Mark Hanusz dan Pramudya Ananta Toer

Selasa, 08 September 2015 - 09:11 WIB
Mark Hanusz dan Pramudya...
Mark Hanusz dan Pramudya Ananta Toer
A A A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected] Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas


Kretek, however, is more than simply an exotic cigarette and economic phenomenon, it is an integral part of Indonesiaintegral part of Indonesias cultural tradition. (Mark Hanusz)

Mark Hanusz dan Pramudya Ananta Toer; dua sosok pribadi, yang satu hidup di dunia kemegahan uang dan yang satu lagi seniman besar yang hidup di dunia ide.

Usaha untuk membuat kedua bertemu kelihatannya merupakan sesuatu yang mustahil. Jika kita hanya melihatnya secara sepintas lalu, akan segera jelas bahwa Mark, seorang bankir, dan Pram, sastrawan terkemuka, niscaya tidak akan cocok satu dengan yang lain. Keduanya mungkin memang tidak bisa bertemu secara hangat untuk berbicara tentang hidup.

Seorang bankir kerjanya ”membuat” uang, sastrawan bekerja di dalam bidang nilainilai, dalam ”worldview ”, dalam sikap dan tingkah laku manusia maupun dalam renungan filsafat tentang keadilan, kemanusiaan dan estetika yang sangat jauh dari bank dan dari uang. Di bank, uang yang paling berharga. Bank itu ”rumah” uang. Di dalamnya hanya ada uang dan uang. Manusia ada hanya untuk melipatgandakannya. Sekali lagi, di bank, uanglah yang paling berharga dan paling dimuliakan oleh manusia.

Dunia Pram tidak ada hubungannya dengan bank. Mungkin Pram mengutuk bank ketika dalam keadaan darurat sedang membutuhkan uang, tapi bank tak begitu tertarik untuk memberinya pinjaman yang mengandung tuntutan kekeluargaan, dan menimbang rasa kemanusiaan. Kemanusiaan yang adil dan beradab boleh diteriakkan seribu kali dalam hanya satu jam, tetapi boleh jadi bank tak tergiur untuk mendengarkannya. Dalam kamus dunia perbankan, kata kemanusiaan tidak ada. ”Rumah” uang ya ”rumah” uang. Dia bukan rumah kemanusiaan.

*** Kita tahu, bank bekerja dengan mekanisme bisnis serba ketat, dan jauh dari apa yang namanya filsafat keadilan, kemanusiaan maupun keindahan.

Tapi ketika Mark melepas semua atribut yang ada pada dirinya, dan kemudian tampil sebagai peneliti yang berkutat dengan wawancara, melakukan pengamatan secara jeli dan menginterpretasi suatu fenomena sebagai bagian dari data yang dihimpunnya, lalu berbicara tentang tembakau, tentang produk olahannya, dan aroma cengkeh yang semerbak, ada hangat ada pedas, dan menghubungkannya dengan warisan kebudayaan Indonesia, pelan-pelan Mark dan Pram pasti tersambung oleh semangat dan jiwa seorang penulis.

Ketika pembicaraan jauh dari urusan uang sesuatu yang asing baginya Pram akan bisa melayaninya semalam suntuk. Lebih-lebih kalau Mark membawakannya oleh-oleh berupa beberapa bungkus kretek kegemarannya. Kitasedangberbicaratentang Mark yang menulis buku Kretek: The Culture and Heritage of IndonesiaThe Culture and Heritage of Indonesias Clove Cigarettes, buku terbaik di bidang tersebut hingga saat ini.

Majalah Time menyanjungnya dengan ungkapan bahwa Mark menampilkan uraian hingga ke tingkat detail, dan dengan teliti mengenai industri yang sudah berusia 120 tahun itu, didukung oleh ilustrasi yang ”so beautiful”, ”so interesting”. Dan, patut ditambahkan pula di sini bahwa hingga hari ini buku Mark tadi belum ada tandingannya. Karya yang setara saja belum ada. Apalagi yang menandingi keunggulannya.

*** Apa yang dianggap penting dari tulisan Mark menurut kalangan muda yang bergerak di dalam komunitas-komunitas pembela tembakau? Mungkin ini: bahwa kretek bukan hanya rokok yang bersifat eksotik maupun fenomena ekonomi belaka. Baginya, kretek merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini.

”Kretek bagian dari keluhuran budaya Indonesia?” Pesona Indonesia, atau pesona dari Timur, kehangatan dan aroma wangi cengkeh, yang membuat bangsa-bangsa Barat berdatangan, berkelahi dan baku bunuh di sini, dan kemudian pelan-pelan menaklukkan kita. Abad ke-16 itu abad yang ditandai dengan modernitas, kemajuan dan pencerahan. Tapi, apa yang maju di Eropa, kata Pramdalamnovelnya yangpaling top, Bumi Manusia, hanya beraku di Eropa.

Orang-orang yang hidup berkemajuan itu tak memberi kita perlakuan dengan rasa hormat. Dalam diskusi seperti ini Mark dan Pram jelas satu semangat satu jiwa yang ibaratnya takkan terpisahkan satu dari yang lain. Di dalam buku Mark itu ditulis: Mark Hanusz ”with a foreword by Pramudya Ananta Toer.” Terbit pada tahun 2003 ketika nama Pram sudah melejit setinggi langit sejak lama sebelumnya.

Namanya terukir dengan megah di tingkat dunia. Di dalam buku Mark itu Pram berbicara tentang masa kecilnya, tentang kretek dan pasar malam. Di usia masih 13 tahun, ketika ayahnya menganggap Pram bodoh, dan tak boleh meneruskan sekolah, Pram membuka warung kretek. Dengan kata lain, Pram ”dihukum” ayahnya, lalu berjualan kretek. Persis seperti Roro Mendut yang dikenai hukuman oleh Tumenggung Wiroguno dari Mataram, dan kemudian membuka warung rokok yang menjadi bisnis yang sukses.

Selama setahun itu Pram meraih sukses pula. Kita tidak tahu dari mana darah bisnis yang mengalir di dalam tubuhnya. Dia melayani para pelanggan, termasuk pamannya sendiri, yang membeli kreteknya dengan cara ”kredit”. Harga kretek dibayar pelan-pelan di kemudian hari. Ini potret ekonomi rakyat yang sangat tulen. Hukumnya bukan bisnis adalah bisnis. Juga bukan ungkapan bahwa bisnis tak mengenal saudara. Tapi, bisnis itu tolong menolong.

Semangat ituterbuktimembuatnya sukses. Tapi, anak adalah anak. Sambil berlatih bisnis itu Pram juga bermain gambar, atau disebut ”adu gambar” seperti layaknya mainan anak-anak yang baru tumbuh, Tak diragukan dia sendiri perokok berat. Sampai di akhir hayatnya, dalam usia sekitar 86 tahun kegemaran merokok tak dihentikannya. Dia mengetik sambil merokok. Ke belakang pun merokok. Juga ketika duduk tenang sambil mengembangkan inspirasi untuk menulis.

Pram dan rokok itu dua entitas yang menjadi satu dan saling mendukung. Mark menulis buku kretek dan memberinya sanjungan yang melambung ke dunia ide, tentang budaya Indonesia, Pram merokok untuk menanti datangnya inspirasi, dan ”mengejar” ide.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0868 seconds (0.1#10.140)