KPU: Pemilu 2024 Masih Gunakan Sistem Proporsional Terbuka
loading...
A
A
A
JAKARTA - Delapan partai politik yakni Partai Golkar, PKB, PPP, Partai Nasdem, Partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat, dan PAN sepakat menolak sistem proporsional tertutup di Pemilu 2024 mendatang.
Menanggapi hal itu, Ketua Divisi Teknis Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik mengatakan tahapan Pemilu 2024 dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Pasal 3 huruf d Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 juncto Pasal 6 ayat (3) huruf a Peraturan DKPP RI Nomor 2 Tahun 2017.
"Berkepastian hukum adalah salah satu prinsip penyelenggaraan Pemilu. Implementasi prinsip tersebut bersifat imperatif dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang profesional," ujarnya saat dihubungi MNC Portal Indonesia lewat pesan singkat, Senin (9/1/2023).
Sementara kata Idham, ketentuan Pemilu 2024 masih berdasarkan Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam ketentuan tersebut, sistem pemilu legislatif di Indonesia adalah proposional dengan daftar terbuka.
"Teks norma Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka," jelasnya.
Untuk diketahui, sistem proporsional pada pemilu akan diputuskan usai sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang lanjutan gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum soal Sistem Proposional pada Pemilu akan berlangsung di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (17/01/2022).
Sidang dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan KPU.
"Selanjutnya dalam konteks prinsip berkepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, apa pun yang akan menjadi materi amar Putusan Mahkamah Konstitusi nanti, sebagai penyelenggara pemilu wajib melaksanakannya," tutur Idham.
Dia menjelaskan hal tersebut sesuai dengan norma dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 yang berbunyi, "Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat."
"Sampai saat ini Pasal 168 ayat (2) dalam UU Pemilu tidak/belum berubah atau tidak diubah. Sebagai penyelenggara pemilu, norma yang berlaku wajib dilaksanakan. Melaksanakan UU Pemilu bersifat imperatif," pungkas Idham.
Menanggapi hal itu, Ketua Divisi Teknis Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik mengatakan tahapan Pemilu 2024 dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Pasal 3 huruf d Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 juncto Pasal 6 ayat (3) huruf a Peraturan DKPP RI Nomor 2 Tahun 2017.
"Berkepastian hukum adalah salah satu prinsip penyelenggaraan Pemilu. Implementasi prinsip tersebut bersifat imperatif dalam mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang profesional," ujarnya saat dihubungi MNC Portal Indonesia lewat pesan singkat, Senin (9/1/2023).
Sementara kata Idham, ketentuan Pemilu 2024 masih berdasarkan Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam ketentuan tersebut, sistem pemilu legislatif di Indonesia adalah proposional dengan daftar terbuka.
"Teks norma Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka," jelasnya.
Untuk diketahui, sistem proporsional pada pemilu akan diputuskan usai sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang lanjutan gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum soal Sistem Proposional pada Pemilu akan berlangsung di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (17/01/2022).
Sidang dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan KPU.
"Selanjutnya dalam konteks prinsip berkepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, apa pun yang akan menjadi materi amar Putusan Mahkamah Konstitusi nanti, sebagai penyelenggara pemilu wajib melaksanakannya," tutur Idham.
Dia menjelaskan hal tersebut sesuai dengan norma dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 yang berbunyi, "Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat."
Baca Juga
"Sampai saat ini Pasal 168 ayat (2) dalam UU Pemilu tidak/belum berubah atau tidak diubah. Sebagai penyelenggara pemilu, norma yang berlaku wajib dilaksanakan. Melaksanakan UU Pemilu bersifat imperatif," pungkas Idham.
(kri)