Lampu Kuning HMI

Jum'at, 27 November 2015 - 07:14 WIB
Lampu Kuning HMI
Lampu Kuning HMI
A A A
KERICUHAN yang hampir selalu mewarnai setiap pelaksanaan Kongres HMI sungguh sangat mencemaskan. Betapa tidak? Ini adalah kongres organisasi kemahasiswaan. Sebuah organisasi yang diharapkan bisa mencetak calon pemimpin bangsa. Organisasi pengaderan yang seharusnya bisa berjalan lebih tertib karena relatif belum tercemar dengan kepentingan-kepentingan politik dan semacamnya.

Mantan Ketua Umum PB HMI Akbar Tanjung pun merasa malu dengan kejadian ini. Ia mengusulkan ada evaluasi tentang kurikulum pengaderan. Juga mekanisme yang lebih ketat untuk para rombongan liar alias romli di kongres. Dengan demikian, berbagai kericuhan dan tindakan tidak senonoh dari para kader HMI di setiap kongres bisa dihindarkan. Peserta romli harus diatur lebih awal lewat peraturan kongres sehingga tidak mengganggu jalannya agenda penting organisasi tersebut.

Persoalannya mengapa tindakan ”menyimpang” dari sejumlah kader HMI tersebut muncul belakangan? Berbagai ulah yang terjadi sudah tidak lagi mencerminkan akhlak kader organisasi intelektual Islam seperti naik kapal tanpa tiket, makan di restoran tanpa bayar, dan aksi demo anarkistis di kota tempat berlangsung kongres. Apakah peristiwa ini murni muncul dari keinginan kader atau karena faktor lain? Mungkinkah kericuhan itu dihindarkan di masa mendatang?

Nonintelektual
Kisruh dalam agenda organisasi memang sudah menjadi hal umum belakangan ini. Bahkan sejumlah organisasi politik selalu berujung pada perpecahan dan terjadi dualisme kepengurusan. Ini antara lain menimpa Partai Golkar dan PPP. Penyakit pecah tidak hanya melanda parpol, tetapi juga organisasi lain seperti Kadin, HKTI, bahkan organisasi olahraga seperti Persatuan Tenis Meja Indonesia (PTMI). Ormas keagamaan juga tak luput dari perpecahan.

Embrio perpecahan HMI juga telah berlangsung lama. Hanya saja, dulu perpecahan itu dipicu masalah ideologis. Misalnya pada zaman Orde Baru, HMI terpecah menjadi dua dengan munculnya HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) dan HMI pendukung Asas Tunggal. Sumber perpecahan itu adalah keharusan untuk menjadikan asas tunggal Pancasila. Ketika itu, HMI MPO dipimpin Eggy Sujana, sedangkan HMI Asas Tunggal dipimpin Hary Azhar Azis. Perpecahan ini mengkristal sampai akhir masa rezim Soeharto.

Di masa Orde Baru, tantangan HMI memang lebih nyata. Ia berhadapan dengan hegemoni negara yang berusaha untuk menjadikan semua sumber civil society terkontrol oleh negara melalui ideologisasi Pancasila. Gerak organisasi kemahasiswaan juga terbatasi dengan adanya program normalisasi kampus yang digalakkan menteri pendidikan saat itu. Karena itu, meski terpecah antara garis pro-asas tunggal dan kontra-asas tunggal, model gerakannya tidak sampai anarkistis.

Justru pada saat ruang gerak ormas kemahasiswaan terbatas, nuansa intelektual gerakan HMI menjadi lebih terasa. Banyak muncul kader baru dengan kemampuan intelektual tinggi. Inilah yang kemudian melahirkan para teknokrat di zaman Orde Baru. HMI menjadi salah satu organisasi kemahasiswaan yang paling siap menyediakan kader pemimpin intelektual yang dibutuhkan negara. Di satu sisi, mereka mendapat tekanan dalam mengembangkan diri di kampus. Di pihak lain, produknya dibutuhkan negara untuk mengisi berbagai posisi strategis.

Pasca-Reformasi, arah pengaderan HMI justru makin tidak jelas arahnya. Kekuatannya justru terpusat di alumninya. Sementara HMI sebagai organisasi pengaderan malah seperti kehilangan arah. Sampai sekarang, belum muncul tokoh sentral dalam jagat nasional. Jika dulu mantan ketua umum PB HMI selalu menjadi tokoh nasional, kini belum muncul lagi. Nurcholish Majid, Akbar Tanjung, dan Anas Urbaningrum adalah contoh aktivis HMI yang kemudian menjadi tokoh sentral di jagat politik nasional.

Lahirnya tokoh-tokoh itu barangkali karena mereka tidak hanya piawai dalam ”kerajinan” politik, tapi juga punya landasan intelektual yang memadai. Siapa lagi ketua umum PB HMI pasca-Reformasi yang muncul sebagai tokoh intelektual maupun politik? Sepertinya tidak kelihatan sama sekali. Output pengaderan HMI kini kalah dengan PMII dan GMNI yang berhasil menempatkan para teknokrat yang belakangan banyak menduduki posisi strategis.

Kuatnya para alumni HMI tampaknya juga menjadi semacam ”berkah merugikan” bagi pengaderan HMI. Aktivis HMI sekarang cenderung terjebak dalam ketergantungan kepada alumni. Akibatnya mereka banyak yang terseret dalam pertarungan politik alumni.

Sebetulnya, pertarungan politik alumni yang mengejawantah di kalangan HMI ini sudah berlangsung sejak tampilnya Anas Urbaningrum menjadi ketua umum PB HMI lewat kongres di Yogya. Saat itu pertarungan sangat kuat antara kubu politik dengan kubu intelektual. Anas saat itu bisa memenangi pertarungan sebagai simbol dari kubu intelektual.

Kini pertarungan kepentingan dalam kongres HMI justru semakin kabur. Kurang jelas orientasi kepentingan antarkandidat. Juga tidak berhasil membawa isu yang bisa mengkristalkan persaingan antarkandidat. Pertarungan antara intelektualisme dan pragmatisme politik? Tidak. Yang muncul justru isu yang sangat tidak mendasar. Misalnya soal fasilitas peserta maupun kedatangan rombongan liar yang tak terkendali. Juga manajemen kongres yang berlarut-larut seperti dalam Kongres Bandung yang lalu.

Reorientasi
Melihat perkembangan dari kongres ke kongres, tampaknya HMI sudah berada dalam lampu kuning. Harus ada pemikiran dan langkah strategis untuk membenahi arah organisasi. Jika tidak, HMI akan menjadi gerombolan mahasiswa Islam yang jauh dari visi utama organisasi, yakni menciptakan insan cita akademik yang Islami. Perlu juga dipikirkan usulan Akbar Tanjung untuk merevisi model dan materi pengaderan sehingga bisa menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas.

Tradisi intelektualisme HMI harus kembali menjadi arus utama pengaderan. Bahwa setelah menjadi alumni memilih sebagai politisi maupun teknokrat, intelektualisme justru menjadi modal dasar mereka dalam jagat praksis.

Dengan kekuatan intelektualitas, mereka akan bisa lebih kompetitif ketika menjadi alumni dan bisa bertarung dalam medan apa pun. Singkatnya, seorang anggota HMI haruslah seorang intelektual. Kalau tidak ia akan menjadi gerombolan mahasiswa yang anarkistis.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0814 seconds (0.1#10.140)