Kualitas Kepemimpinan dalam Pilkada

Jum'at, 07 Agustus 2015 - 09:42 WIB
Kualitas Kepemimpinan...
Kualitas Kepemimpinan dalam Pilkada
A A A
Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2015 belum akan melahirkan pemimpin daerah yang mumpuni. Isu suap atau mahar politik, intervensi kekuasaan terhadap partai politik (Golkar dan PPP), serta calon boneka paling tidak telah menodai pesta demokrasi yang harusnya bersih dari suap dan intervensi kekuasaan.

Persiapan setiap pasangan calon kepala daerah pasti hanya terfokus pada strategi pemenangan. Apakah kualitas dan kompetensi kepemimpinan mereka juga sudah dipersiapkan dengan matang? Inilah yang menjadi titik lemah dari proses menghadirkan pemimpin daerah. Minimal, ada dua aspek yang akan dipertaruhkan ketika pemerintah bersikukuh merealisasikan pilkada serentak tahun ini.

Pertama, apakah pilkada di 269 daerah pemilihan (dapil) akan berjalan dengan aman, lancar dan bersih, atau harus diwarnai kericuhan hingga konflik massa pendukung di akar rumput?

Pertaruhan kedua menyangkut kualitas pemimpin daerah produk Pilkada serentak ini. Kualitas dan kompetensi pasangan calon pemimpin daerah layak dipersoalkan karena begitu banyak masalah dalam proses pencalonan di berbagai daerah.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sampai harus mengumumkan setiap perkembangan pencalonan untuk membangun kesan bahwa proses pencalonan minim masalah. Sabtu (1/8) malam, KPU mengumumkan bahwa jumlah daerah dengan hanya calon tunggal telah berkurang menjadi 7 daerah dari sebelumnya 12 daerah. Kendati demikian, tetap saja ada potensi masalah.

Hingga awal Agustus 2015, sudah 828 pasangan calon yang mendaftar dari 268 Dapil. Terdiri atas 20 pasangan calon gubernur/wakil gubernur, 692 pasangan calon bupati/wakil bupati, dan 116 pasangan calon wali kota/ wakil wali kota. Pada kelompok gubernur, dua pasangan calon merupakan calon perseorangan.

Di tingkat kabupaten, ada juga 127 pasangan calon bupati/ wakil bupati yang berstatus calon perseorangan. KPU dan juga pemerintah cenderung menolak mengatasi persoalan itu melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). KPU beralasan, persoalan yang muncul karena calon tunggal sudah diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) No.12/2015.

Menurut PKPU itu, jika dalam Pilkada 2015 sebuah dapil menghadirkan kurang dari dua pasangan calon, pilkada di dapil itu ditunda hingga tahun 2017. Dari kecenderungan ini, sudahtergambartentangbetapa partai politik kesulitan menghadirkan calon pemimpin daerah yang mumpuni jika Pilkada 2015 dilaksanakan serentak di 260 kabupaten/kota dan sembilan 9 provinsi.

Kemampuan parpol menghadirkan hanya satu pasangan calon mungkin tidak hanya terjadi pada 7 dapil itu saja. Parpol di banyak daerah lain diduga juga mengalami kesulitan yang sama. Tetapi, berkat lobi dan dorongan pemda serta kesepakatan elite daerah, kesulitan menghadirkan lebih dari dua pasangan calon itu bisa diatasi. Terpenting, Pilkada dilaksanakan sesuai jadwal.

Artinya, banyak pasangan calon yang tampil karena dipaksakan. Dari situlah muncul sinisme publik tentang adanya pasangan calon boneka. Tipe pasangan calon boneka ditampilkan untuk memecah suara pemilih. Kalau posisi petahana terlalu kuat dan menjadi calon tunggal, opsi menghadirkan pasangan calon boneka menjadi pilihan hanya agar Pilkada tidak ditunda.

Pasangan calon boneka sudah tahu mereka akan kalah, tetapi untuk kesediaan sebagai penantang petahana, mereka menerima upah. Karena itu, hasil dari pilkada serentak tahun ini akan sangat minimalis. Bisa dipastikan bahwa Pilkada 2015 tidak banyak melahirkan pemimpin daerah yang kapabel, punya kompetensi tinggi dan reputasi yang teruji.

Buktinya, tidak sedikit calon kepala daerah yang latar belakangnya bermasalah. Ada calon dengan latar belakang eks narapidana. Ada juga calon yang berstatus eks narapidana kasus korupsi. Maka Pilkada 2015 mungkin hanya akan menjadi catatan spesial dalam sejarah demokrasi di negara ini.

Utamanya karena dilaksanakan di 269 dapil itu. Sebagai bangsa yang ingin terus mendewasakan budaya berdemokrasi, Pilkada 2015 bisa dijadikan indikator atau tolok ukur pertumbuhan demokrasi itu sendiri.

Benih Konflik

Karena pemerintah dan KPU tidak ingin mengubah jadwal Pilkada 2015, aspek keamanan dan ketertiban umum menjadi penting untuk dipersoalkan. Karena bernuansa pesta demokrasi, pilkada mestinya tidak menumbuhkan rasa takut. Jangan juga mempertaruhkan derajat kepastian, utamanya aspek kepastian hukum.

Suasana kebangsaan dan kenegaraan harus tetap kondusif, sebelum maupun sesudah pilkada. Maka itu, pemerintah dan KPU jangan gegabah. Pilkada selalu rawan konflik. Pengalaman di sejumlah daerah sudah memberi bukti. Pemerintah dan KPU hendaknya belajar dari pengalaman itu, utamanya dari aspek pengamanan.

Pilkada 2015 tampaknya pun akan diwarnai konflik antarmasa pendukung pasangan calon. Benih-benih konflik itu mulai bermunculan. Di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), rapat sosialisasi perpanjangan masa pendaftaran pasangan bakal calon wali kota dan wakil wali kota oleh KPUD Kota Mataram berakhir ricuh.

Kericuhan itu dipicu oleh sikap KPUD setempat yang menyatakan dua dari sembilan parpol pengusung pasangan AMAN, tidak memenuhi syarat. Kedua parpol itu adalah PBB dan PPP. PBB tidak memenuhi karena tidak memiliki kursi di DPRD Kota Mataram, sedangkan PPP tidak dilengkapi dokumen dukungan dari masing-masing dewan pimpinan pusat. Dukungan kepada pasangan AMAN hanya ditandatangani oleh kubu Romahurmuziy.

Sementara di Semarang, kepolisian setempat akan memberlakukan tembak di tempat bagi pihak perusuh Pilkada 2015. Polisi memastikan bahwa perusuh yang sangat membahayakan atau mengancam nyawa orang lain akan mendapatkan ganjaran yang sangat keras, termasuk tembak mati.

Model permasalahan seperti yang terjadi di Kota Mataram, juga bisa bermunculan di daerah lain. Sedangkan ultimatum kepolisian Kota Semarang itu sudah memberi gambaran bahwa kerusuhan akibat benturan antarmasa pendukung calon, maupun masa pendukung dengan aparat keamanan selama periode Pilkada 2015 sangat mungkin terjadi.

Pilkada selalu rawan konflik karena terjadinya pengotakkotakan massa pendukung. Fakta ini harus dimaklumi sebagai konsekuensi logis dari sebuah agenda pemilihan umum. Bagi aparat keamanan, persoalannya relatif lebih mudah jika massa pendukung terbelah menjadi dua kelompok saja. Akan tetapi, persoalannya akan menjadi sangat rumit kalau pilkada serentak digelar di 269 Dapil.

Jumlah pengotakkotakan simpatisan pendukung tentu saja lebih banyak dan tersebar. Dari aspek pengamanan, jelas itu adalah sebuah pekerjaan yang amat besar. Karena itu, menjadi sangat penting untuk memetakan dan mendeteksi semua potensi kerawanan dalam konteks pelaksanaan Pilkada 2015.

Polri kabarnya telah memetakan Dapil rawan konflik dan menyiagakan 255.362 personel yang pada hari H pelaksanaan pilkada. Kementerian Dalam Negeri juga melakukan hal yang sama dan membentuk tim deteksi dini gangguan pilkada dari tingkat pusat hingga daerah. Langkah antisipatif seperti itu patut diapresiasi.

Menjelang pelaksanaan Pilkada 2015 dimulai, mata dunia akan melihat Indonesia yang hiruk-pikuk karena kegiatan kampanye di 269 dapil. Para pemerhati demokrasi akan mengukur sudah sejauh mana budaya demokrasi di Indonesia tumbuh dan berkembang.

BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0550 seconds (0.1#10.140)