Topik Ahok dan Marwah
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
Perkembangan teknologi informasi sekarang ini sungguh dahsyat. Kejadian yang membuat gaduh di suatu tempat jauh begitu cepat dan instan menyerbu berbagai tempat yang sangat jauh. Itulah yang sangat terasa begitu saya mendarat di Perth, Australia, Kamis 13 Oktober 2016 sore. Sebenarnya acara resmi saya baru terjadwal untuk berbicara pada Jumat 14 Oktober 2016 malam di Kantor Konsulat Jenderal Indonesia dan Sabtu pagi di Curtin University di Perth.
Rencananya Kamis malam dan Jumat seharian saya akan jalan-jalan (sight seeing) saja. Tetapi begitu mendarat saya sudah diberi tahu bahwa komunitas Diaspora dan warga NU di Perth sudah mengagendakan acara diskusi dengan saya.
Kamis pukul 20.00 waktu setempat sudah banyak warga Indnesia yang berkumpul untuk berdiskusi dengan saya di rumah dinas General Manager Garuda Aryo Wijoseno. Saya hadir ke tempat itu ditemani Konjen RI di Perth Ade Padmo Sarwono bersama isteri.
Jumat pagi jam 10 saya sudah dibajak untuk hadir di komunitas Curtin Indonesian Moslem Students Association (CIMSA) untuk berdiskusi tentang penegakan hukum. Saya tidak menghindar untuk memenuhi undangan-undangan dadakan itu karena saya merasa berhadapan dengan anak-anak bangsa yang sangat concern atas masa depan negara dan bangsanya, Indonesia.
Mereka tidak meminta informasi tentang apa yang terjadi di Indonesia karena semua yang terjadi di Indonesia telah mereka ketahui semua. Teknologi informasilah yang menyuplai informasi-informasi penting kepada mereka.
Mereka meminta pandangan saya tentang banyak hal yang terjadi di Indonesia. Oleh karena topik dalam acara dadakan di rumah dinas GM Garuda itu tidak direncanakan lebih dulu, maka banyak sekali isu yang mereka usulkan.
Ada yang meminta saya berbicara tentang operasi tangkap tangan pungli di Kementerian Perhubungan, ada yang meminta menjelaskan posisi kasus Ketua DPD Irman Gusman, ada yang meminta penjelasan tentang drama Dimas Kanjeng dan Marwah Dawud Ibrahim, ada yang meminta pendapat saya tentang isu Ahok dan Surah Al-Maidah-51 yang masih terus dihebohkan. Tak mungkin saya membicarakan itu semua dalam waktu dua jam.
Saya hanya berbicara dua hal saja, yakni tentang Ahok dan Marwah Dawud Ibrahim. Itu yang banyak mereka tanyakan pada saat kami sedang dinner.
Sejauh menyangkut Ahok yang kini banyak digugat karena dianggap melakukan pelecehan terhap agama Islam, Alquran, dan umat Islam saya tidak mengupas sampai mendalam. Saya lebih banyak melihat manfaat dan kemajuan sistem dan mekanisme pemilihan kepala daerah pada umumnya dibandingkan dengan masalah hukumnya.
Ada pun persoalan hukum yang terkait dengan pernyataan Ahok, menurut saya, sudah ada jalurnya sendiri dan sekarang sedang berproses.
Kasus Ahok tidak bisa diselesaikan dengan hukum Islam karena hukum Islam tidak berlaku di Indonesia untuk kasus seperti itu. Kasus Ahok, kalau mau di bawa ke jalur hukum hanya bisa diselesaiakan menurut hukum nasional. Dan jika pilihan penyelesaiannya adalah hukum nasional maka ada aspek hukum perdata dan aspek hukum pidana.
Secara hukum perdata kasus Ahok sebenarnya sudah selesai dengan permintaan dan pemberian maaf. Tetapi secara hukum pidana setiap perbuatan yang bukan termasuk delik aduan harus terus diproses sampai jelas masalahnya. Di dalam hukum perdata yang berhadapan adalah orang atau badan hukum dengan orang atau badan hukum lainnya yang memang mengenal cara damai atau asas konsensual dalam mengakhiri perkara.
Tetapi di dalam hukum pidana yang berhadapan adalah orang atau badan hukum dengan negara (aparat penegak hukum) sehingga tidak dikenal permintaan maaf atau perdamaian, kecuali dalam delik aduan. Orang tua yang memberi maaf kepada orang yang membunuh anaknya tidak bisa meniadakan proses hukum pidana atas pembunuh itu.
Sebab si pembunuh (pelaku tindak pidana) bukan musuh keluarga yang terbunuh melainkan musuh masyarakat yang diwakili oleh negara. Kalau tindak pidana bisa selesai dengan maaf, maka nanti bisa banyak orang melakukan tindak pidana dan hanya menyelesaikannya dengan meminta maaf. Berbeda dengan di Arab Saudi pemberian maaf atau denda bisa menghilangkan hukuman pidana.
Dalam kasus Ahok saya tidak menjelaskan soal posisi hukumnya karena masalahnya sudah jelas, tetapi saya lebih banyak menjelaskan tentang perkembangan demokrasi dalam kaitan dengan pilkada secara langsung. Saya kemukakan bahwa pilkada secara langsung, tanpa kita cermati, telah banyak memberi manfaat dalam penguatan integrasi bangsa.
Pada era Orde Baru tidak mungkin kita bisa menonton perhelatan demokrasi yang diikuti dengan meriah oleh rakyat. Sekarang kita bisa menikmati itu baik sebagai penonton maupun sebagai pemain (kalau mau). Lebih dari itu, dengan sistem dan mekanisme pilkada yang berlaku sekarang maka sekat-sekat ideologi atau subideologi antarparpol menjadi cair sehingga integrasi kita menjadi lebih kuat.
Tidak ada lagi oposisi maupun koalisi permanen. Golkar dan PDIP atau Nasdem yang berbeda koalisi dalam Pilpres bisa bersatu dalam pilkada di berbagai daerah. PKS dan Gerindra yang berbeda dukungan dalam pilkada di suatu daerah bisa bersatu dalam dukungan di daaerah lain.
Ini berkah terselubung (blessing indisguised) dalam perkembangan demokrasi kita. Pancasila sebagai dasar ideologi negara menjadi semakin mantap.
Soal Marwah Dawud Ibrahim juga menjadi pembahasan menarik dalam diskusi dadakan itu. Yang disorot, bukan hanya kasus hukum yang menimpa Dimas Kanjeng yang dibelanya tetapi lebih pada sikap irasional Marwah yang tak dinilai tidak lazim dilakukan oleh seorang cendekiawan muslim dan menyempal dari pemahaman mainstream kaum muslimin tentang kejadian gaib.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
Perkembangan teknologi informasi sekarang ini sungguh dahsyat. Kejadian yang membuat gaduh di suatu tempat jauh begitu cepat dan instan menyerbu berbagai tempat yang sangat jauh. Itulah yang sangat terasa begitu saya mendarat di Perth, Australia, Kamis 13 Oktober 2016 sore. Sebenarnya acara resmi saya baru terjadwal untuk berbicara pada Jumat 14 Oktober 2016 malam di Kantor Konsulat Jenderal Indonesia dan Sabtu pagi di Curtin University di Perth.
Rencananya Kamis malam dan Jumat seharian saya akan jalan-jalan (sight seeing) saja. Tetapi begitu mendarat saya sudah diberi tahu bahwa komunitas Diaspora dan warga NU di Perth sudah mengagendakan acara diskusi dengan saya.
Kamis pukul 20.00 waktu setempat sudah banyak warga Indnesia yang berkumpul untuk berdiskusi dengan saya di rumah dinas General Manager Garuda Aryo Wijoseno. Saya hadir ke tempat itu ditemani Konjen RI di Perth Ade Padmo Sarwono bersama isteri.
Jumat pagi jam 10 saya sudah dibajak untuk hadir di komunitas Curtin Indonesian Moslem Students Association (CIMSA) untuk berdiskusi tentang penegakan hukum. Saya tidak menghindar untuk memenuhi undangan-undangan dadakan itu karena saya merasa berhadapan dengan anak-anak bangsa yang sangat concern atas masa depan negara dan bangsanya, Indonesia.
Mereka tidak meminta informasi tentang apa yang terjadi di Indonesia karena semua yang terjadi di Indonesia telah mereka ketahui semua. Teknologi informasilah yang menyuplai informasi-informasi penting kepada mereka.
Mereka meminta pandangan saya tentang banyak hal yang terjadi di Indonesia. Oleh karena topik dalam acara dadakan di rumah dinas GM Garuda itu tidak direncanakan lebih dulu, maka banyak sekali isu yang mereka usulkan.
Ada yang meminta saya berbicara tentang operasi tangkap tangan pungli di Kementerian Perhubungan, ada yang meminta menjelaskan posisi kasus Ketua DPD Irman Gusman, ada yang meminta penjelasan tentang drama Dimas Kanjeng dan Marwah Dawud Ibrahim, ada yang meminta pendapat saya tentang isu Ahok dan Surah Al-Maidah-51 yang masih terus dihebohkan. Tak mungkin saya membicarakan itu semua dalam waktu dua jam.
Saya hanya berbicara dua hal saja, yakni tentang Ahok dan Marwah Dawud Ibrahim. Itu yang banyak mereka tanyakan pada saat kami sedang dinner.
Sejauh menyangkut Ahok yang kini banyak digugat karena dianggap melakukan pelecehan terhap agama Islam, Alquran, dan umat Islam saya tidak mengupas sampai mendalam. Saya lebih banyak melihat manfaat dan kemajuan sistem dan mekanisme pemilihan kepala daerah pada umumnya dibandingkan dengan masalah hukumnya.
Ada pun persoalan hukum yang terkait dengan pernyataan Ahok, menurut saya, sudah ada jalurnya sendiri dan sekarang sedang berproses.
Kasus Ahok tidak bisa diselesaikan dengan hukum Islam karena hukum Islam tidak berlaku di Indonesia untuk kasus seperti itu. Kasus Ahok, kalau mau di bawa ke jalur hukum hanya bisa diselesaiakan menurut hukum nasional. Dan jika pilihan penyelesaiannya adalah hukum nasional maka ada aspek hukum perdata dan aspek hukum pidana.
Secara hukum perdata kasus Ahok sebenarnya sudah selesai dengan permintaan dan pemberian maaf. Tetapi secara hukum pidana setiap perbuatan yang bukan termasuk delik aduan harus terus diproses sampai jelas masalahnya. Di dalam hukum perdata yang berhadapan adalah orang atau badan hukum dengan orang atau badan hukum lainnya yang memang mengenal cara damai atau asas konsensual dalam mengakhiri perkara.
Tetapi di dalam hukum pidana yang berhadapan adalah orang atau badan hukum dengan negara (aparat penegak hukum) sehingga tidak dikenal permintaan maaf atau perdamaian, kecuali dalam delik aduan. Orang tua yang memberi maaf kepada orang yang membunuh anaknya tidak bisa meniadakan proses hukum pidana atas pembunuh itu.
Sebab si pembunuh (pelaku tindak pidana) bukan musuh keluarga yang terbunuh melainkan musuh masyarakat yang diwakili oleh negara. Kalau tindak pidana bisa selesai dengan maaf, maka nanti bisa banyak orang melakukan tindak pidana dan hanya menyelesaikannya dengan meminta maaf. Berbeda dengan di Arab Saudi pemberian maaf atau denda bisa menghilangkan hukuman pidana.
Dalam kasus Ahok saya tidak menjelaskan soal posisi hukumnya karena masalahnya sudah jelas, tetapi saya lebih banyak menjelaskan tentang perkembangan demokrasi dalam kaitan dengan pilkada secara langsung. Saya kemukakan bahwa pilkada secara langsung, tanpa kita cermati, telah banyak memberi manfaat dalam penguatan integrasi bangsa.
Pada era Orde Baru tidak mungkin kita bisa menonton perhelatan demokrasi yang diikuti dengan meriah oleh rakyat. Sekarang kita bisa menikmati itu baik sebagai penonton maupun sebagai pemain (kalau mau). Lebih dari itu, dengan sistem dan mekanisme pilkada yang berlaku sekarang maka sekat-sekat ideologi atau subideologi antarparpol menjadi cair sehingga integrasi kita menjadi lebih kuat.
Tidak ada lagi oposisi maupun koalisi permanen. Golkar dan PDIP atau Nasdem yang berbeda koalisi dalam Pilpres bisa bersatu dalam pilkada di berbagai daerah. PKS dan Gerindra yang berbeda dukungan dalam pilkada di suatu daerah bisa bersatu dalam dukungan di daaerah lain.
Ini berkah terselubung (blessing indisguised) dalam perkembangan demokrasi kita. Pancasila sebagai dasar ideologi negara menjadi semakin mantap.
Soal Marwah Dawud Ibrahim juga menjadi pembahasan menarik dalam diskusi dadakan itu. Yang disorot, bukan hanya kasus hukum yang menimpa Dimas Kanjeng yang dibelanya tetapi lebih pada sikap irasional Marwah yang tak dinilai tidak lazim dilakukan oleh seorang cendekiawan muslim dan menyempal dari pemahaman mainstream kaum muslimin tentang kejadian gaib.
(poe)