Mengantisipasi Gempuran Tenaga Kerja Asing
A
A
A
Dzulfian Syafrian
Ekonom Indef
Kontras dengan kebijakan negara-negara di Eropa yang memproteksi pekerjaan kasar (low-skilled jobs) untuk warganya, kita justru mulai membuka keran tersebut seluas-luasnya. Pascakrisis keuangan global 2008, isu imigrasi di Eropa memang semakin santer didengungkan.
Partaipartai yang mengusung pengetatan pintu imigrasi sering mendapat perhatian publik dan meraih tambahan suara yang cukup signifikan. Salah satu contoh yang paling menarik adalah melonjaknya perolehan suara Partai UKIP (UK Independence Party) di Inggris Raya (the United Kingdom/UK) yang terkenal sebagai partai yang paling tegas dalam menentang arus imigrasi di negeri mereka.
Konsisten mengusung isu ini, pada PemiluInggrisRaya terakhir (2015), UKIP menjelma menjadi partai ketiga terbesar setelah Partai Konservatif (36,9%) dan Buruh (30,4%) dengan perolehan 12,6% suara populer (popular votes) atau naik empat kali lipat dibanding pemilu sebelumnya. Inilah gambaran nyata bahwa isu imigrasi dapat mengubah peta politik suatu negara secara signifikan.
Melindungi Buruh Lokal Untuk menopang biaya hidup ketika melanjutkan studi magister di Inggris Raya tahun lalu, penulis menyempatkan diri bekerja paruh waktu sebagai pelayan restoran (waiter). Teman-teman Indonesia lainnya juga banyak yang bekerja paruh waktu sebagai cleaning service, penjaga perpustakaan, atau pelayan restoran/toko.
Setiap mahasiswa di sana memang diperbolehkan untuk bekerja paruh waktu maksimal 20 jam dalam seminggu. Namun, terhitung tahun ini, Pemerintah Inggris Raya telah mencabut peraturan ini sehingga tidak hanya mahasiswa, para pendamping mahasiswa (dependent) yang awalnya bahkan dapat bekerja full time, kini hanya dapat bekerja sesuai dengan keahliannya masingmasing atau dengan kata lain para mahasiswa ini sudah tidak dapat lagi bekerja sebagai pekerja kasar.
Inilah salah satu cara Pemerintah Inggris Raya melindungi lapangan pekerjaan kasar bagi rakyatnya. Meskipun tergolong memiliki performa ekonomi yang baik relatif terhadap negaranegara Eropa lainnya, Inggris Raya memang sedang gencargencarnya mengontrol ketat imigrasi mereka, khususnya imigrasi dari orang-orang non- Eropa dan Eropa Timur.
Pengetatan imigrasi ini sebagai salah satu cara Pemerintah Inggris Raya untuk menekan dampak negatif yang ditimbulkan para imigran seperti turunnya tingkat upah, naiknya harga sewa rumah, jebolnya anggaran negara akibat klaim jaminan sosial (social benefits) oleh para imigran, dan semakin terbatasnya lapangan pekerjaan (kasar) bagi masyarakat menengah bawah.
Di sisi lain, Pemerintah Inggris Raya juga sangat membuka keran pekerjaan yang membutuhkan keahlian tinggi (high-skilled jobs). Kehadiran para tenaga kerja asing (TKA) berkeahlian tinggi memang secara agregat, sebagaimana dibuktikan oleh banyak studi, memiliki dampak positif (net benefit) terhadap perekonomian Inggris Raya itu sendiri karena para pekerja ini memiliki produktivitas yang tinggi, menambah lapangan pekerjaan, menciptakan inovasi, berujung pada peningkatan nilai tambah (added value) perekonomian.
Kebijakan semacam ini tidak hanya diterapkan di Inggris Raya, tetapi juga negara-negara maju lainnya seperti Eropa dan Amerika Serikat. Secara sederhana, kebijakan imigrasi mereka didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama, mereka membuka pintu seluasluasnya bagi para TKA yang memiliki keahlian tinggi. Kedua, di sisi lain, pekerjaan kasar dibuka untuk para TKA ketika pekerjaan tersebut tidak diminati oleh para penduduk asli negara tersebut (native people).
Persyaratan Bahasa Kontras dengan negaranegara maju yang mensyaratkan para pekerja imigran dapat berbahasa lokal, kita justru mencabut aturan tersebut. Berdasarkan Peraturan Kementerian Tenaga Kerja/Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 yang merevisi Permenaker Nomor 12 Tahun 2013, pemerintah telah mencabut syarat bahwa setiap TKA tidak wajib dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia jika ingin bekerja di sini.
Kebijakan ini jelas sangat pro-TKA dan merugikan para tenaga kerja Indonesia (TKI). Pemerintah berargumen bahwapenghapusanpersyaratan kemahiran berbahasa Indonesia lantaran permintaan para investor yang merasa kesulitan untuk memenuhi persyaratan ini ketika melakukan investasi di Indonesia. Dengan menghilangkan persyaratan ini, pemerintah berharap tingkat investasi (asing) di Indonesia dapat naik signifikan.
Faktanya, hambatan utama investasi di Indonesia bukanlah kendala kewajiban berbahasa Indonesia atau tidak. Menurut studi dari LPEM FEUI (2007), hambatan utama melakukan bisnis(doingbusiness) diIndonesia dari perspektif para pelaku usaha adalah instabilitas makroekonomi, buruknya infrastruktur (energi, listrik, jalan, pelabuhan), korupsi, dan inkonsistensi kebijakan pemerintah.
Inilah pekerjaan utama pemerintah yang seharusnya segera diselesaikan terlebih dahulu, bukan justru menggadang-gadang persoalan penguasaan bahasa Indonesia semata. Penghilangan persyaratan kemahiran berbahasa Indonesia ini semakin mengakomodasi ekspansi imigran, khususnya dari China, yang bekerja kasar (low-skilled labours) di negeri kita yang makin masif. Tidak heran jika pada Selasa, 1 September 2015, para buruhmenggelaraksi besar-besaran mengkritik kebijakan ngawur ini di seluruh Indonesia, khususnya Jakarta.
Wajar jika para buruh semakin khawatir akan masa depan mereka ketika tren imigrasi TKA ini semakin masif. Konsekuensi yang paling jelas adalah semakin terbatasnya lapangan pekerjaan bagi para TKI akibat infiltrasi TKA ini. Belum lagi, di tengah kondisi perekonomian yang sedang memburuk, gelombang PHK yang terus bertambah dan biaya hidup yang semakin meningkat.
Hal ini semakin membuat nasib TKI Indonesia bertambah kelabu dan sulit. Gelombang protes terhadap kebijakan ini tidak hanya berasal dari para buruh, namun juga dari para politisi baik dari partai oposisi maupun koalisi pemerintah. Beberapa politisi dari partai penguasa (PDIP) juga menolak kebijakan ini.
Dalam konteks Indonesia yang memiliki begitu banyak kelebihan tenaga kerja (labour surplus) atau masih tingginya angka pengangguran, sangatlah tidak bijak jika pemerintah membuka keran TKA di level pekerjaan kasar. Para buruh di level ini akan semakin sulit mendapatkan pekerjaan lantaran kompetisi yang semakin ketat. Secara teoritis, layaknya di pasar lainnya, meningkatnya kompetisi di sektor ini akan mendorong efisiensi ekonomi.
Buruh-buruh akan didorong untuk memiliki keahlian lebih mahir dan produktivitas lebih tinggi. Namun, pertanyaannya adalah apakah pemerintah sudah memberikan bekal yang cukup kepada para buruh kita untuk bersaing? Apakah sistem pendidikan dan sistem perburuhan kita sudah mencetak tenaga kerja yang mampu berdaya saing? Jika jawaban dari kedua pertanyaan tersebut adalah tidak, tidak adil rasanya bagi para buruh kita menghadapi gempuran ini, bak diminta berperang tanpa senjata.
Ekonom Indef
Kontras dengan kebijakan negara-negara di Eropa yang memproteksi pekerjaan kasar (low-skilled jobs) untuk warganya, kita justru mulai membuka keran tersebut seluas-luasnya. Pascakrisis keuangan global 2008, isu imigrasi di Eropa memang semakin santer didengungkan.
Partaipartai yang mengusung pengetatan pintu imigrasi sering mendapat perhatian publik dan meraih tambahan suara yang cukup signifikan. Salah satu contoh yang paling menarik adalah melonjaknya perolehan suara Partai UKIP (UK Independence Party) di Inggris Raya (the United Kingdom/UK) yang terkenal sebagai partai yang paling tegas dalam menentang arus imigrasi di negeri mereka.
Konsisten mengusung isu ini, pada PemiluInggrisRaya terakhir (2015), UKIP menjelma menjadi partai ketiga terbesar setelah Partai Konservatif (36,9%) dan Buruh (30,4%) dengan perolehan 12,6% suara populer (popular votes) atau naik empat kali lipat dibanding pemilu sebelumnya. Inilah gambaran nyata bahwa isu imigrasi dapat mengubah peta politik suatu negara secara signifikan.
Melindungi Buruh Lokal Untuk menopang biaya hidup ketika melanjutkan studi magister di Inggris Raya tahun lalu, penulis menyempatkan diri bekerja paruh waktu sebagai pelayan restoran (waiter). Teman-teman Indonesia lainnya juga banyak yang bekerja paruh waktu sebagai cleaning service, penjaga perpustakaan, atau pelayan restoran/toko.
Setiap mahasiswa di sana memang diperbolehkan untuk bekerja paruh waktu maksimal 20 jam dalam seminggu. Namun, terhitung tahun ini, Pemerintah Inggris Raya telah mencabut peraturan ini sehingga tidak hanya mahasiswa, para pendamping mahasiswa (dependent) yang awalnya bahkan dapat bekerja full time, kini hanya dapat bekerja sesuai dengan keahliannya masingmasing atau dengan kata lain para mahasiswa ini sudah tidak dapat lagi bekerja sebagai pekerja kasar.
Inilah salah satu cara Pemerintah Inggris Raya melindungi lapangan pekerjaan kasar bagi rakyatnya. Meskipun tergolong memiliki performa ekonomi yang baik relatif terhadap negaranegara Eropa lainnya, Inggris Raya memang sedang gencargencarnya mengontrol ketat imigrasi mereka, khususnya imigrasi dari orang-orang non- Eropa dan Eropa Timur.
Pengetatan imigrasi ini sebagai salah satu cara Pemerintah Inggris Raya untuk menekan dampak negatif yang ditimbulkan para imigran seperti turunnya tingkat upah, naiknya harga sewa rumah, jebolnya anggaran negara akibat klaim jaminan sosial (social benefits) oleh para imigran, dan semakin terbatasnya lapangan pekerjaan (kasar) bagi masyarakat menengah bawah.
Di sisi lain, Pemerintah Inggris Raya juga sangat membuka keran pekerjaan yang membutuhkan keahlian tinggi (high-skilled jobs). Kehadiran para tenaga kerja asing (TKA) berkeahlian tinggi memang secara agregat, sebagaimana dibuktikan oleh banyak studi, memiliki dampak positif (net benefit) terhadap perekonomian Inggris Raya itu sendiri karena para pekerja ini memiliki produktivitas yang tinggi, menambah lapangan pekerjaan, menciptakan inovasi, berujung pada peningkatan nilai tambah (added value) perekonomian.
Kebijakan semacam ini tidak hanya diterapkan di Inggris Raya, tetapi juga negara-negara maju lainnya seperti Eropa dan Amerika Serikat. Secara sederhana, kebijakan imigrasi mereka didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama, mereka membuka pintu seluasluasnya bagi para TKA yang memiliki keahlian tinggi. Kedua, di sisi lain, pekerjaan kasar dibuka untuk para TKA ketika pekerjaan tersebut tidak diminati oleh para penduduk asli negara tersebut (native people).
Persyaratan Bahasa Kontras dengan negaranegara maju yang mensyaratkan para pekerja imigran dapat berbahasa lokal, kita justru mencabut aturan tersebut. Berdasarkan Peraturan Kementerian Tenaga Kerja/Permenaker Nomor 16 Tahun 2015 yang merevisi Permenaker Nomor 12 Tahun 2013, pemerintah telah mencabut syarat bahwa setiap TKA tidak wajib dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia jika ingin bekerja di sini.
Kebijakan ini jelas sangat pro-TKA dan merugikan para tenaga kerja Indonesia (TKI). Pemerintah berargumen bahwapenghapusanpersyaratan kemahiran berbahasa Indonesia lantaran permintaan para investor yang merasa kesulitan untuk memenuhi persyaratan ini ketika melakukan investasi di Indonesia. Dengan menghilangkan persyaratan ini, pemerintah berharap tingkat investasi (asing) di Indonesia dapat naik signifikan.
Faktanya, hambatan utama investasi di Indonesia bukanlah kendala kewajiban berbahasa Indonesia atau tidak. Menurut studi dari LPEM FEUI (2007), hambatan utama melakukan bisnis(doingbusiness) diIndonesia dari perspektif para pelaku usaha adalah instabilitas makroekonomi, buruknya infrastruktur (energi, listrik, jalan, pelabuhan), korupsi, dan inkonsistensi kebijakan pemerintah.
Inilah pekerjaan utama pemerintah yang seharusnya segera diselesaikan terlebih dahulu, bukan justru menggadang-gadang persoalan penguasaan bahasa Indonesia semata. Penghilangan persyaratan kemahiran berbahasa Indonesia ini semakin mengakomodasi ekspansi imigran, khususnya dari China, yang bekerja kasar (low-skilled labours) di negeri kita yang makin masif. Tidak heran jika pada Selasa, 1 September 2015, para buruhmenggelaraksi besar-besaran mengkritik kebijakan ngawur ini di seluruh Indonesia, khususnya Jakarta.
Wajar jika para buruh semakin khawatir akan masa depan mereka ketika tren imigrasi TKA ini semakin masif. Konsekuensi yang paling jelas adalah semakin terbatasnya lapangan pekerjaan bagi para TKI akibat infiltrasi TKA ini. Belum lagi, di tengah kondisi perekonomian yang sedang memburuk, gelombang PHK yang terus bertambah dan biaya hidup yang semakin meningkat.
Hal ini semakin membuat nasib TKI Indonesia bertambah kelabu dan sulit. Gelombang protes terhadap kebijakan ini tidak hanya berasal dari para buruh, namun juga dari para politisi baik dari partai oposisi maupun koalisi pemerintah. Beberapa politisi dari partai penguasa (PDIP) juga menolak kebijakan ini.
Dalam konteks Indonesia yang memiliki begitu banyak kelebihan tenaga kerja (labour surplus) atau masih tingginya angka pengangguran, sangatlah tidak bijak jika pemerintah membuka keran TKA di level pekerjaan kasar. Para buruh di level ini akan semakin sulit mendapatkan pekerjaan lantaran kompetisi yang semakin ketat. Secara teoritis, layaknya di pasar lainnya, meningkatnya kompetisi di sektor ini akan mendorong efisiensi ekonomi.
Buruh-buruh akan didorong untuk memiliki keahlian lebih mahir dan produktivitas lebih tinggi. Namun, pertanyaannya adalah apakah pemerintah sudah memberikan bekal yang cukup kepada para buruh kita untuk bersaing? Apakah sistem pendidikan dan sistem perburuhan kita sudah mencetak tenaga kerja yang mampu berdaya saing? Jika jawaban dari kedua pertanyaan tersebut adalah tidak, tidak adil rasanya bagi para buruh kita menghadapi gempuran ini, bak diminta berperang tanpa senjata.
(ars)