Peradilan Bersih dan Berwibawa, Kapankah?
A
A
A
Prof DR Sudjito SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Bambang Widjojanto (BW) tiga kali mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka dan penangkapan oleh penyidik Bareskrim Polri di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan tiga kali pula mencabutnya.
Pertama, BW mengajukan praperadilan pada 23 Januari dan dicabut 9 Februari. Kedua, BW kembali mengajukan pada 7 Mei dan dicabut 20 Mei. Ketiga, BW mengajukan kembali pada 27 Mei kemudian dicabut 15 Juni 2015.
Dari pernyataan kuasa hukum BW, Abdul Fickar Hadjar, terungkap bahwa pencabutan antara lain karena alasan-alasan berikut: (1) Praktik penanganan perkara praperadilan di PN Jakarta Selatan telah dibajak menjadi ajang arus balik gerakan antikorupsi; (2) Proses dan putusan sidang praperadilan telah di luar nalar atau logika hukum; (3) Hakim memberi putusan di luar wewenang atau ultrapetita; (4) Upaya praperadilan sudah dalam skenario dan skema yang telah diketahui hasilnya; (5) Terindikasi tidak ada standar berbasis fakta dan argumentasi untuk menerima atau menolak permohonan praperadilan.
Alasan-alasan tersebut merupakan hasil eksaminasi beberapa putusan praperadilan sebelumnya yakni kasus praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan, mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, dan terakhir kasus Novel Baswedan.
Dapat dipahami bahwa sikap BW itu diapresiasi oleh jajaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penggiat antikorupsi, dan mereka yang sealiran pemikiran. Namun, pada sisi lain Bareskrim Polri berikut pengacaranya, ahli hukum, pemikir, serta pengikutnya kecewa seraya mengkritik atas sikap tersebut. Sulit terbantahkan bahwa ”pertikaian” antara KPK berhadapan dengan lembaga kepolisian, terusberlangsungsecara laten maupun manifes, terjadi di luar maupun di dalam sidang pengadilan.
*** Tulisan ini tidak memihak salah satu dari dua kubu yang ”bertikai”. Kapankah ”pertikaian” berubah menjadi persatuan sebagai skuadron penegak hukum? Silan g - sengkarut praperadilan hanyalah riak kecil. Terwujudnya peradilan bersih dan berwibawa, saya pandang, lebih penting dibahas dan bermanfaat bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Mengapa? Analog dengan ”lonceng peringatan”, sampai detik ini, tidak sedikit publik mempertanyakan: independensi, integritas, profesionalitas, moralitas, kebersihan, dan kewibawaan lembaga pengadilan. Paling tidak, pengalaman bergaul dengan hakim-hakim, mereka berbisik-bisik dan berterus terang bahwa keselamatan dan kelancaran karier menjadi pertimbangan utama dalam menjalankan profesinya, sebelum mempertimbangkan hal lain.
Maknanya, ”peradilan bersih dan berwibawa”, masih jauh panggang dari api. Untuk mewujudkan itu perlu perjuangan semua pihak, tidak hanya mempersalahkan pihakpihak tertentu. Hemat saya, perjuangan dapat diawali dengan mengelaborasi ungkapan ”peradilan bersih dan berwibawa” sejak filosofisnya sampai dengan perwujudannya sehingga tidak berhenti sebagai slogan kosong, melainkan menjadi bermakna dan dapat dijabarkan dalam bentuk realitas nyata.
Pertama, bersih dalam dimensi rohani mengandung makna spiritual- religius, yakni tanpa noda: iri, dengki, sombong, dan dusta. Sementara itu, bersih jasmani adalah bersih dari perilaku tercela dan barang haram. Peradilan bersih akan terwujud bila diisi oleh manusia- manusia bersih rohani-jasmani. Predisposisi kejiwaan niscaya mampu memberikan garansi terjaganya integritas dan profesionalitas siapa pun yang terlibat dalam peradilan bersih.
Artinya, peradilan bersih mensyaratkan penegak hukum memiliki ilmu dan keterampilan khas yakni ilmu hukum yang luas dan mendalam, merengkuh semua dimensi kehidupan, baik yang diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan lain, termasuk pengalaman hidup. Kedua, bersih menjadi prasyarat kehidupan sehat. Sehat mencakup kenormalan fungsifungsi fisik, mental, spiritual, maupun sosial sehingga setiap manusia mampu berperan sebagai subjek hukum.
Setiap kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkesinambungan. Kesehatan (health) dan penyembuhan (heal) secara etimologis memiliki akar kata yang sama dengan istilah whole (keseluruhan). Hal ini mengindikasikan bahwa peradilan bersih dan berwibawa dapat terwujud bila upaya-upaya perwujudannya dilakukan secara holistik.
Analog dengan makna kesehatan bagi setiap manusia agar terwujud peradilan bersih dan berwibawa sehingga upaya-upaya pendekatan holistik meliputi: (a) Pelayanan promotif yaitu serangkaian kegiatan pelayanan hukum yang bersifat promosi keadilan; (b) Pelayanan preventif yaitu kegiatan pencegahan terhadap kemungkinan munculnya ketidakadilan; (c) Pelayanan kuratif yaitu serangkaian kegiatan untuk pemulihan harkat dan martabat orang yang pernah bersalah; dan (d) Pelayanan rehabilitatif yaitu serangkaian kegiatan mengembalikan bekas pesakitan ke masyarakat sehingga dapat berperan sebagaimana anggota masyarakat lainnya.
Ketiga, peradilan bersih dan berwibawa dapat dirujuk maknanya pada implikasi dari kualitas bersihnya manusia-manusia pelaku. Berwibawa akan muncul dengan sendirinya sebagai pembawaan, sikap, perilaku penuh daya tarik penegak hukum yang bersih. Peradilan bersih dan berwibawa adalah peradilan yang memiliki kekuasaan, disegani, dipercaya, dan dipatuhi oleh penegak hukum maupun pencari keadilan.
Eksistensi dan fungsi lembaga pengadilan diakui dan dimanfaatkan bukan karena pamrih, melainkan karena aura kejujuran dan kemampuan mewujudkan keadilan substantif. Kita insyaf bahwa perwujudan peradilan bersih dan berwibawa melibatkan kompleksitas kehidupan begitu tinggi, jumlah orang dan lembaga begitu banyak, serta keanekaragaman kehidupan lainnya.
Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali peran dan fungsi seluruhnya dikelola dalam konteks organisasi, manajerial terpadu, pengintegrasian, sinergitas sumber daya kelembagaan dan entitas penegak hukum (pengadilan, kejaksaan, kepolisian, organisasi advokat, media massa, dan sebagainya). Hemat saya, Presiden bersama Mahkamah Agung (MA) dan DPR memiliki otoritas untuk meninjau kembali dan mengorganisasikan kekuasaan kehakiman menjadi sistem terpadu, tanpa ”pertikaian”, tanpa ”rivalitas”, dan tanpa ”kriminalisasi”.
Ketika kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman, lembaga penegak hukum, lembaga pengadilan dapat dipulihkan sehingga silang sengkarut pra peradilan dapat diakhiri. Kapankah terwujud? WallahuWallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
Bambang Widjojanto (BW) tiga kali mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka dan penangkapan oleh penyidik Bareskrim Polri di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan tiga kali pula mencabutnya.
Pertama, BW mengajukan praperadilan pada 23 Januari dan dicabut 9 Februari. Kedua, BW kembali mengajukan pada 7 Mei dan dicabut 20 Mei. Ketiga, BW mengajukan kembali pada 27 Mei kemudian dicabut 15 Juni 2015.
Dari pernyataan kuasa hukum BW, Abdul Fickar Hadjar, terungkap bahwa pencabutan antara lain karena alasan-alasan berikut: (1) Praktik penanganan perkara praperadilan di PN Jakarta Selatan telah dibajak menjadi ajang arus balik gerakan antikorupsi; (2) Proses dan putusan sidang praperadilan telah di luar nalar atau logika hukum; (3) Hakim memberi putusan di luar wewenang atau ultrapetita; (4) Upaya praperadilan sudah dalam skenario dan skema yang telah diketahui hasilnya; (5) Terindikasi tidak ada standar berbasis fakta dan argumentasi untuk menerima atau menolak permohonan praperadilan.
Alasan-alasan tersebut merupakan hasil eksaminasi beberapa putusan praperadilan sebelumnya yakni kasus praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan, mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, dan terakhir kasus Novel Baswedan.
Dapat dipahami bahwa sikap BW itu diapresiasi oleh jajaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penggiat antikorupsi, dan mereka yang sealiran pemikiran. Namun, pada sisi lain Bareskrim Polri berikut pengacaranya, ahli hukum, pemikir, serta pengikutnya kecewa seraya mengkritik atas sikap tersebut. Sulit terbantahkan bahwa ”pertikaian” antara KPK berhadapan dengan lembaga kepolisian, terusberlangsungsecara laten maupun manifes, terjadi di luar maupun di dalam sidang pengadilan.
*** Tulisan ini tidak memihak salah satu dari dua kubu yang ”bertikai”. Kapankah ”pertikaian” berubah menjadi persatuan sebagai skuadron penegak hukum? Silan g - sengkarut praperadilan hanyalah riak kecil. Terwujudnya peradilan bersih dan berwibawa, saya pandang, lebih penting dibahas dan bermanfaat bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Mengapa? Analog dengan ”lonceng peringatan”, sampai detik ini, tidak sedikit publik mempertanyakan: independensi, integritas, profesionalitas, moralitas, kebersihan, dan kewibawaan lembaga pengadilan. Paling tidak, pengalaman bergaul dengan hakim-hakim, mereka berbisik-bisik dan berterus terang bahwa keselamatan dan kelancaran karier menjadi pertimbangan utama dalam menjalankan profesinya, sebelum mempertimbangkan hal lain.
Maknanya, ”peradilan bersih dan berwibawa”, masih jauh panggang dari api. Untuk mewujudkan itu perlu perjuangan semua pihak, tidak hanya mempersalahkan pihakpihak tertentu. Hemat saya, perjuangan dapat diawali dengan mengelaborasi ungkapan ”peradilan bersih dan berwibawa” sejak filosofisnya sampai dengan perwujudannya sehingga tidak berhenti sebagai slogan kosong, melainkan menjadi bermakna dan dapat dijabarkan dalam bentuk realitas nyata.
Pertama, bersih dalam dimensi rohani mengandung makna spiritual- religius, yakni tanpa noda: iri, dengki, sombong, dan dusta. Sementara itu, bersih jasmani adalah bersih dari perilaku tercela dan barang haram. Peradilan bersih akan terwujud bila diisi oleh manusia- manusia bersih rohani-jasmani. Predisposisi kejiwaan niscaya mampu memberikan garansi terjaganya integritas dan profesionalitas siapa pun yang terlibat dalam peradilan bersih.
Artinya, peradilan bersih mensyaratkan penegak hukum memiliki ilmu dan keterampilan khas yakni ilmu hukum yang luas dan mendalam, merengkuh semua dimensi kehidupan, baik yang diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan lain, termasuk pengalaman hidup. Kedua, bersih menjadi prasyarat kehidupan sehat. Sehat mencakup kenormalan fungsifungsi fisik, mental, spiritual, maupun sosial sehingga setiap manusia mampu berperan sebagai subjek hukum.
Setiap kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkesinambungan. Kesehatan (health) dan penyembuhan (heal) secara etimologis memiliki akar kata yang sama dengan istilah whole (keseluruhan). Hal ini mengindikasikan bahwa peradilan bersih dan berwibawa dapat terwujud bila upaya-upaya perwujudannya dilakukan secara holistik.
Analog dengan makna kesehatan bagi setiap manusia agar terwujud peradilan bersih dan berwibawa sehingga upaya-upaya pendekatan holistik meliputi: (a) Pelayanan promotif yaitu serangkaian kegiatan pelayanan hukum yang bersifat promosi keadilan; (b) Pelayanan preventif yaitu kegiatan pencegahan terhadap kemungkinan munculnya ketidakadilan; (c) Pelayanan kuratif yaitu serangkaian kegiatan untuk pemulihan harkat dan martabat orang yang pernah bersalah; dan (d) Pelayanan rehabilitatif yaitu serangkaian kegiatan mengembalikan bekas pesakitan ke masyarakat sehingga dapat berperan sebagaimana anggota masyarakat lainnya.
Ketiga, peradilan bersih dan berwibawa dapat dirujuk maknanya pada implikasi dari kualitas bersihnya manusia-manusia pelaku. Berwibawa akan muncul dengan sendirinya sebagai pembawaan, sikap, perilaku penuh daya tarik penegak hukum yang bersih. Peradilan bersih dan berwibawa adalah peradilan yang memiliki kekuasaan, disegani, dipercaya, dan dipatuhi oleh penegak hukum maupun pencari keadilan.
Eksistensi dan fungsi lembaga pengadilan diakui dan dimanfaatkan bukan karena pamrih, melainkan karena aura kejujuran dan kemampuan mewujudkan keadilan substantif. Kita insyaf bahwa perwujudan peradilan bersih dan berwibawa melibatkan kompleksitas kehidupan begitu tinggi, jumlah orang dan lembaga begitu banyak, serta keanekaragaman kehidupan lainnya.
Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali peran dan fungsi seluruhnya dikelola dalam konteks organisasi, manajerial terpadu, pengintegrasian, sinergitas sumber daya kelembagaan dan entitas penegak hukum (pengadilan, kejaksaan, kepolisian, organisasi advokat, media massa, dan sebagainya). Hemat saya, Presiden bersama Mahkamah Agung (MA) dan DPR memiliki otoritas untuk meninjau kembali dan mengorganisasikan kekuasaan kehakiman menjadi sistem terpadu, tanpa ”pertikaian”, tanpa ”rivalitas”, dan tanpa ”kriminalisasi”.
Ketika kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman, lembaga penegak hukum, lembaga pengadilan dapat dipulihkan sehingga silang sengkarut pra peradilan dapat diakhiri. Kapankah terwujud? WallahuWallahualam.
(ars)