Babat Ijazah Palsu
A
A
A
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Saya selalu mengatakan kepada mahasiswa bahwa orang yang menggunakan ijazah palsu itu kalau menjadi pejabat akan berani melakukan korupsi. Begitu juga orang yang mau mencuri karya ilmiah orang lain (plagiasi) sangat berpotensi menjadi koruptor kalau menduduki jabatan publik.
Hal tersebut selalu saya nyatakan juga kepada publik melalui media massa dan berbagai forum antarperguruan tinggi. Ada dua alasan yang mendasari pendapat saya itu. Pertama, pemalsuan ijazah atau plagiasi itu sendiri sebenarnya sudah merupakan korupsi nonkonvensional. Kedua, orang yang berani membohongi dirinya sendiri dengan menggunakan ijazah palsu dan melakukan plagiasi pastilah akan berani menipu rakyat untuk melakukan korupsi.
Jika kepada diri sendiri saja bohong, tentukepada rakyat pun akan berani menipu. Memang tak bisa dikatakan bahwa hanya orang yang berijazah palsu yang korupsi. Para koruptor yang sekarang meringkuk di penjara itu, nyatanya, sebagian besar berijazah asli. Saya hanya menekankan bahwa pembuat dan pengguna ijazah palsu serta pelaku plagiasi itu sudah melakukan korupsi, minimal korupsi nonkonvensional.
Mengacu pada Satjipto Rahardjo, korupsi itu ada dua macam, yakni korupsi konvensional dan korupsi nonkonvensional. Korupsi konvensional adalah korupsi dalam arti hukum pidana yang memiliki unsur-unsur tertentu yakni menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dengan cara melawan hukum, dan merugikan keuangan negara.
Sedangkan korupsi nonkonvensional adalah semua sikap dan tindakan sewenang-wenang atau pelanggaran-pelanggaran yang secara stipulatif tidak disebut korupsi oleh hukum. Orang yang suka sewenang-wenang, menyalahgunakan jabatan, sok berkuasa, meminta dihormati dan dilayani secara berlebihan, membuat dan menggunakan ijazah palsu serta melakukan plagiasi dalam kegiatan akademis meskipun tidak melakukan korupsi dalam arti hukum pidana, tetapi sejatinya orang itu sudah melakukan korupsi secara nonkonvensional.
Orang yang suka melakukan korupsi nonkonvensional kalau ada peluang tentu akan berani melakukan korupsi konvensional. Saya teringat kembali pada apa yang sering saya teriakkan tentang ijazah palsu dan plagiasi ini ketika pekan ini kita dikejutkan oleh berita tentang ijazah palsu.
Seperti dilansir oleh Menristek-Dikti M Nasir, ditemukan adanya lembaga pendidikan tinggi yang diduga mengeluarkan ijazah palsu dan banyaknya pegawai pemerintah yang menggunakan ijazah palsu untuk menjadi pegawai atau untuk mendongkrak karier kepegawaiannya. Terlepas dari apa pun motifnya, seperti ditudingkan oleh sebagian orang, langkah Menristek-Dikti yang melansir dan kemudian melakukan langkah-langkah penjatuhan sanksi dan pembenahan haruslah diapresiasi.
Ada yang seperti kaget dan bertanya kepada saya: Kok , kita baru sekarang meributkan soal ijazah palsu? Kok tidak dari dulu-dulu? Saya jawab dengan pertanyaan balik: Siapa bilang baru sekarang? Pada awal kepresidenan SBY periode pertama (2004-2009), masalah ijazah dan gelar palsu sudah diributkan oleh masyarakat.
Bahkan, Wapres Jusuf Kalla, kala itu, pernah menyatakan keheranannya karena kalau dia berkunjung ke daerah-daerah, banyak kenalannya yang tak pernah diketahui kapan kuliah dan di perguruan mana kuliahnya sudah memiliki gelar master dan doktor. Pada sekitar tahun 2005-2006 itu kita ribut, tetapi tiba-tiba tak jelas langkah lanjutnya. Bahkan jauh sebelum itu, tepatnya sejak 1990-an, kita juga pernah digegerkan oleh kasus ijazah palsu.
Dirjen Dikti Depdikbud kala itu, Bambang Suhendro yang kemudian dilanjutkan oleh Satrio Sumantri Brojonegoro, berteriak keras karena banyaknya ijazah palsu yang beredar dan dipakai untuk meraih kedudukan di pemerintahan ataupun untuk sekadar gagah-gagahan. Sampaisampai saat itu ada istilah ijazah three in one, yakni tiga ijazah dalam tiga jenjang (Sarjana/S-1, Master/S-2, Doktor/S-3) yang bisa diperoleh sekaligus asal membayar sejumlah uang tertentu.
Yang bisa membayar Rp30 juta, langsung mendapat tiga ijazah tanpa harus kuliah. Diberitakan juga adanya ustad yang karena menjadi muthawwif untuk umrah, sepulang dari umrah mampir di Singapura dan diwisuda sebagai doktor di sebuah hotel berbintang. Gila, kan? Masyarakat akademis, saat itu, berteriak keras agar polisi mengusut dan menghukum para pembuat dan pengguna ijazah palsu.
Namun, polisi mengatakan tidak ada tindak pidana karena tidak ada warga yang mengadu kepada kepala polisi karena dirugikan. Ditjen Dikti mengatakan, pihaknyalah yang dirugikan, tetapi tetap saja tak ada tindakan dari Polri. Di Yogyakarta, saat itu, Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan seminar khusus membahas aspek hukum pidana tentang ijazah palsu.
Dosen hukum pidana dari UII Artidjo Alkostar (kini sudah menjadi hakim agung) waktu itu diminta membuat analisis dari aspek hukum pidana. Kesimpulannya, ada beberapa pasal di dalam KUH Pidana yang dapat dipergunakan untuk mengadili pembuat dan pengguna ijazah palsu. Meski hasil seminar sudah dipublikasikan dan dikirimkan kepada yang berwenang dan berwajib, tak ada tindak lanjutnya juga.
Kali ini kita tidak boleh terhenti lagi untuk menyelesaikan secara tuntas masalah ijazah palsu ini. Kita harus serius dan tidak sungkan kepada siapa pun untuk menggunakan instrumen hukum, baik hukum pidana maupun hukum administrasi negara, untuk menyelesaikan masalah ini. Kalau gerakan ini “gembos” lagi dan tak ada langkah majunya, kita ini bisa dinilai lebih bodoh daripada keledai.
Guru Besar Hukum Konstitusi
Saya selalu mengatakan kepada mahasiswa bahwa orang yang menggunakan ijazah palsu itu kalau menjadi pejabat akan berani melakukan korupsi. Begitu juga orang yang mau mencuri karya ilmiah orang lain (plagiasi) sangat berpotensi menjadi koruptor kalau menduduki jabatan publik.
Hal tersebut selalu saya nyatakan juga kepada publik melalui media massa dan berbagai forum antarperguruan tinggi. Ada dua alasan yang mendasari pendapat saya itu. Pertama, pemalsuan ijazah atau plagiasi itu sendiri sebenarnya sudah merupakan korupsi nonkonvensional. Kedua, orang yang berani membohongi dirinya sendiri dengan menggunakan ijazah palsu dan melakukan plagiasi pastilah akan berani menipu rakyat untuk melakukan korupsi.
Jika kepada diri sendiri saja bohong, tentukepada rakyat pun akan berani menipu. Memang tak bisa dikatakan bahwa hanya orang yang berijazah palsu yang korupsi. Para koruptor yang sekarang meringkuk di penjara itu, nyatanya, sebagian besar berijazah asli. Saya hanya menekankan bahwa pembuat dan pengguna ijazah palsu serta pelaku plagiasi itu sudah melakukan korupsi, minimal korupsi nonkonvensional.
Mengacu pada Satjipto Rahardjo, korupsi itu ada dua macam, yakni korupsi konvensional dan korupsi nonkonvensional. Korupsi konvensional adalah korupsi dalam arti hukum pidana yang memiliki unsur-unsur tertentu yakni menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dengan cara melawan hukum, dan merugikan keuangan negara.
Sedangkan korupsi nonkonvensional adalah semua sikap dan tindakan sewenang-wenang atau pelanggaran-pelanggaran yang secara stipulatif tidak disebut korupsi oleh hukum. Orang yang suka sewenang-wenang, menyalahgunakan jabatan, sok berkuasa, meminta dihormati dan dilayani secara berlebihan, membuat dan menggunakan ijazah palsu serta melakukan plagiasi dalam kegiatan akademis meskipun tidak melakukan korupsi dalam arti hukum pidana, tetapi sejatinya orang itu sudah melakukan korupsi secara nonkonvensional.
Orang yang suka melakukan korupsi nonkonvensional kalau ada peluang tentu akan berani melakukan korupsi konvensional. Saya teringat kembali pada apa yang sering saya teriakkan tentang ijazah palsu dan plagiasi ini ketika pekan ini kita dikejutkan oleh berita tentang ijazah palsu.
Seperti dilansir oleh Menristek-Dikti M Nasir, ditemukan adanya lembaga pendidikan tinggi yang diduga mengeluarkan ijazah palsu dan banyaknya pegawai pemerintah yang menggunakan ijazah palsu untuk menjadi pegawai atau untuk mendongkrak karier kepegawaiannya. Terlepas dari apa pun motifnya, seperti ditudingkan oleh sebagian orang, langkah Menristek-Dikti yang melansir dan kemudian melakukan langkah-langkah penjatuhan sanksi dan pembenahan haruslah diapresiasi.
Ada yang seperti kaget dan bertanya kepada saya: Kok , kita baru sekarang meributkan soal ijazah palsu? Kok tidak dari dulu-dulu? Saya jawab dengan pertanyaan balik: Siapa bilang baru sekarang? Pada awal kepresidenan SBY periode pertama (2004-2009), masalah ijazah dan gelar palsu sudah diributkan oleh masyarakat.
Bahkan, Wapres Jusuf Kalla, kala itu, pernah menyatakan keheranannya karena kalau dia berkunjung ke daerah-daerah, banyak kenalannya yang tak pernah diketahui kapan kuliah dan di perguruan mana kuliahnya sudah memiliki gelar master dan doktor. Pada sekitar tahun 2005-2006 itu kita ribut, tetapi tiba-tiba tak jelas langkah lanjutnya. Bahkan jauh sebelum itu, tepatnya sejak 1990-an, kita juga pernah digegerkan oleh kasus ijazah palsu.
Dirjen Dikti Depdikbud kala itu, Bambang Suhendro yang kemudian dilanjutkan oleh Satrio Sumantri Brojonegoro, berteriak keras karena banyaknya ijazah palsu yang beredar dan dipakai untuk meraih kedudukan di pemerintahan ataupun untuk sekadar gagah-gagahan. Sampaisampai saat itu ada istilah ijazah three in one, yakni tiga ijazah dalam tiga jenjang (Sarjana/S-1, Master/S-2, Doktor/S-3) yang bisa diperoleh sekaligus asal membayar sejumlah uang tertentu.
Yang bisa membayar Rp30 juta, langsung mendapat tiga ijazah tanpa harus kuliah. Diberitakan juga adanya ustad yang karena menjadi muthawwif untuk umrah, sepulang dari umrah mampir di Singapura dan diwisuda sebagai doktor di sebuah hotel berbintang. Gila, kan? Masyarakat akademis, saat itu, berteriak keras agar polisi mengusut dan menghukum para pembuat dan pengguna ijazah palsu.
Namun, polisi mengatakan tidak ada tindak pidana karena tidak ada warga yang mengadu kepada kepala polisi karena dirugikan. Ditjen Dikti mengatakan, pihaknyalah yang dirugikan, tetapi tetap saja tak ada tindakan dari Polri. Di Yogyakarta, saat itu, Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan seminar khusus membahas aspek hukum pidana tentang ijazah palsu.
Dosen hukum pidana dari UII Artidjo Alkostar (kini sudah menjadi hakim agung) waktu itu diminta membuat analisis dari aspek hukum pidana. Kesimpulannya, ada beberapa pasal di dalam KUH Pidana yang dapat dipergunakan untuk mengadili pembuat dan pengguna ijazah palsu. Meski hasil seminar sudah dipublikasikan dan dikirimkan kepada yang berwenang dan berwajib, tak ada tindak lanjutnya juga.
Kali ini kita tidak boleh terhenti lagi untuk menyelesaikan secara tuntas masalah ijazah palsu ini. Kita harus serius dan tidak sungkan kepada siapa pun untuk menggunakan instrumen hukum, baik hukum pidana maupun hukum administrasi negara, untuk menyelesaikan masalah ini. Kalau gerakan ini “gembos” lagi dan tak ada langkah majunya, kita ini bisa dinilai lebih bodoh daripada keledai.
(bbg)