Hari Santri, antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan
A
A
A
Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri menyulut kontroversi. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tidak setuju penetapan ini karena sama artinya dengan mengotakngotakkan umat sebagaimana kategorisasi Clifford Geertz: santri-priyayi-abangan.Penolakan senada disampaikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Dalam surat pribadi yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo, Din mengusung sejumlah alasan mengapa tidak setuju dengan Hari Santri. Selain seperti yang disampaikan Haedar Nashir, Din juga menekankan penetapan Hari Santri dengan mengaitkannya dengan peristiwa Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, adalah bentuk penyempitan jihad baik dari segi waktu, para pelaku, dan pemaknaannya.Jika diuraikan lebih jauh, dari segi waktu, dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, jihad sudah berlangsung lama, bahkan sejak jauh sebelum kemerdekaan. Resolusi Jihad hanya satu episode singkat dari proses perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang kemudian melahirkan sejarah Hari Pahlawan. Ini yang pertama.Kedua, para pelaku sejarah jihad tidak bisa dibatasi pada mereka yang terlibat dalam Resolusi Jihad. Setiap episode perjuangan sudah pasti ada tokohtokoh pelakunya yang menjadi pelopor dan penggerak perjuangan. Sederetan nama pejuang yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional menjadi bukti sekaligus rekognisi ketokohan mereka dalam setiap episode sejarah perjuangan yang dilakoninya.Ketiga, yang paling penting, pemaknaan jihad tidak bisa dibatasipada perjuangan fisik belaka (harbi). Jihad harus dikembangkan maknanya secara lebih luas, seluas cakrawala kiprah kemanusiaan sesuai minat, bakat, dan tuntutan zaman. Perjuangan dibidang ekonomi, politik, hukum, dan iptek adalah bagian dari manifestasi makna jihad dalam spektrumnya yang luas.Janji PolitikPenetapan Hari Santri merupakan salah satu janji yang disampaikan Jokowi saat kampanye politik saat menjelang pemilihan presiden untuk menjawab tuntutan umat khususnya warga Nahdlatul Ulama. Tuntutan yang diajukan saat kampanye sulit untuk tidak dipenuhi karena tujuan kampanye adalah untuk dipilih.Mengabaikan tuntutan saat kampanye sama artinya dengan keengganan untuk dipilih. Lantas, mengapa muncul adagium, kampanye adalah satu hal dan memerintah adalah hal yanglain? Karena, antara janji-janji yang disampaikan saat kampanye tidak ekuivalendenganapayangharus dijalankan saat memerintah.Tugas dan kewajiban saat kampanye, selain menyampaikan program, adalah menjawab pertanyaan dan tuntutan dari khalayak yang terlibat dalam proses kampanye. Sedangkan tugas dan kewajiban pemerintah adalah menjalankan dan mematuhi undang-undang yang disusun dan ditetapkan melalui proses legislasi yang juga diatur dengan undang-undang.Janji yang disampaikan saat kampanye bisa ditunaikan saat memerintah sepanjang tidak bertentangan dengan undang- undang. Janji kampanye yang bertentangan dengan undangundang tidak boleh ditunaikan saat memerintah. Sedangkan janji kampanye yang tidak bertentangan dengan undang- undang, namun berpotensi melanggar undang-undang (karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan misalnya) tidak seharusnya ditunaikan saat memerintah.Prinsip KeadilanPenetapan Hari Santri menjadi pelajaran penting baik bagi para pemimpin (pemerintah) maupun masyarakat pada umumnya (rakyat). Bagi pemimpin, apalagi pemimpin nasional, seyogianya tidak terjebak pada kepentingan parokial. Pengutamaan kepentingan parokial sama artinya dengan pengabaian keadilan.Menurut John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), ada dua prinsip utama keadilan, yakni pertama, setiap orang mempunyai hak kebebasan yang sama atas kebebasan yang paling dasar dan luas, yang tidak dibedakan dengan yang lain; dan kedua, hak dalam bidang sosial dan ekonomi yang harus diatur agar tidak mengalami ketimpangan.Terkait dengan tema tulisan ini, mari kita fokus pada prinsip keadilan pertama, yang berkaitan dengan hak-hak politik baik dalam implementasi maupun rekognisi. Dalam ranah implementasi, setiap orang punya hak untuk memilih dan dipilih dalam menduduki jabatan publik, punya hak kebebasan berbicara, berserikat, berkeyakinan, serta bebas dari perlakuan sewenang- wenang.Dalam ranah rekognisi, setiap hak itu membutuhkan pengakuan pihak lain, terutama dari pemerintah. Tugas pemimpin adalah menjaga agar implementasi dan rekognisi dari hak-hak itu dilakukan secara adil, tidak mengutamakan yang satu dari yang lain. Dengan kata lain, menegakkan rule of law harus dijalankan dengan prinsip equality before the law.Artinya, dalam memberikan pengakuan pada hak-hak setiap, atau sekelompok orang, harus dengan kadar yang sama, tanpa mengistimewakan yang satu dari yang lainnya. Bagi masyarakat secara umum (rakyat), penetapan Hari Santri bisa memberi pelajaran bahwa dalam menuntut hak kepada pemimpin pun harus berpijak pada prinsip-prinsip keadilan.Dalam menuntut hak untuk diakui misalnya tidak boleh didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok yang (berpotensi) mengabaikan atau melanggar hak-hak individu atau kelompok yang lainnya. Yang boleh atau bahkan harus dituntut dari pemimpin (pemerintah) adalah hak yang bisa diakui, dijalankan, atau dinikmati oleh semua warga negara, baik secara individual maupun kelompok. Wallahu alam !Abd Rohim GhazaliDirektur Eksekutif Yayasan Paramadina,Wakil Ketua Umum Koornas Fokal IMM
(bhr)