Lintas Komisi di Pansus Pelindo Gate

Kamis, 17 September 2015 - 09:32 WIB
Lintas Komisi di Pansus...
Lintas Komisi di Pansus Pelindo Gate
A A A
PT Pelindo II sarat masalah atau kasus. Diduga telah terjadi penyelewengan dana atau korupsi, pencucian uang, hingga monopoli area pelabuhan oleh sekelompok pengusaha.

Paling serius adalah dugaan pelanggaran undang-undang (UU) dalam proses perpanjangan kontrak atau konsesi pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh Hutchinson Port Holding (HPH). Itu sebabnya, Panitia Khusus DPR (Pansus) DPR untuk kasus Pelindo II harus beranggotakan lintas komisi. Komisi III DPR akan mendalami aspek pelanggaran hukum dan UU.

Aspek infrastruktur dan regulasi pelabuhan didalami oleh Komisi V DPR. Oleh karena Pelindo II berstatus badan usaha milik negara (BUMN), peran Komisi VI DPR tentu saja relevan dan sangat diperlukan. Aspek penerimaan negara dan permodalan didalami oleh Komisi XI DPR. Persoalannya sudah sangat serius sehingga berbagai aspek tadi memerlukan kajian yang lebih mendalam, termasuk aspek ketenagakerjaan.

Mungkin, padanan masalah Pelindo II adalah pepatah berikut ini; sepintar-pintar bangkai ditutupi, baunya akan tetap tercium juga. Kalau saja para penguasa tidak memberi reaksi berlebihan atas penggeledahan di Kantor Pelindo II oleh Bareskrim Mabes Polri tempo hari, DPR mungkin tidak akan pernah berpikir atau berinisiatif membentuk pansus guna menyelidiki sepak terjang para pengelola BUMN yang satu ini.

Namun, takdir sudah berbicara dan menghendaki pepatah tadi itu diberlakukan. Reaksi berlebihan pemerintah yang berpuncak pada pergeseran jabatan dua perwira tinggi Mabes Polri baru-baru ini menghadirkan keanehan di jagat hukum dan perpolitikan negeri ini. Sang perwira yang menggeledah dituduh membuat gaduh dan mengganggu perekonomian sehingga dia harus dipindah k epos lain.

Sementara pihak tergeledah yang lancang dan berperilaku tidak etis justru dilindungi oleh sejumlah orang di sekitar Presiden Joko Widodo. Begitulah potret keanehan itu. Salah besar jika keanehan atau ketidakwajaran itu didiamkan atau tidak diselidiki. Benar bahwa Polri telah melakukan penyelidikan atas ketidakwajaran pembelian 10 unit mobile crane (pemindah kontainer) oleh manajemen Pelindo II dan dugaan kasus pencucian uang.

Tetapi, ketidakwajaran sikap beberapa pejabat pemerintah serta Direktur Utama (Dirut) Pelindo II RJ Lino juga harus diselidiki. Begitu juga dengan ketidakwajaran proses yang melatarbelakangi perpanjangan konsesi pengelolaan JICT oleh HPH. Negara merugi triliunan rupiah jika kontrak itu dijalankan. Ketidakwajaran itu terjadi akibat kehadiran politik kekuasaan.

Ekstremnya, ada intervensi terhadap proses hukum. Maka itu, DPR-lah yang berwenang merespons intervensi politik kekuasaan terhadap sebuah proses hukum. Bisa dipastikan bahwa institusi penegak hukum tidak mungkin mempertanyakan alasan pemerintah bersikap berlebihan atas penggeledahan Kantor Pelindo II oleh Bareskrim Polri.

Hanya DPR yang memiliki kekuasaan untuk bertanya kepada Wakil Presiden, Menteri PPN/Kepala Bapenas Sofyan Djalil, atau Menteri BUMN Rini Soemarno. Dari deskripsi masalah seperti itu, syarat bagi tampilnya sebuah Pansus DPR untuk kasus Pelindo II bukan hanya sudah terpenuhi, melainkan nyata-nyata menjadi sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar.

Urgensi Pansus DPR pun semakin kuat setelah Bareskrim Polri membatalkan status tersangka terhadap seseorang dalam kasus PelindoII. Padahal, sebelumnya Bareskrim mengumumkan penetapan tersangka untuk Direktur Teknis dan Operasional PT Pelindo II berinisial FN.

Artinya, kehadiran Pansus DPR menjadi sangat penting, antara lain untuk mengawal proses hukum itu sendiri. Karut-marut pengelolaan pelabuhan sudah berlangsung sangat lama. Manajemen hukum rimba dipraktikkan pada hampir semua pelabuhan, termasuk di Tanjung Priok. Kebobrokan manajemen pelabuhan menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya tinggi.

Masyarakat pasti senang dan mendukung perbaikan tata kelola pelabuhan. Kini semua orang pasti lega karena ragam penyimpangan manajemen di Pelabuhan Tanjung Priok akhirnya tersentuh hukum.

Kasus ketidakwajaran 10 mobile crane dan beberapa dugaan pelanggaran yang melatarbelakangi penggeledahan Kantor Pelindo II sudah banyak diulas. Namun, temuan terbaru yang juga sangat menjengkelkan adalah penyebab utama terjadi inefisiensi bongkar-muat barang. Inefisiensi terjadi karena operator Pelabuhan Tanjung Priok, PT Pelindo II, tidak fair dan cenderung korup.

Rekayasa

Rentang waktu inap barang dipelabuhanatau dwelltime yang masih sangat lama ternyata memang direkayasa. Dugaan rekayasa dwell time itu ditemukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli ketika dia melakukan inspeksi ke Pelabuhan Tanjung Priok. Area pelabuhan ternyata sudah dikapling-kapling untuk sekelompok pengusaha.

Menteri Rizal mendapatkan laporan bahwa perusahaan milik anggota keluarga Dirut Pelindo II pun mendapat kapling di area pelabuhan. Dari pengaplingan itu muncul raja-raja kecil pelabuhan dan membuka lapak di area kapling masing-masing. Penguasaan area atau pengaplingan dimanfaatkan oleh raja-raja kecil itu untuk area penumpukan barang.

Perpindahan barang dari kapling yang satu ke yang lainnya tentu saja butuh waktu dan biaya. Pembengkakan biaya dwell pasti terjadi karena pemilik kapling biasanya sengaja mengulur waktu untuk mendapatkan pembayaran yang lebih besar dari pemilik barang. Waktu pemindahan yang lama hingga barang keluar dari pelabuhan tak bisa dihindari oleh pemilik barang.

Kalau ingin mendapat perlakuan khusus atau proses dwell time yang cepat, pemilik barang harus berani membayar lebih mahal. Itu sebabnya, polisi menduga sudah terjadi tindak pemerasan dalam proses mengeluarkan barang dari Pelabuhan Tanjung Priok.

Selain tindak pemerasan, pengaplingan area pelabuhan untuk mengacau-balaukan dwell time sudah masuk kategori kejahatan terhadap perekonomian negara. Selain faktor dwell time, perpanjangan konsesi pengelolaan JICT oleh HPH pun tampak tidak wajar sehingga memunculkan dugaan ada rekayasa.

Kesan ketidakwajaran yang pertama adalah RJ Lino yang terlihat sangat terburu-buru ingin memperpanjang konsesi HPH untuk mengelola JICT. Padahal, konsesi pertama yang masih berlaku saat ini baru akan berakhir empat tahun lagi atau pada 2019 untuk pengelolaan JICT, dan untuk pengelolaan terminal peti kemas (TPK) Koja berakhir tiga tahun lagi atau pada 2018.

Ketidakwajaran berikutnya adalah kesan bahwa RJ Lino yang hanya dirut BUMN itu jalan sendiri dalam memperpanjang konsesi HPH di JICT, tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR. Harap diingat bahwa JICT diprivatisasi ketika negara ini masih berselimut krisis moneter pada 1999.

Pembahasan dan negosiasi privatisasi JICT saat itu dilaksanakan oleh tiga menteri; menteri keuangan, menteri negara BUMN dan menteri perhubungan. Sebelum finalisasi privatisasi itu, semua aspek dikonsultasikan dengan DPR. RJ Lino dan anggota direksi Pelindo II lainnya tidak punya hak untuk memutuskan perpanjangan konsesi pengelolaan JICT dengan HPH atau siapa pun juga.

Pemberian atau perpanjangan konsesi pengelolaan area pelabuhan merupakan domain otoritas pelabuhan yang beradah di bawah Kementerian Perhubungan RI. Secara sepihak, Lino pernah mengklaim bahwa perpanjangan konsesi 20 tahun pengelolaan JICT oleh HPH sudah mendapat persetujuan dari Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno.

Namun, klaim itu diduga manipulatif. Sebab, Menteri BUMN dalam suratnya memang menyatakan bahwa secara prinsip bisa menyetujui rencana memperpanjang konsesi pengelolaan JICT oleh HPH. Namun, Menteri BUMN memberi syarat bahwa perpanjangan konsesi itu harus mengacu pada UU No 17/2008 tentang Pelayaran.

UU ini dengan tegas memisahkan wewenang dan peran regulator pelabuhan dengan operator pelabuhan. Dengan menunjukkan syarat itu, Menteri BUMN ingin mengatakan kepada Lino bahwa Pelindo II sebagai operator Pelabuhan Tanjung Priok tidak berwenang memperpanjang konsesi HPH. Sebaliknya, Pelindo II justru harus mendapatkan konsesi terlebih dahulu dari regulator pelabuhan untuk mengelola Pelabuhan Tanjung Priok.

Artinya, Lino harus minta konsesi dari Kementerian Perhubungan RI. Namun, Lino tidak menghiraukan surat Menteri BUMN. Konon, bermodalkan persetujuan dan tanda tangan Menko Perekonomian sebelumnya, Lino nekat bertindak mengatasnamakan Pemerintah RI menyetujui perpanjangan konsesi HPH untuk mengelola JICT.

Sebegitu jauh, tidak ada yang berani menghentikan sepak terjang Lino, karena ada banyak orang kuat, orang penting, dan pengusaha besar yang siap pasang badan untuk membela Lino. Publik tentu masih ingat ketika Lino dengan suara lantang menentang gagasan menteri perhubungan yang menyarankan Presiden untuk memulihkan wewenang Kementerian Perhubungan sebagai regulator pelabuhan, utamanya membenahi dwell time.

Kini kekuatan Lino dan kawan- kawan pendukungnya sedang diuji. Dimulai dengan tindakan Bareskrim Polri menggeledah Kantor Pelindo II, ujian bagi Lino dkk itu akan berlanjut dengan tampilnya Pansus DPR untuk kasus Pelindo II. Akhirnya seperti peribahasa; sepintar-pintar bangkai ditutupi, baunya akan tetap tercium juga.

BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0772 seconds (0.1#10.140)