Gangguan Mental Ibu terhadap Anak

Kamis, 08 Desember 2016 - 13:13 WIB
Gangguan Mental Ibu terhadap Anak
Gangguan Mental Ibu terhadap Anak
A A A
Bagong Suyanto
Dosen Masalah Sosial Anak FISIP Universitas Airlangga

KISAH ibu yang mengalami gangguan jiwa dan kemudian tega menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri tidak sekali-dua kali terjadi di negeri ini. Kasus yang terbaru, seorang ibu di Desa Tambakselo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, dilaporkan menggorok leher anaknya sendiri hingga tewas.

Aska, 5, anak pelaku meregang nyawa dengan luka senjata tajam di bagian leher. Leher bocah mungil ini menganga sepanjang 10 sentimeter. Umi Nur Hidayah, sang ibu kandung, sudah diketahui warga sering berperilaku tidak wajar. Warga sering memergoki Umi hendak membunuh anaknya, pernah memanjat tower, dan mau bunuh diri.

Kasus serupa pernah terjadi sebelumnya di Cengkareng Barat, Jakarta. Mudmainah alias Iin, 28, sekitar Oktober 2016, dilaporkan tidak hanya tega membunuh anak kandungnya sendiri, tetapi ia bahkan kemudian memutilasi anak kandungnya sendiri yang masih berusia satu tahun. Seperti Umi Nur Hidayah, Mudmainah juga dikenal warga sering berperilaku tidak wajar, tatapan matanya sering kosong, dan keduanya di-tengarai mengalami gangguan mental yang kronis.

Berbeda dengan perilaku orang tua kandung yang kerap menganiaya anaknya sendiri hingga babak-belur, atau bahkan tewas karena pelaku memiliki kepribadian yang impulsif dan kasar, kasus yang terjadi di Grobogan dan Cengkareng di atas terjadi lebih karena faktor psikotik atau karena gangguan kejiwaan dan pikiran pelaku.

Ibu kandung yang membunuh anaknya sendiri bukan didorong oleh ketidaksabaran dan kemarahan yang lepas kendali, tetapi lebih disebabkan pelaku memang terbawa halusinasi dan pikirannya yang tidak lagi bisa membedakan mana realitas yang nyata dan mana bisikan ”halus” yang terngiang-ngiang dan kemudian mendorongnya melakukan hal yang sebetulnya mustahil.

Gangguan Mental
Data UNICEF (2015) mencatat bahwa di Indonesia sekitar 26% anak dilaporkan pernah mendapat hukuman fisik dari orang tua atau pengasuh di rumah. Sekitar 62% kekerasan terhadap anak diidentifikasi lebih banyak terjadi di lingkungan terdekat keluarga dan lingkungan sekolah, selebihnya 38% di ruang publik. Sayangnya, data dari UNICEF ini tidak mencatat kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibu-ibu yang melakukan tindakan kejam karena latar belakang kondisi psikologisnya yang mengalami gangguan.

Perilaku ibu kandung yang mengalami gangguan mental jelas berbeda dengan ibu-ibu biasa yang memiliki perilaku patologis karena gangguan kepribadian. Kasus pembunuhan anak yang terjadi di Grobogan maupun di Cengkareng tampaknya bukan merupakan perilaku yang disebabkan oleh gangguan kepribadian atau gangguan karena stres, melainkan lebih merupakan perilaku yang dipicu karena ada gangguan pikiran—semacam gangguan schizophrenia yang menyebabkan pelaku sama sekali tidak menyadari apa yang telah diperbuatnya.

Tidak sama dengan gangguan depresi (depressive disorders) yang seringkali berhubungan dengan perasaan tidak berharga, kesulitan berkonsentrasi, keinginan untuk bunuh diri, dan ketidakmauan merasakan kesenangan. Untuk orang-orang yang mengalami gangguan mental seperti dialami Umi Nur Hidayah dan Mudmainah di atas, faktor penyebabnya biasanya berkaitan dengan gangguan pikiran yang bipolar dan dipenuhi halusinasi.

Ini perilaku yang terkadang memang dipicu stres, gangguan neurotik, atau karena gangguan kepribadian, tetapi seringkali lebih disebabkan pelaku terjerumus dalam pikirannya sendiri yang sama sekali tidak disadarinya.

Menurut Gary L Tischler (1996), paling-tidak ada tiga karakteristik yang menandai individu yang mengalami gangguan mental: berperilaku yang nyata-nyata melanggar norma sosial, sering mengembangkan pertimbangan yang tidak tepat terhadap akurasi pikiran atau persepsi, dan mempunyai kecenderungan kuat untuk menarik kesimpulan yang salah mengenai realitas eksternal sekalipun dihadapkan pada bukti-bukti yang sama sekali tidak terbantahkan.

Seseorang yang mengalami gangguan mental, mereka umumnya mengalami kerusakan uji realitas (impaired reality) yang disertai dengan perilaku aneh atau tidak terorganisasi yang melampaui batas-batas penerimaan sosial. Orang yang memiliki gangguan kejiwaan, atau gangguan psikopatik, ciri-cirinya adalah memiliki egosentrisitas, kurang menghargai perasaan dan hak orang lain, bersikap antisosial, dan tak jarang agresif serta kejam (Wiliam McCord, 1982).

Dalam kehidupan sehari-hari seorang ibu yang mengidap gangguan mental di mata masyarakat mungkin sekadar dipandang aneh, soliter, dan tidak suka membaur dengan tetangga. Tetapi, karena pemicu munculnya tindakan atau perilaku yang kejam sering terjadi tiba-tiba atau tak terduga, yang terjadi biasanya masyarakat sudah terlambat menyaksikan perilaku seseorang yang menderita gangguan terhadap anak kandungnya sendiri.

Jauh dari mitos yang menyatakan seorang ibu kandung niscaya akan menyayangi anaknya melebihi dirinya sendiri, atau seorang ibu pasti mau berkorban apa pun demi keselamatan anak, dalam kenyataan seorang ibu yang menderita gangguan mental bukan tidak mungkin melakukan hal yang di luar nalar masyarakat. Tidak hanya menghajar anak kandungnya sendiri, tidak jarang ibu yang mengalami gangguan mental tiba-tiba bertindak sadis membunuh anaknya dan kemudian memutilasi korban sembari tertawa.

Keterlibatan Masyarakat
Bagaimana caranya mencegah agar anak-anak yang tinggal dengan orang tuanya yang mengalami gangguan mental tidak telanjur menjadi korban kekejaman di bawah sadar orang tua kandungnya sendiri? Lebih dari sekadar pengetahuan tentang hak dan arti penting perlindungan anak, untuk mencegah agar tidak terjadi kasus pembunuhan anak karena orang tua yang mengalami gangguan mental.

Beberapa hal yang perlu digarisbawahi: Pertama, sudah saatnya kini dikembangkan sosialisasi untuk melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan ada orang tua yang mengalami gangguan mental di masyarakat. Berbagai jenis gangguan mental seperti schizophrenia, gangguan khayalan (delusional), psikosis afektif seperti affective bipolar, dan sebagainya perlu diketahui masyarakat beserta akibat-akibat yang mungkin timbul agar masyarakat tidak membiarkan kasus seperti di atas kembali terulang.

Kedua, memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa gejala kunci dari gangguan mental yang dialami seseorang adalah khayalan dan halusinasi yang kronis, yang suatu saat bisa berkembang menjadi pemicu munculnya tindakan ganjil dan tidak masuk akal seperti membunuh dan memutilasi anak kandungnya sendiri. Tanpa didukung kepekaan dan peran serta masyarakat, upaya untuk mencegah kasus pembunuhan anak kandung niscaya sulit untuk dieliminasi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7035 seconds (0.1#10.140)