Memimpin Kebangkitan
A
A
A
Kebangkitan tidak lahir dari mukjizat. Seperti berbagai gejala sosial lain dalam kehidupan masyarakat, ia adalah penjumlahan dari usaha-usaha setiap kekuatan sosial yang ada, untuk membawa hidup bersama kepada kondisi yang lebih baik, lebih adil dan makmur.
Oleh para pemula kebangsaan yang tergabung dalam Boedi Oetomo, Sjarikat Islam, atau Indische Partij, politik etis yang diniatkan oleh pemerintah kolonial untuk membentuk elite akomodatif, dibelokkan menjadi upaya melahirkan kesadaran baru kebangsaan. Walau Indonesia masih hadir secara samarsamar, harapan atas hidup bersama yang merdeka dan adilmakmur tak berhenti diperjuangkan.
Kebangkitan adalah mimpi bersama. Untuk mewujudkannya tentu butuh kepemimpinan. Namun, sebenarnya kita belum beranjak dari masa kanakkanak ketika apa yang memikat adalah harapan tentang hadirnya para pemimpin hebat, baik yang mitis maupun yang riil. Bahkan heboh mengenai kepemimpinan barangkali muncul dari ketidakberdayaan kita sendiri untuk mewujudkan citacita itu.
Kemudian melalui rutinitas pemilihan umum, kita bebankan ketidakberdayaan itu kepada para pemimpin, sambil berharap kebaikan hati mereka. Dalam demokrasi, negara memang memiliki kuasa untuk mengelola usaha bersama (respublica), tapi dalam kenyataan mutakhir kuasa pemerintah untuk mengelola Indonesia ada dalam pusaran kinerja berbagai kekuasaan lain, seperti para pemodal, kuasa agama, dan kemajuan sains-teknologi.
Pemerintah dibentuk dari mandat publik, namun dapat dikekang oleh kinerja berbagai kuasa lain. Negara modern bukan sekadar pelaku, melainkan sebuah arena kekuasaan yang diperebutkan oleh berbagai kelompok kepentingan yang ada. Cita-cita res-publica bisa gagal bukan hanya lantaran maksud buruk pejabat negara, melainkan juga karena mereka dikekang oleh kelompok-kelompok lain seperti pemodal, kelompok agama, militer, dan sebagainya.
Karena itu, pemenuhan atas cita-cita bersama ditentukan bukan hanya oleh negara an sich, tetapi juga melalui koreksi dan partisipasi oleh kekuatan warga untuk menghentikan keganasan setiap kuasa yang bertentangan dengan kepentingan publik.
Utang Sejarah
Di Istana Negara saat memenuhi undangan Presiden Joko Widodo pada Selasa (18/5) petang, saya sampaikan bahwa pemerintahan yang beliau pimpin berdiri di atas banyak utang sejarah yang harus segera dilunasi. Reformasi 1998 mengambil tempat dalam sejarah bangsa ini, juga sebagai hasil dari usaha bersama, untuk mengembalikan arah pengelolaan bangsa kepada cita-cita kebangkitannya.
Kini, setelah 17 tahun, memang demokrasi menguat dan militer dilepaskan dari fungsi politik, namun supremasi hukum dan peningkatan kesejahteraan masih menyisakan lubang yang dalam. Presiden Joko Widodo tampil dengan membawa harapan kita akan perubahan. Namun, sepanjang tujuh bulan terakhir tanda perubahan itu tak juga terlihat signifikan, yang tampak malah uji coba kekuasaan pada lembaga-lembaga pemerintah.
Antara KPK dan Polri, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Kemenpora dan PSSI. Kinerja banyak menteri pada Kabinet Kerja belum juga optimal, bahkan beberapa belum tuntas melakukan restrukturisasi dan jauh dari memuaskan. Rakyat banyak ingin perubahan yang cepat dan terasa, namun pemerintah ternyata tidak mampu memenuhinya.
Rakyat kecil malah harus menghadapi kesulitan ekonomi karena harga- harga bahan pokok naik, terutama karena naiknya harga BBM. Keresahan dan kemarahan rakyat adalah akibat yang wajar akibat menurunnya kemampuan ekonomi dan harapan hidup. Walaupun tuntutan beberapa kelompok untuk melakukan perubahan kepemimpinan secara nondemokratis akan membawa risiko serius bagi kelanjutan demokrasi, dan karenanya perlu dihindari, bukan berarti pemerintah bisa mengabaikan begitu saja aspirasi dan kegelisahan rakyat banyak.
Mengatasi Tantangan
Kini negara-negara semisal China, India, Iran, tengah menggapai puncak-puncak peradaban mereka; beberapa negara lain malah mengalami devolusi peradaban. Suriah, Irak, Yaman, dan banyak negara lain tak juga bisa beranjak dari konflik yang hampir semua bersifat sektarian.
Dari dua model kenyataan itu kita dapat belajar. Kelompok negara-negara pertama memperoleh kemajuan dari kekuatan warganya sendiri yang mandiri dan mengembangkan pengetahuan dan peranti hidup bersama yang adil dan merata. Kelompok negara- negara kedua terancam jatuh dalam jurang kehancuran karena akumulasi kekuasaankesejahteraan yang timpang sehingga hilang rasa saling percaya satu sama lain.
Kita punya Pancasila sebagai inspirasi bagi kebangkitan hidup bersama. Kita punya keberagaman antarsuku bangsa dan kekayaan pengetahuan lokal yang bisa dikembangkan menjadi daya bangkit, menuju masyarakat yang lebih adil dan makmur. Pemerintah beserta setiap kelompok kuasa dan kepentingan perlu menjaga baik-baik dua modal kebangkitan ini.
Dalam dinamika sejarah yang akan kita temui di masa datang, Indonesia akan menjadi bangsa yang punya daya saing, juga daya hidup untuk mencapai puncakpuncak peradaban yang memuliakan kemanusiaan. Selamat Hari Kebangkitan Nasional.
M Arief Rosyid Hasan
Ketua Umum PB HMI
Oleh para pemula kebangsaan yang tergabung dalam Boedi Oetomo, Sjarikat Islam, atau Indische Partij, politik etis yang diniatkan oleh pemerintah kolonial untuk membentuk elite akomodatif, dibelokkan menjadi upaya melahirkan kesadaran baru kebangsaan. Walau Indonesia masih hadir secara samarsamar, harapan atas hidup bersama yang merdeka dan adilmakmur tak berhenti diperjuangkan.
Kebangkitan adalah mimpi bersama. Untuk mewujudkannya tentu butuh kepemimpinan. Namun, sebenarnya kita belum beranjak dari masa kanakkanak ketika apa yang memikat adalah harapan tentang hadirnya para pemimpin hebat, baik yang mitis maupun yang riil. Bahkan heboh mengenai kepemimpinan barangkali muncul dari ketidakberdayaan kita sendiri untuk mewujudkan citacita itu.
Kemudian melalui rutinitas pemilihan umum, kita bebankan ketidakberdayaan itu kepada para pemimpin, sambil berharap kebaikan hati mereka. Dalam demokrasi, negara memang memiliki kuasa untuk mengelola usaha bersama (respublica), tapi dalam kenyataan mutakhir kuasa pemerintah untuk mengelola Indonesia ada dalam pusaran kinerja berbagai kekuasaan lain, seperti para pemodal, kuasa agama, dan kemajuan sains-teknologi.
Pemerintah dibentuk dari mandat publik, namun dapat dikekang oleh kinerja berbagai kuasa lain. Negara modern bukan sekadar pelaku, melainkan sebuah arena kekuasaan yang diperebutkan oleh berbagai kelompok kepentingan yang ada. Cita-cita res-publica bisa gagal bukan hanya lantaran maksud buruk pejabat negara, melainkan juga karena mereka dikekang oleh kelompok-kelompok lain seperti pemodal, kelompok agama, militer, dan sebagainya.
Karena itu, pemenuhan atas cita-cita bersama ditentukan bukan hanya oleh negara an sich, tetapi juga melalui koreksi dan partisipasi oleh kekuatan warga untuk menghentikan keganasan setiap kuasa yang bertentangan dengan kepentingan publik.
Utang Sejarah
Di Istana Negara saat memenuhi undangan Presiden Joko Widodo pada Selasa (18/5) petang, saya sampaikan bahwa pemerintahan yang beliau pimpin berdiri di atas banyak utang sejarah yang harus segera dilunasi. Reformasi 1998 mengambil tempat dalam sejarah bangsa ini, juga sebagai hasil dari usaha bersama, untuk mengembalikan arah pengelolaan bangsa kepada cita-cita kebangkitannya.
Kini, setelah 17 tahun, memang demokrasi menguat dan militer dilepaskan dari fungsi politik, namun supremasi hukum dan peningkatan kesejahteraan masih menyisakan lubang yang dalam. Presiden Joko Widodo tampil dengan membawa harapan kita akan perubahan. Namun, sepanjang tujuh bulan terakhir tanda perubahan itu tak juga terlihat signifikan, yang tampak malah uji coba kekuasaan pada lembaga-lembaga pemerintah.
Antara KPK dan Polri, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Kemenpora dan PSSI. Kinerja banyak menteri pada Kabinet Kerja belum juga optimal, bahkan beberapa belum tuntas melakukan restrukturisasi dan jauh dari memuaskan. Rakyat banyak ingin perubahan yang cepat dan terasa, namun pemerintah ternyata tidak mampu memenuhinya.
Rakyat kecil malah harus menghadapi kesulitan ekonomi karena harga- harga bahan pokok naik, terutama karena naiknya harga BBM. Keresahan dan kemarahan rakyat adalah akibat yang wajar akibat menurunnya kemampuan ekonomi dan harapan hidup. Walaupun tuntutan beberapa kelompok untuk melakukan perubahan kepemimpinan secara nondemokratis akan membawa risiko serius bagi kelanjutan demokrasi, dan karenanya perlu dihindari, bukan berarti pemerintah bisa mengabaikan begitu saja aspirasi dan kegelisahan rakyat banyak.
Mengatasi Tantangan
Kini negara-negara semisal China, India, Iran, tengah menggapai puncak-puncak peradaban mereka; beberapa negara lain malah mengalami devolusi peradaban. Suriah, Irak, Yaman, dan banyak negara lain tak juga bisa beranjak dari konflik yang hampir semua bersifat sektarian.
Dari dua model kenyataan itu kita dapat belajar. Kelompok negara-negara pertama memperoleh kemajuan dari kekuatan warganya sendiri yang mandiri dan mengembangkan pengetahuan dan peranti hidup bersama yang adil dan merata. Kelompok negara- negara kedua terancam jatuh dalam jurang kehancuran karena akumulasi kekuasaankesejahteraan yang timpang sehingga hilang rasa saling percaya satu sama lain.
Kita punya Pancasila sebagai inspirasi bagi kebangkitan hidup bersama. Kita punya keberagaman antarsuku bangsa dan kekayaan pengetahuan lokal yang bisa dikembangkan menjadi daya bangkit, menuju masyarakat yang lebih adil dan makmur. Pemerintah beserta setiap kelompok kuasa dan kepentingan perlu menjaga baik-baik dua modal kebangkitan ini.
Dalam dinamika sejarah yang akan kita temui di masa datang, Indonesia akan menjadi bangsa yang punya daya saing, juga daya hidup untuk mencapai puncakpuncak peradaban yang memuliakan kemanusiaan. Selamat Hari Kebangkitan Nasional.
M Arief Rosyid Hasan
Ketua Umum PB HMI
(ftr)