk dalil dan teori tentang kebaikan, kejujuran, ketulusan, dan karakter luhur lainnya. Itu hanya menambah pengetahuan tentang kebaikan. Penting tapi tak cukup. “The dimensions of character are knowing, loving, and doing the good,” kata Thomas Lickona. Para pendidik bangsa saat dulu mendirikan sekolah agar anak-anak didik mereka mengetahui yang baik, mencintai yang baik, dan mengamalkan yang baik. Itulah etika (kebaikan). Tentu diajarkan pula tentang logika (kebenaran) dan estetika (keindahan).
Jadi, tak ada yang meragukan perlunya pembentukan karakter. Sebab, bila seseorang kehilangan karakternya, ia kehilangan sisi genuine-nya dan kehadirannya di publik akan kehilangan kemanfaatan bahkan menambah rumitnya kehidupan. Layaknya dalam pertunjukan sirkus, mereka yang tampil (sirkustor) telah mengalami de-i-sasi. Singa yang buas dan ditakuti jadi jinak dan tampak lucu. Ia mengalami proses de-singa-i-sasi. Begitu juga dengan hewan-hewan lain, semua telah kehilangan watak orisinalnya. Tentu saja hal itu mengagumkan dan menyenangkan bagi penonton. Semakin jauh dari karakter orisnilnya, semakin lucu dan menarik. Itulah dunia sirkus. Namun kehidupan ini sejatinya bukanlah sirkus, bukan lucu-lucuan, tetapi dalam kehidupan yang sejati, para pelaku harus memainkan masing-masing karakter orisilnya (genuine).
Bagaimana jika de-i-sasi itu terjadi dalam kehidupan nyata? Penegak hukum dengan keadilan sebagai karakter dan perilaku dasarnya ternyata harus diadili. Tokoh masyarakat yang berfungsi sebagai pencerah ternyata justeru menyesatkan dan harus dicerahkan. Wakil rakyat yang mestinya menyerap aspirasi rakyat dan memperjuangkannya, malah korupsi uang rakyat secara kolektif. Pendidik harus dididik. Demikian seterusnya. Pembicaraan mereka di ranah publik bisa saja mengagumkan, tapi manfaat nyata bagi perubahan masyarakat sulit diharapkan. Karena kehilangan karakternya. Mereka hanya jadi tontonan dan tak pernah jadi tuntunan. Itulah gambaran dari peribahasa Inggris, “When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost.”
Bangsa ini membutuhkan bukan saja orang-orang jenius dalam perspektif pengetahuan dan ketrampilan, tetapi juga membutuhkan orang yang santun dalam bertutur kata, menghargai, menghormati sesama dan memanusiakan manusia (humanizing the human being). Dalam bahasa Kurikulum 2013, yang kita bangun adalah generasi yang memiliki keutuhan kompetensi sikap (attitude), ketrampilan (skills) dan pengetahuan (knowledge). Keutuhan ketiga kompetensi tersebut menghantarkan menuju kesempurnaan. Itulah tradisi profetik dan tradisi pendiri bangsa yang menjadi sumber keteladanan bagi kita.
Sehubungan dengan itu, menarik sekali apa yang disampaikan oleh salah satu pendiri dan guru bangsa sekaligus pendiri NU, KH Hasyim Asy‘ari dalam karya klasiknya, Adabul ‘Alim wal Muta‘allim: semua amal ibadah, baik rohani maupun jasmani, perkataan maupun perbuatan, tidak akan dihitung kecuali disertai perilaku serta budi pekerti yang terpuji. Menghiasi amal di dunia dengan adab (karakter baik) menjadi tanda bahwa amal itu akan diterima kelak di akhirat.
Kini pertanyaannya: bagaimana caranya, dari mana harus memulai, dan kapan saat yang tepat untuk mendidik karakter baik ini?. Insha Allah akan diulas pada tulisan berikutnya. *
(pur)