Ada Kepala Daerah Faida
A
A
A
Moh. Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
MESKI secara umum ada kekhawatiran bahwa sistem pemilihan kepala daerah (kepda) secara langsung bisa melahirkan kepda-kepda yang tidak kapabel dan korup tetapi ada kepda-kepda baik yang bisa muncul. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sering dijadikan contoh tentang bisa munculnya kepda yang baik itu.
Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dan sempat berdiskusi agak lama dengan Bupati Jember Faida dan saya mempunyai koleksi nama lagi tentang kepda yang, menurut saya, bisa juga disebut sebagai contoh kepda yang baik.
Kita tentu masih ingat, menjelang berakhirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada penghujung 2014 terjadi kegaduhan politik terkait RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Draf yang diajukan dan dipertahankan oleh pemerintah serta disetujui oleh sebagian besar fraksi-fraksi di DPR adalah sistem pemilihan tidak langsung, yakni, kepda dipilih oleh DPRD di masing-masing daerah. Akan tetapi di tengah-tengah masyarakat muncul kontroversi panas.
Selain banyak yang mendukung sistem pilkada tidak langsung itu, banyak juga yang menolak dengan sangat keras karena dianggap telah merusak moral politik dan harmoni di tengah-tengah masyarakat.
Akhirnya, setelah mengalami bongkar pasang dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tetap berlakulah sistem dan mekanisme pilkada secara langsung.
Presiden SBY yang di-bully habis-habisan dengan tudingan akan meninggalkan legacy yang buruk bagi perkembangan demokrasi jika membiarkan UU Pilkada secara tidak langsung berlaku, pada saat-saat terakhir pemerintahannya mengeluarkan Perppu yang memberlakukan sistem dan mekanisme pilkada secara langsung setelah sehari sebelumnya memberlakukan dulu UU yang memberlakukan pilkada tidak langsung.
Sebenarnya para penolak sistem pilkada langsung pada waktu itu mempunyai argumen-argumennya yang bisa dibangun berdasar fakta sehingga tidak bisa serta merta disalahkan.
Menurut data resmi yang pernah dikemukakan oleh Mendagri Gamawan Fauzi pada saat itu, jumlah kepala daerah yang terlibat kasus korupsi mencapai lebih dari separuh jumlah daerah yang ada di Indonesia. Jadi, pilkada langsung bukannya melahirkan kepda yang baik tetapi melahirkan banyak kepda yang korup.
Jika produk pilkada langsung yang buruk seperti itu argumennya dirunut lagi maka ditemukanlah banyak penyebabnya. Salah satunya adalah sangat mahalnya atau besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon kepala daerah sehingga mereka harus mengumpulkan modal atau membayar utang kepada penyandang dana.
Meskipun semua parpol mengatakan dukungan diberikan tanpa menarik uang mahar tetapi dalam praktiknya para calon tetap harus menyediakan biaya operasional untuk konsolidasi parpol dan atau biaya kampanye. Keharusan itulah yang mendorong lahirnya kepda-kepda yang korup.
Tapi tidak demikian dengan Bupati Jember Faida. Dia terpilih karena popularitasnya di tengah-tengah masyarakat Jember. Faida diusung oleh beberapa parpol lebih karena hasil survei atas popularitas dan elektabilitasnya.
Pengalaman panjang keluarga Faida yang memberi pelayanan kesehatan secara gratis kepada warga-warga miskin telah menyebabkan popularitas dan elektabilitasnya melambung tanpa berkampanye. Setelah dilamar oleh banyak parpol dan benar-benar terpilih tanpa mengeluarkan biaya yang berlebihan dia tampil dengan gagah, tidak tersandera, dan tidak bisa ditekan oleh siapa pun.
Yang mau menekan melalui mekanisme anggaran daerah dia hadapi dengan gagah, yang mengancam mau membongkar korupsi di tubuh pemda dia persilakan. Kalau ada oknum anggota DPRD yang menghambat pengesahan RAPBD dengan isyarat atau pesan yang bisa diduga minta “kemenyan” atau meminta bagian dana tertentu secara haram atau memesan proyek tertentu, dia lawan.
Ketika diancam akan diinterpelasi, Faida tidak takut. Dia yang sebelumnya tidak belajar ilmu politik dan ketatanegaraan membuka-buka kamus politik untuk mencari tahu apa arti interpelasi itu.
Setelah tahu bahwa arti interpelasi adalah bertanya, maka dia hadapi DPRD dan menyatakan siap menjawab. “Diinterpelasi itu kan artinya ditanya oleh DPRD, ya saya akan menjawab saja. Masak kalau diancam mau diinterpelasi menjadi takut dan mau diperas? Tidak bisa,” katanya.
Pernah juga Faida diuji melalui oknum penegak hukum. Dia didatangi oleh oknum yang mengatakan bahwa di Pemda Jember ada korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat tertentu. Sang oknum meminta “kemenyan” juga agar kasus itu tak perlu dibongkar. Akan tetapi Fadia bilang, bongkar saja dan periksa yang bersangkutan.
Sang oknum pun bilang, nanti akan banyak pejabat yang terlibat. Faida balik menjawab, periksa saja semua. “Kalau perlu dihukum saja semua. Saya tak akan melindungi. Kalau ada yang perlu dibersihkan, ya bersihkan saja. Itu malah baik bagi negara,” katanya dengan gagah.
Pada kali lain, ketika akan menandatangani surat keputusan pejabat-pejabat struktural, Faida menyatakan, yang SK-nya akan ditandatangani dan diangkat dalam jabatan-jabatan itu tidak dipungut bayaran.
Yang merasa memungut bayaran harus mengembalikan dan yang merasa dipungut bayaran dapat meminta kembali uang yang diberikannya kepada pemungut. “Kalau dalam sebulan tidak dikembalikan, akan saya laporkan ke Tim Saber Pungli,” katanya.
Alhasil, di tengah kegalauan kita melihat banyak kepda yang koruptif dan liar ternyata masih ada kepda-kepda yang bersih. Tentu sangat berlebihan kalau saya mengatakan hanya Faida yang seperti itu. Pasti masih ada beberapa kepda-kepda lain yang juga berani melabrak koruptor yang bersarang di parpol atau DPRD.
Saya menyebut Faida sebagai contoh karena dia bisa mewakili rasa haus kita untuk melihat kepda yang tegas dan berani melawan gertakan para koruptor. Di laut yang keruh, masih bisa ada mutiara-mutiara yang dapat kita cari.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
MESKI secara umum ada kekhawatiran bahwa sistem pemilihan kepala daerah (kepda) secara langsung bisa melahirkan kepda-kepda yang tidak kapabel dan korup tetapi ada kepda-kepda baik yang bisa muncul. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sering dijadikan contoh tentang bisa munculnya kepda yang baik itu.
Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dan sempat berdiskusi agak lama dengan Bupati Jember Faida dan saya mempunyai koleksi nama lagi tentang kepda yang, menurut saya, bisa juga disebut sebagai contoh kepda yang baik.
Kita tentu masih ingat, menjelang berakhirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada penghujung 2014 terjadi kegaduhan politik terkait RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Draf yang diajukan dan dipertahankan oleh pemerintah serta disetujui oleh sebagian besar fraksi-fraksi di DPR adalah sistem pemilihan tidak langsung, yakni, kepda dipilih oleh DPRD di masing-masing daerah. Akan tetapi di tengah-tengah masyarakat muncul kontroversi panas.
Selain banyak yang mendukung sistem pilkada tidak langsung itu, banyak juga yang menolak dengan sangat keras karena dianggap telah merusak moral politik dan harmoni di tengah-tengah masyarakat.
Akhirnya, setelah mengalami bongkar pasang dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tetap berlakulah sistem dan mekanisme pilkada secara langsung.
Presiden SBY yang di-bully habis-habisan dengan tudingan akan meninggalkan legacy yang buruk bagi perkembangan demokrasi jika membiarkan UU Pilkada secara tidak langsung berlaku, pada saat-saat terakhir pemerintahannya mengeluarkan Perppu yang memberlakukan sistem dan mekanisme pilkada secara langsung setelah sehari sebelumnya memberlakukan dulu UU yang memberlakukan pilkada tidak langsung.
Sebenarnya para penolak sistem pilkada langsung pada waktu itu mempunyai argumen-argumennya yang bisa dibangun berdasar fakta sehingga tidak bisa serta merta disalahkan.
Menurut data resmi yang pernah dikemukakan oleh Mendagri Gamawan Fauzi pada saat itu, jumlah kepala daerah yang terlibat kasus korupsi mencapai lebih dari separuh jumlah daerah yang ada di Indonesia. Jadi, pilkada langsung bukannya melahirkan kepda yang baik tetapi melahirkan banyak kepda yang korup.
Jika produk pilkada langsung yang buruk seperti itu argumennya dirunut lagi maka ditemukanlah banyak penyebabnya. Salah satunya adalah sangat mahalnya atau besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon kepala daerah sehingga mereka harus mengumpulkan modal atau membayar utang kepada penyandang dana.
Meskipun semua parpol mengatakan dukungan diberikan tanpa menarik uang mahar tetapi dalam praktiknya para calon tetap harus menyediakan biaya operasional untuk konsolidasi parpol dan atau biaya kampanye. Keharusan itulah yang mendorong lahirnya kepda-kepda yang korup.
Tapi tidak demikian dengan Bupati Jember Faida. Dia terpilih karena popularitasnya di tengah-tengah masyarakat Jember. Faida diusung oleh beberapa parpol lebih karena hasil survei atas popularitas dan elektabilitasnya.
Pengalaman panjang keluarga Faida yang memberi pelayanan kesehatan secara gratis kepada warga-warga miskin telah menyebabkan popularitas dan elektabilitasnya melambung tanpa berkampanye. Setelah dilamar oleh banyak parpol dan benar-benar terpilih tanpa mengeluarkan biaya yang berlebihan dia tampil dengan gagah, tidak tersandera, dan tidak bisa ditekan oleh siapa pun.
Yang mau menekan melalui mekanisme anggaran daerah dia hadapi dengan gagah, yang mengancam mau membongkar korupsi di tubuh pemda dia persilakan. Kalau ada oknum anggota DPRD yang menghambat pengesahan RAPBD dengan isyarat atau pesan yang bisa diduga minta “kemenyan” atau meminta bagian dana tertentu secara haram atau memesan proyek tertentu, dia lawan.
Ketika diancam akan diinterpelasi, Faida tidak takut. Dia yang sebelumnya tidak belajar ilmu politik dan ketatanegaraan membuka-buka kamus politik untuk mencari tahu apa arti interpelasi itu.
Setelah tahu bahwa arti interpelasi adalah bertanya, maka dia hadapi DPRD dan menyatakan siap menjawab. “Diinterpelasi itu kan artinya ditanya oleh DPRD, ya saya akan menjawab saja. Masak kalau diancam mau diinterpelasi menjadi takut dan mau diperas? Tidak bisa,” katanya.
Pernah juga Faida diuji melalui oknum penegak hukum. Dia didatangi oleh oknum yang mengatakan bahwa di Pemda Jember ada korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat tertentu. Sang oknum meminta “kemenyan” juga agar kasus itu tak perlu dibongkar. Akan tetapi Fadia bilang, bongkar saja dan periksa yang bersangkutan.
Sang oknum pun bilang, nanti akan banyak pejabat yang terlibat. Faida balik menjawab, periksa saja semua. “Kalau perlu dihukum saja semua. Saya tak akan melindungi. Kalau ada yang perlu dibersihkan, ya bersihkan saja. Itu malah baik bagi negara,” katanya dengan gagah.
Pada kali lain, ketika akan menandatangani surat keputusan pejabat-pejabat struktural, Faida menyatakan, yang SK-nya akan ditandatangani dan diangkat dalam jabatan-jabatan itu tidak dipungut bayaran.
Yang merasa memungut bayaran harus mengembalikan dan yang merasa dipungut bayaran dapat meminta kembali uang yang diberikannya kepada pemungut. “Kalau dalam sebulan tidak dikembalikan, akan saya laporkan ke Tim Saber Pungli,” katanya.
Alhasil, di tengah kegalauan kita melihat banyak kepda yang koruptif dan liar ternyata masih ada kepda-kepda yang bersih. Tentu sangat berlebihan kalau saya mengatakan hanya Faida yang seperti itu. Pasti masih ada beberapa kepda-kepda lain yang juga berani melabrak koruptor yang bersarang di parpol atau DPRD.
Saya menyebut Faida sebagai contoh karena dia bisa mewakili rasa haus kita untuk melihat kepda yang tegas dan berani melawan gertakan para koruptor. Di laut yang keruh, masih bisa ada mutiara-mutiara yang dapat kita cari.
(poe)