Melanggar Konstitusi di Pulau Kecil
A
A
A
Abdul Halim
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan
(Center of Maritime Studies for Humanities)
PERNAHKAH Anda mengunjungi situs privateislandsonline.com/areas/indonesia? Situs ini menjajakan pulau-pulau kecil kepada perseorangan atau badan hukum yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Sebut saja Pulau Ajab di Kepulauan Riau seluas 30 hektare yang dijual USD3,3 juta. Contoh lainnya, Pulau Tojo Una-Una seluas 1.250 hektare di Sulawesi Tengah dan Pulau Kumbang seluas 6,88 hektare di Sumatera Barat dengan investasi senilai USD1.000.000.
Jika mengunjungi situs tersebut, Anda akan mengetahui bahwa praktik penjualan pulau-pulau kecil di Indonesia bukanlah sebatas wacana, termasuk penawaran 4.000 pulau kecil kepada investor asing oleh Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut B Panjaitan (KORAN SINDO, 10/1/2017). Inilah era komodifikasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Di Indonesia, tata kelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1/2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di dalam UU ini, Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki otoritas penuh mendelegasikan kewenangannya kepada investor asing. Pasal 26A menyebutkan, “Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri”.
Untuk menindaklanjutinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan sedikitnya 100 pulau-pulau kecil berhasil diinvestasikan sejak tahun 2014–2019.
Tercatat sudah 11 pulau kecil yang dikelola oleh swasta asing dengan nilai investasi sebesar Rp11,046 triliun dan tersebar di Kepulauan Riau di Provinsi Riau; Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Lombok Timur, dan Lombok Barat di Nusa Tenggara Barat; Kepulauan Seribu di DKI Jakarta; Kabupaten Ketapang di Provinsi Kalimantan Barat; dan Kabupaten Pandeglang di Provinsi Banten.
Kesebelas pulau ini dikelola untuk kepentingan wisata bahari, kebun kelapa sawit, dan gudang penyimpanan minyak (Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Desember 2016).
Menariknya, untuk pengembangan wisata bahari berbintang di Gili Sunut, salah satu pulau kecil di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 109 rumah tangga nelayan tradisional dipaksa keluar dari pulau tersebut. Ironisnya, negara terlibat dalam pelanggaran hak-hak konstitusional masyarakat pesisir ini.
Keterlibatan Negara
Perluasan kawasan konservasi laut atas nama perubahan iklim merupakan modus antara yang lazim dilakukan di banyak negara. Setelah perairan tertentu ditetapkan sebagai marine protected areas, di situlah penawaran investasi atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mulai berlangsung. Pada saat yang sama, masyarakat pesisir mesti dikorbankan. Fenomena Gili Sunut jamak terjadi di Indonesia.
Ada perbedaan cara pandang antara negara dengan masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Negara memandang sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk memperbesar pundi penerimaan negara.
Sebaliknya, masyarakat pesisir mengartikannya sebagai pusat kebudayaan mereka. Salah satunya adalah kepercayaan masyarakat nelayan tradisional di Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, terhadap laut sebagai ibu (ina soro budi) yang melahirkan dan membesarkan (budi noro apadike). Maka menjadi kewajiban nelayan tradisional Lamalera untuk menjaga dan melestarikan sumber daya laut (pai pana ponu tehama hama).
Di samping itu, kekeliruan memahami kearifan lokal juga menjadi salah satu pangkal kesalahkaprahan dalam mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Padahal, di dalam kearifan lokal, seperti Sasi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Awig-awig di Nusa Tenggara Barat, Mane’e di Sulawesi Utara, dan Ola Nua di Nusa Tenggara Timur, terdapat nilai-nilai perenial yang mengutamakan kebajikan, di antaranya adalah gotong-royong untuk sebesar-besar kemakmuran bersama.
Model pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal dilakukan secara swadaya dengan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat. Bahkan tidak membutuhkan dana utang. Hal tersebut disebabkan masyarakat perikanan tradisional menyadari bahwa kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan adil. Terlebih mereka mendapati betapa besarnya manfaat sumber daya laut bagi kehidupannya.
Untuk itulah, Mahkamah Konstitusi menganulir sejumlah pasal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) di dalam Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil karena bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Karena dengan memiliki sertifikat HP3, perseorangan atau badan hukum tertentu bisa mengapling wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kepentingan komersial selama 60 tahun.
Belakangan HP3 diubah menjadi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan untuk mempermudah berlangsungnya praktik privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Jika hal ini dibiarkan, masyarakat lintas profesi (nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudi daya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir) yang tinggal di 10.666 desa pesisir bakal tergusur.
Inilah bentuk pengalihan kewenangan negara kepada swasta (privatisasi) untuk pembesaran kapital (finansialisasi alam) melalui jual-beli wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (komersialisasi) untuk penyediaan layanan rekreatif berbasis lingkungan hidup.
Selain menganulir pasal-pasal HP3, Mahkamah Konstitusi juga memberikan panduan konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam dengan menafsirkan frase “sebesar-besar kemakmuran rakyat” melalui empat indikator utama, yakni: (1) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (2) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat; (3) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (4) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam (Putusan Nomor 3/2010).
Jika dilihat dengan memakai empat indikator sebesar-besar kemakmuran rakyat, mendahulukan investasi asing dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil mutlak bertentangan dengan UUD 1945.
Terlebih, pulau-pulau kecil bermakna strategis bagi kehidupan sebuah bangsa. Karena di dalam isu ”pulau kecil” itulah terletak berbagai persoalan tentang identitas, sumber daya, dan kedaulatan, serta silang selisih antarentitas politik antarnegara.
Tak mengherankan apabila Jepang dan China berjibaku memperebutkan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku untuk kepentingan nasionalnya. Pun demikian dengan Negeri Menara Eifell dalam pengembangan destinasi wisata bahari berbasis masyarakat di Pulau Île d’Yeu yang memproduksi kesejahteraan bagi warga pulau di selatan Prancis tersebut.
Di sinilah terlihat kesungguhan penyelenggara negara untuk mengembangkan dan memperebutkan keberadaan pulau-pulau kecil untuk kemakmuran rakyatnya, bukan malah melegonya untuk kepentingan bangsa lain.
Maka sudah semestinya pemerintah mengubah orientasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Tanah Air dengan mengedepankan dan memastikan keterlibatan masyarakat pesisir lintas profesi (nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudi daya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir) sebagai pemain utama, karena sesungguhnya inilah jalan konstitusional yang dikehendaki oleh founding fathers.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan
(Center of Maritime Studies for Humanities)
PERNAHKAH Anda mengunjungi situs privateislandsonline.com/areas/indonesia? Situs ini menjajakan pulau-pulau kecil kepada perseorangan atau badan hukum yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Sebut saja Pulau Ajab di Kepulauan Riau seluas 30 hektare yang dijual USD3,3 juta. Contoh lainnya, Pulau Tojo Una-Una seluas 1.250 hektare di Sulawesi Tengah dan Pulau Kumbang seluas 6,88 hektare di Sumatera Barat dengan investasi senilai USD1.000.000.
Jika mengunjungi situs tersebut, Anda akan mengetahui bahwa praktik penjualan pulau-pulau kecil di Indonesia bukanlah sebatas wacana, termasuk penawaran 4.000 pulau kecil kepada investor asing oleh Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut B Panjaitan (KORAN SINDO, 10/1/2017). Inilah era komodifikasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Di Indonesia, tata kelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1/2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di dalam UU ini, Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki otoritas penuh mendelegasikan kewenangannya kepada investor asing. Pasal 26A menyebutkan, “Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri”.
Untuk menindaklanjutinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan sedikitnya 100 pulau-pulau kecil berhasil diinvestasikan sejak tahun 2014–2019.
Tercatat sudah 11 pulau kecil yang dikelola oleh swasta asing dengan nilai investasi sebesar Rp11,046 triliun dan tersebar di Kepulauan Riau di Provinsi Riau; Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Lombok Timur, dan Lombok Barat di Nusa Tenggara Barat; Kepulauan Seribu di DKI Jakarta; Kabupaten Ketapang di Provinsi Kalimantan Barat; dan Kabupaten Pandeglang di Provinsi Banten.
Kesebelas pulau ini dikelola untuk kepentingan wisata bahari, kebun kelapa sawit, dan gudang penyimpanan minyak (Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Desember 2016).
Menariknya, untuk pengembangan wisata bahari berbintang di Gili Sunut, salah satu pulau kecil di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 109 rumah tangga nelayan tradisional dipaksa keluar dari pulau tersebut. Ironisnya, negara terlibat dalam pelanggaran hak-hak konstitusional masyarakat pesisir ini.
Keterlibatan Negara
Perluasan kawasan konservasi laut atas nama perubahan iklim merupakan modus antara yang lazim dilakukan di banyak negara. Setelah perairan tertentu ditetapkan sebagai marine protected areas, di situlah penawaran investasi atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mulai berlangsung. Pada saat yang sama, masyarakat pesisir mesti dikorbankan. Fenomena Gili Sunut jamak terjadi di Indonesia.
Ada perbedaan cara pandang antara negara dengan masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Negara memandang sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk memperbesar pundi penerimaan negara.
Sebaliknya, masyarakat pesisir mengartikannya sebagai pusat kebudayaan mereka. Salah satunya adalah kepercayaan masyarakat nelayan tradisional di Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, terhadap laut sebagai ibu (ina soro budi) yang melahirkan dan membesarkan (budi noro apadike). Maka menjadi kewajiban nelayan tradisional Lamalera untuk menjaga dan melestarikan sumber daya laut (pai pana ponu tehama hama).
Di samping itu, kekeliruan memahami kearifan lokal juga menjadi salah satu pangkal kesalahkaprahan dalam mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Padahal, di dalam kearifan lokal, seperti Sasi di Maluku, Bapongka di Sulawesi Tengah, Awig-awig di Nusa Tenggara Barat, Mane’e di Sulawesi Utara, dan Ola Nua di Nusa Tenggara Timur, terdapat nilai-nilai perenial yang mengutamakan kebajikan, di antaranya adalah gotong-royong untuk sebesar-besar kemakmuran bersama.
Model pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal dilakukan secara swadaya dengan partisipasi aktif seluruh anggota masyarakat. Bahkan tidak membutuhkan dana utang. Hal tersebut disebabkan masyarakat perikanan tradisional menyadari bahwa kelestarian dan keberlanjutan sumber daya ikan merupakan prasyarat terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan adil. Terlebih mereka mendapati betapa besarnya manfaat sumber daya laut bagi kehidupannya.
Untuk itulah, Mahkamah Konstitusi menganulir sejumlah pasal Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) di dalam Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil karena bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Karena dengan memiliki sertifikat HP3, perseorangan atau badan hukum tertentu bisa mengapling wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kepentingan komersial selama 60 tahun.
Belakangan HP3 diubah menjadi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan untuk mempermudah berlangsungnya praktik privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Jika hal ini dibiarkan, masyarakat lintas profesi (nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudi daya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir) yang tinggal di 10.666 desa pesisir bakal tergusur.
Inilah bentuk pengalihan kewenangan negara kepada swasta (privatisasi) untuk pembesaran kapital (finansialisasi alam) melalui jual-beli wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (komersialisasi) untuk penyediaan layanan rekreatif berbasis lingkungan hidup.
Selain menganulir pasal-pasal HP3, Mahkamah Konstitusi juga memberikan panduan konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam dengan menafsirkan frase “sebesar-besar kemakmuran rakyat” melalui empat indikator utama, yakni: (1) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (2) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat; (3) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (4) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam (Putusan Nomor 3/2010).
Jika dilihat dengan memakai empat indikator sebesar-besar kemakmuran rakyat, mendahulukan investasi asing dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil mutlak bertentangan dengan UUD 1945.
Terlebih, pulau-pulau kecil bermakna strategis bagi kehidupan sebuah bangsa. Karena di dalam isu ”pulau kecil” itulah terletak berbagai persoalan tentang identitas, sumber daya, dan kedaulatan, serta silang selisih antarentitas politik antarnegara.
Tak mengherankan apabila Jepang dan China berjibaku memperebutkan Kepulauan Diaoyu atau Senkaku untuk kepentingan nasionalnya. Pun demikian dengan Negeri Menara Eifell dalam pengembangan destinasi wisata bahari berbasis masyarakat di Pulau Île d’Yeu yang memproduksi kesejahteraan bagi warga pulau di selatan Prancis tersebut.
Di sinilah terlihat kesungguhan penyelenggara negara untuk mengembangkan dan memperebutkan keberadaan pulau-pulau kecil untuk kemakmuran rakyatnya, bukan malah melegonya untuk kepentingan bangsa lain.
Maka sudah semestinya pemerintah mengubah orientasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Tanah Air dengan mengedepankan dan memastikan keterlibatan masyarakat pesisir lintas profesi (nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudi daya ikan, petambak garam, dan pelestari ekosistem pesisir) sebagai pemain utama, karena sesungguhnya inilah jalan konstitusional yang dikehendaki oleh founding fathers.
(poe)