Puasa, Keadilan dan Kejujuran
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Puasa, ya puasa. Kita tahu, ini rukun ketiga dalam lima rukun Islam yang kita junjung tinggi dengan sebaikbaiknya, sehormat-hormatnya, lahir maupun batin.
Semua orang tahu, puasa itu kewajiban manusia yang diturunkan Tuhan bergenerasi-generasi sebelum zaman kenabian Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, berlanjut terus di zaman kita hingga kelak di akhir zaman. Ajaran yang turun dari ”langit” itu banyak diwarnai tradisi, yang berbau ”bumi”. Dulu puasa, ya puasa begitu saja. Sekarang, sejak kira-kira tahun 1990, berlanjut hingga tahun 2000-an ini, puasa diawali dengan tradisi maaf-memaafkan, seperti tradisi lebaran.
Warna tradisi juga tampak pada buka bersama, dengan meriah, dan penuh persaudaraan yang hangat. Di masjid-masjid kampung, buka bersama diselenggarakan secara sederhana. Kue dan minuman serbamanis disediakan bagi yang berpuasa. Kemudian salat magrib berjamaah. Sesudah salat tarawih, makanan serupa disediakan. Dan itulah yang membuat tarawih berlangsung sangat meriah. Bocah-bocah ikut pula salat tarawih. Mereka pun tampak begitu bersemangat.
Saking semangatnya, sering terasa bahwa mereka mengganggu kekhusyukan orang-orang dewasa. Tapi gangguan itu diterima sebagai kebaikan yang begitu megah, karena bocah-bocah malah dianggap ukuran kekhusyukan yang nyata. Bila dalam kebisingan itu orang dewasa tetap bisa salat dengan khusyuk, tak diragukan, mereka memang sudah sampai pada tingkat orangorang yang khusyuk.
*** Relasi dinamis antara apa yang berupa ”ajaran” dan apa yang ”tradisi”, membuat jiwa kita bergetar. Kita menjadi saksi bahwa apa yang bersifat ”langit” itu dibikin subur oleh apa yang merupakan unsurunsur ”bumi”. Dengan kata lain, ajaran ”langit” itu tidak tumbuh di batu karang yang kering kerontang, melainkan dipersubur oleh kebudayaan.
Agama tumbuh bersama kebudayaan. Tak diragukan, berkat kebudayaan pula maka tiap pada menjelang berakhirnya Ramadan kita berdoa dengan harapharap cemas, semoga Tuhan berkenan mempertemukan kita lagi dengan bulan Ramadan tahun berikutnya. Doa itu kita sertai tangis dan tetesan air mata. Ini air mata orang beriman, yang tulus dalam imannya, tulus kata-kata dan segenap doanya. Tulus pula segenap amalannya. Ini wujud amal ikhlas.
Bagi kaum terpelajar, amal ikhlas itu menjadi amalan ilmiah, sekaligus ilmu yang bersifat amaliah. Jadi, ilmunya bukan untuk kepentingan diri sendiri. Dia bukan jenis ilmuwan yang sikap keilmuannya jauh dari sentuhan kehidupan. Dia memahami kemuliaan Ramadan. Tahun ini kita bertemu lagi dengan Ramadan. Tuhan Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Doa kita dikabulkan. Alhamdulillah. Kita menyambut kembali bulan suci Ramadan dengan rasa syukur yang tak terkira.
Kita siap menjalankan kewajiban berpuasa lagi, seperti tahun lalu. Jika berpuasa hanya berarti tidak makan dan tidak minum sepanjang hari selama sebulan, kewajiban suci itu tidak berat. Meskipun begitu, mengapa masih ada saja orang yang tidak kuat menanggungnya? Untuk jiwa-jiwa yang boleh disebut telah ”teruji”, tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan hubungan suami-istri pada siang hari pun tidak seberapa.
Ini bukan kewajiban berat. Tapi tuluskah kita mengerjakannya? Ini pertanyaan penting. Ibadah tanpa ketulusan akan kehilangan makna pentingnya. Kita rela berpuasa untuk Tuhan, yaitu Allah yang Maha Pengasih, tanpa berharap apa pun. Tuhan memerintahkan, kita menjalankannya.
Relasi Tuhanhamba yang ditandai keikhlasan di sini mungkin seperti gambaran sikap raja sufi wanita, Rabiah al Adawiah, yang berpuisi dengan penuh kemegahan: ”Tuhan, aku menyembah-Mu bukan karena aku takut akan neraka- Mu. Aku menyembah-Mu, juga bukan karena aku mengharapkan surga-Mu. Tapi aku menyembah- Mu karena aku memang wajib menyembah-Mu”. Siapa di antara kita yang memiliki maqom rohaniah setingkat ini? Siapa yang memiliki keikhlasan seperti Adawiah?
Bagi raja sufi dari Basrah ini, neraka dan surgaloka bukan isu penting. Baginya, yang terpenting, ialah kebersamaannya dengan Tuhan, Allah yang Mahatinggi itu sendiri. Baginya, di neraka tak menjadi soal, asal bersama Tuhan yang Mahatinggi. Di surgaloka pun dia gembira selama berkah Allah melimpah padanya. Sufi memang bukan orang biasa. Al Adawiah bahkan disebut rajanya para raja kaum sufi. I k h l a s dalam ibadah ini terbentuk bersama dengan lahirnya kejujuran. Keikhlasan dan kejujuran itu saling membentuk, saling memperkuat.
Di tangan hambahamba Allah yang memiliki watak adil dan jujur, ibadah puasa niscaya bergema di lembahlembah, di bukit-bukit, dan di langit tertinggi. Puasa mereka jelas bukan puasa biasa. Tapi kita juga diminta agar puasa kita memiliki dimensi keadilan dan kejujuran. Puasa melatih kita menjadi pribadi yang adil. Mula-mula kita adil pada diri sendiri. Kita adil sejak dalam pemikiran, adil di dalam sikap, dan adil di dalam segenap tindakan kita. Sesudah itu kita adil pada sesama manusia.
*** Puasa juga merupakan latihan untuk menjadi pribadi yang jujur. Kita jujur pada diri sendiri, jujur pada manusiamanusia lain, jujur pada Allah yang Mahatinggi. Kejujuran membuat puasa kita memiliki dimensi rohaniah dan sosial yang tak main-main. Puasa kita menjadi suatu jenis ibadah yang tidak biasa. Latihan puasa tahun demi tahun, untuk membuat kita menjadi pribadi istimewa.
Kita berlatih, tiap saat untuk menjadi insan kamil, manusia sempurna? Mungkin manusia sempurna itu manusia yang semanusiawi- manusiawinya. Hanya manusia istimewa yang mampu berpuasa secara istimewa. Tapi siapa yang pernah istimewa? Kita hanya manusia biasa. Kemanusiaan kita serba terbatas.
Iman kita terbatas. Puasa kita terbatas. Ada kalanya kita merasa ikhlas, tapi saat kita merasa bahwa kita bisa bersikap ikhlas, maka keikhlasan telah meninggalkan kita. Di saat lain kita berpuasa dengan sikap adil pada sesama. Kita pernah adil, biarpun sesaat. Tapi ketika kita hendak mengulanginya sekali lagi, dan hanya sekali lagi, saat itu pun keadilan menjauh, dan menjauh seolah dia berada di puncak gunung yang tak terjangkau. Berabad-abad kita telah berpuasa.
Berabad-abad peradaban diwarnai ibadah seperti itu. Tapi mengapa puasa demi puasa berlalu tiap tahun, kemudian datang lagi tahun berikutnya, tak pernah mengubah hidup kita? Negeri kita ini mayoritas rakyatnya berpuasa setiap tahun, tapi mengapa belum juga mampu menciptakan keadilan?
Mungkinkah kita salah? Kita berpuasa hanya sekedar berpuasa, dan hanya menderita haus dan lapar, lelah, dan mengantuk, tanpa mengubah sesuatu di dalam hidup kita? Apa yang salah dalam puasa kita? Mengapa keadilan dan kejujuran tak mewarnai hidup kita?
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Puasa, ya puasa. Kita tahu, ini rukun ketiga dalam lima rukun Islam yang kita junjung tinggi dengan sebaikbaiknya, sehormat-hormatnya, lahir maupun batin.
Semua orang tahu, puasa itu kewajiban manusia yang diturunkan Tuhan bergenerasi-generasi sebelum zaman kenabian Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, berlanjut terus di zaman kita hingga kelak di akhir zaman. Ajaran yang turun dari ”langit” itu banyak diwarnai tradisi, yang berbau ”bumi”. Dulu puasa, ya puasa begitu saja. Sekarang, sejak kira-kira tahun 1990, berlanjut hingga tahun 2000-an ini, puasa diawali dengan tradisi maaf-memaafkan, seperti tradisi lebaran.
Warna tradisi juga tampak pada buka bersama, dengan meriah, dan penuh persaudaraan yang hangat. Di masjid-masjid kampung, buka bersama diselenggarakan secara sederhana. Kue dan minuman serbamanis disediakan bagi yang berpuasa. Kemudian salat magrib berjamaah. Sesudah salat tarawih, makanan serupa disediakan. Dan itulah yang membuat tarawih berlangsung sangat meriah. Bocah-bocah ikut pula salat tarawih. Mereka pun tampak begitu bersemangat.
Saking semangatnya, sering terasa bahwa mereka mengganggu kekhusyukan orang-orang dewasa. Tapi gangguan itu diterima sebagai kebaikan yang begitu megah, karena bocah-bocah malah dianggap ukuran kekhusyukan yang nyata. Bila dalam kebisingan itu orang dewasa tetap bisa salat dengan khusyuk, tak diragukan, mereka memang sudah sampai pada tingkat orangorang yang khusyuk.
*** Relasi dinamis antara apa yang berupa ”ajaran” dan apa yang ”tradisi”, membuat jiwa kita bergetar. Kita menjadi saksi bahwa apa yang bersifat ”langit” itu dibikin subur oleh apa yang merupakan unsurunsur ”bumi”. Dengan kata lain, ajaran ”langit” itu tidak tumbuh di batu karang yang kering kerontang, melainkan dipersubur oleh kebudayaan.
Agama tumbuh bersama kebudayaan. Tak diragukan, berkat kebudayaan pula maka tiap pada menjelang berakhirnya Ramadan kita berdoa dengan harapharap cemas, semoga Tuhan berkenan mempertemukan kita lagi dengan bulan Ramadan tahun berikutnya. Doa itu kita sertai tangis dan tetesan air mata. Ini air mata orang beriman, yang tulus dalam imannya, tulus kata-kata dan segenap doanya. Tulus pula segenap amalannya. Ini wujud amal ikhlas.
Bagi kaum terpelajar, amal ikhlas itu menjadi amalan ilmiah, sekaligus ilmu yang bersifat amaliah. Jadi, ilmunya bukan untuk kepentingan diri sendiri. Dia bukan jenis ilmuwan yang sikap keilmuannya jauh dari sentuhan kehidupan. Dia memahami kemuliaan Ramadan. Tahun ini kita bertemu lagi dengan Ramadan. Tuhan Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Doa kita dikabulkan. Alhamdulillah. Kita menyambut kembali bulan suci Ramadan dengan rasa syukur yang tak terkira.
Kita siap menjalankan kewajiban berpuasa lagi, seperti tahun lalu. Jika berpuasa hanya berarti tidak makan dan tidak minum sepanjang hari selama sebulan, kewajiban suci itu tidak berat. Meskipun begitu, mengapa masih ada saja orang yang tidak kuat menanggungnya? Untuk jiwa-jiwa yang boleh disebut telah ”teruji”, tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan hubungan suami-istri pada siang hari pun tidak seberapa.
Ini bukan kewajiban berat. Tapi tuluskah kita mengerjakannya? Ini pertanyaan penting. Ibadah tanpa ketulusan akan kehilangan makna pentingnya. Kita rela berpuasa untuk Tuhan, yaitu Allah yang Maha Pengasih, tanpa berharap apa pun. Tuhan memerintahkan, kita menjalankannya.
Relasi Tuhanhamba yang ditandai keikhlasan di sini mungkin seperti gambaran sikap raja sufi wanita, Rabiah al Adawiah, yang berpuisi dengan penuh kemegahan: ”Tuhan, aku menyembah-Mu bukan karena aku takut akan neraka- Mu. Aku menyembah-Mu, juga bukan karena aku mengharapkan surga-Mu. Tapi aku menyembah- Mu karena aku memang wajib menyembah-Mu”. Siapa di antara kita yang memiliki maqom rohaniah setingkat ini? Siapa yang memiliki keikhlasan seperti Adawiah?
Bagi raja sufi dari Basrah ini, neraka dan surgaloka bukan isu penting. Baginya, yang terpenting, ialah kebersamaannya dengan Tuhan, Allah yang Mahatinggi itu sendiri. Baginya, di neraka tak menjadi soal, asal bersama Tuhan yang Mahatinggi. Di surgaloka pun dia gembira selama berkah Allah melimpah padanya. Sufi memang bukan orang biasa. Al Adawiah bahkan disebut rajanya para raja kaum sufi. I k h l a s dalam ibadah ini terbentuk bersama dengan lahirnya kejujuran. Keikhlasan dan kejujuran itu saling membentuk, saling memperkuat.
Di tangan hambahamba Allah yang memiliki watak adil dan jujur, ibadah puasa niscaya bergema di lembahlembah, di bukit-bukit, dan di langit tertinggi. Puasa mereka jelas bukan puasa biasa. Tapi kita juga diminta agar puasa kita memiliki dimensi keadilan dan kejujuran. Puasa melatih kita menjadi pribadi yang adil. Mula-mula kita adil pada diri sendiri. Kita adil sejak dalam pemikiran, adil di dalam sikap, dan adil di dalam segenap tindakan kita. Sesudah itu kita adil pada sesama manusia.
*** Puasa juga merupakan latihan untuk menjadi pribadi yang jujur. Kita jujur pada diri sendiri, jujur pada manusiamanusia lain, jujur pada Allah yang Mahatinggi. Kejujuran membuat puasa kita memiliki dimensi rohaniah dan sosial yang tak main-main. Puasa kita menjadi suatu jenis ibadah yang tidak biasa. Latihan puasa tahun demi tahun, untuk membuat kita menjadi pribadi istimewa.
Kita berlatih, tiap saat untuk menjadi insan kamil, manusia sempurna? Mungkin manusia sempurna itu manusia yang semanusiawi- manusiawinya. Hanya manusia istimewa yang mampu berpuasa secara istimewa. Tapi siapa yang pernah istimewa? Kita hanya manusia biasa. Kemanusiaan kita serba terbatas.
Iman kita terbatas. Puasa kita terbatas. Ada kalanya kita merasa ikhlas, tapi saat kita merasa bahwa kita bisa bersikap ikhlas, maka keikhlasan telah meninggalkan kita. Di saat lain kita berpuasa dengan sikap adil pada sesama. Kita pernah adil, biarpun sesaat. Tapi ketika kita hendak mengulanginya sekali lagi, dan hanya sekali lagi, saat itu pun keadilan menjauh, dan menjauh seolah dia berada di puncak gunung yang tak terjangkau. Berabad-abad kita telah berpuasa.
Berabad-abad peradaban diwarnai ibadah seperti itu. Tapi mengapa puasa demi puasa berlalu tiap tahun, kemudian datang lagi tahun berikutnya, tak pernah mengubah hidup kita? Negeri kita ini mayoritas rakyatnya berpuasa setiap tahun, tapi mengapa belum juga mampu menciptakan keadilan?
Mungkinkah kita salah? Kita berpuasa hanya sekedar berpuasa, dan hanya menderita haus dan lapar, lelah, dan mengantuk, tanpa mengubah sesuatu di dalam hidup kita? Apa yang salah dalam puasa kita? Mengapa keadilan dan kejujuran tak mewarnai hidup kita?
(ars)